Saling Menghargai: Momen yang Menginspirasi

Momen atau peristiwa yang paling penting dan menantang yang saya anggap mencerahkan ketika mengikuti proses pembelajaran tentang Filosofi dan Pemikiran Ki Hajar Dewantara serta Nilai dan Peran Guru Penggerak ketika dilakukan proses refleksi pada saat kegiatan ruang kolaborasi usai presentasi kelompok. Refleksi saat itu sangat berbeda dengan refleksi dari pertemuan sebelumnya, di mana saat itu semua peserta peserta mendapatkan kesempatan menuliskan di padlet tentang nilai apa yang sudah dimiliki oleh peserta lain dan harus dikembangkan pada diri saya. Saat itu saya menuliskan tentang nilai guru penggerak yang dimiliki oleh rekan saya bernama bu Tatit. “Saya merasa salut dengan Bu Tatit, karena dalam forum diskusi ini, Bu Tatit mampu memiliki nilai kolaboratif yang luar biasa. Dalam setiap kegiatan forum diskusi, Bu Tatit mampu memberikan pendapatnya, menanggalkan egonya sehingga berusaha untuk melakukan peran dan kontribusinya untuk membuat presentasi dengan baik. Ide-ide yang cemerlang ditularkan. Terus terang nilai kolaborasi ini masih saya gali dan terus untuk saya terapkan”, ungkap saya di padlet.

Setiap peserta saling mengungkapkan hal-hal yang positif kepada peserta lain. Dalam kegiatan tersebut saya mendapatkan tulisan dari guru lain. 

“Proud for pak Diyarko yang sudah memunculkan nilai reflektif, nilai tersebut belum tampak dalam diri saya, hal ini perlu saya kembangkan karena menghubungkan ilmu yang dimiliki dengan permasalahan, memahami permasalahan yang ada. untuk bu Tatit yang menginspirasi saya untuk berkolaborasi dalam kelompok dengan penuh semangat dan tanggung jawab. pak Udin yang memiliki nilai mandiri, menggambarkan semangat beliau menjadi GP, dapat membawa perubahan positif dalam diri saya”, ungkap Bu Iin.  “Rekan satu kelompok yang menurut saya memiliki nilai peran Guru Penggerak adalah Pak Diyarko. Pak Diyarko memiliki nilai kolaboratif yang mampu mendorong kolaborasi antar anggota kelompok dapat terbentuk dengan baik. Nilai tersebut perlu untuk selalu saya kembangkan dalam berkolaborasi dalam suatu kegiatan, saling memberikan gagasan, menanggapi dan menghargai pendapat masing-masing anggota”, ungkap Bu Tatit. “Saya terinspirasi dengan mas Di. Pemaparan dan komunikasi yang baik”, ungkap Pak Muh Syafrudin.

Di samping itu, setiap peserta juga diminta untuk mengirimkan surat kepada peserta lain. Dalam sesi itu yang anggotanya 4 peserta saya mendapatkan 3 surat dari Bu Iin, Bu Tatit dan Pak Muh Syarifudin. “Pak Diy selalu menjadi inspirasi buat saya dalam memberikan suport”, ungkap Bu Iin dalam suratnya. “mas diyarko yang tercinta, aku merasa nyaman berbicara tentangdenganmu”, ungkap Pak Muh Syarifudin. “Pak Diyarko, panjenengan juga luar biasa. Selalu semangat dan sabar dalam memimpin diskusi kelompok sehingga dapat mengakomodir semua pendapat dari teman-teman”, ungkap Bu Tatit.

Ini merupakan kegiatan yang sederhana, namun sangat bermakna. Menghargai merupakan nilai-nilai yang sudah dimiliki oleh pendahulu-pendahulu kita , dan ini merupakan warisan leluhur kita. Relief Karmawibhangga dipahat di dinding kaki candi dengan jumlah 160 panil, menjelaskan tentang hukum karma (sebab-akibat) dari perilaku manusia. ‘Karma’ berarti perbuatan dan ‘wibhangga’ berarti alur atau gelombang (Nugrahani, 2012) dalam Rahmat Krismono  (2020). Relief Karmawibhangga merupakan representasi kehidupan leluhur bangsa pada masa Mataram Kuno, yang menggambarkan salah satu realita sosial yaitu kerukunan umat beragama. Tidak hanya menggambarkan para bhiksu (tokoh agamawan Buddha), namun dalam relief ini terdapat berbagai tokoh agama lain, seperti pendeta Siwa, bahkan para pertapa (rsi). Candi Borobudur merupakan candi Buddha, namun uniknya, penggambaran bhiksu hanya sekitar 18 orang, sedangkan pendeta Siwa berjumlah 29, belum termasuk identifikasi jumlah rsi (Santiko, 2012) dalam Rahmat Krismono  (2020). 

https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bkborobudur/belajar-toleransi-beragama-lewat-relief-candi-borobudur/

Seperti yang terpahat pada relief Karmawibhangga 0-55, Bhiksu memiliki kepala yang gundul, berpakaian jubah yang pundak kanannya terbuka, memegang tempurung untuk menampung sumbangan, dan terkadang membawa tongkat atau tasbih. Sedangkan pada relief Karmawibhangga 0-26, tergambarkan Pendeta Siwa memakai jato-makuta (mahkota rambut) dan upawita (tali kasta). Sramana (penyebuatan pertapa dalam Buddha) dan rsi (penyebuatan pertapa dalam Buddha dan Hindu) memakai busana dari kulit kayu, sedang mengunyah kayu cendana, memegang tasbih, dan berbagai perlengkapan lainnya (Magetsari, 1998) dalam Rahmat Krismono  (2020). 

https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bkborobudur/belajar-toleransi-beragama-lewat-relief-candi-borobudur/

Semua penggambaran tokoh keagamaan yang beragam ini dalam kondisi yang harmonis tanpa adanya indikasi konflik. Hal ini tergambar pada relief 0-26, seorang pendeta Siwa yang sedang memberikan wewejangan kepada berbagai masyarakat. Begitu pula pada relief 0-117, terdapat dua pertapa yang meminta sumbangan kepada orang kaya pada aktivitas kaum Buddha. Dan masih ada lagi, yaitu pada relief 0-55 yang menggambarkan tiga orang bhiksu yang dihadapi oleh murid-muridnya, dengan satu panil yang sama digambarkan pula para pertapa yang sedang berjalan memegang payung.

Dari relief-relief tersebut nampak bahwa menghargai, menghormati sesama merupakan warisan leluhur budaya nusantara. Sifat menghargai sudah menjadi DNA orang-orang nusantara. Kita sebagai penerusnya, selayaknya untuk memegang teguh prinsip ini dan merealisasikan dalam pikiran, perasaan, ucapan dan tindakan sehari-hari.

Kembali pada kegiatan yang dilakukan pada saat pelatihan guru penggerak, di mana ada sesi menuliskan hal-hal positif yang dimiliki oleh rekan lainnya, bagi saya adalah peristiwa yang sederhana, namun terasa sangat bermakna. Secara teoretis ini merupakan implikasi dari teori otak yang dipelajari pada modul. Ketika limbik sistem disentuh dengan hal-hal positif, maka akan muncul hormon kebahagiaan. Saya yakin semua peserta merasakan kebahagiaan ini, karena ada penghargaan dalam bentuk tulisan. Jika kita hubungan dengan materi sebelumnya tentang filosofi dan pemikiran Ki Hajar Dewantara, maka proses menghargai yang memunculkan hormon kebahagiaan pada limbik sistem ini merupakan bagian dari proses olah rasa untuk menghaluskan rasa dalam rangka mengembangkan budi pekerti. Budi Pekerti merupakan keselarasan (keseimbangan) hidup antara cipta, rasa, karsa dan karya. Keselarasan hidup anak dilatih melalui pemahaman kesadaran diri yang baik tentang kekuatan dirinya kemudian dilatih mengelola diri agar mampu memiliki kesadaran sosial bahwa ia tidak hidup sendiri dalam relasi sosialnya sehingga ketika membuat sebuah keputusan yang bertanggungjawab dalam kemerdekaan dirinya dan kemerdekaan orang lain. Budi Pekerti melatih anak untuk memiliki kesadaran diri yang utuh untuk menjadi dirinya (kemerdekaan diri) dan kemerdekaan orang lain. 

Menjadi seorang guru tanpa embel-embel apapun. Entah ada embel-embel guru penggerak atau pun tidak, sudah semestinya memiliki nilai-nilai berpihak pada murid, mandiri, reflektif, kolaboratif dan inovatif. Nilai-nilai tersebut merupakan pengejawantahan dari filosofi dan pemikiran Ki Hajar Dewantara.

Moment di atas yang menggambarkan suasana saling menghargai, berkirim surat untuk mengungkap sisi-sisi positif dari orang lain merupakan sesi yang sederhana namun sangat bermakna. Saat momen itu terjadi saya merasa seperti hujan di musim kemarau.  Sebelum momen ini terjadi saya berpikir bahwa untuk menerapkan nilai-nilai filososif ajaran Ki Hajar Dewantara dan menerapkan nilai-nilai sebagai guru harus kompleks dan sangat rigit dengan segudang administrasi, namun  sekarang saya justru berpikir bahwa dari hal yang paling kecil kita sebagai guru harus selalu menerapkan nilai-nilai filosofis Ki Hajar Dewantara dan nilai-nilai menjadi guru yakni berpihak pada murid, refleksi, mandiri, kolaboratif dan inovatif. Yang terpenting dari penerapan yang sederhana itu memberikan makna yang lebih mendalam.

Dari pelajaran ini saya menjadi termotivasi untuk melakukan pengembangan diri yang sederhana, konkret dan rutin yang dapat saya lakukan sendiri dari sekarang, untuk membantu menguatkan nilai-nilai dan peran saya sebagai Guru Penggerak, antara lain: 1) Di sekolah perlu mengubah tata tertib yang awalnya berisi point-point pelanggaran justru menjadi point-point penghargaan. 2) Perlu digerakan budaya menghargai satu sama lain, dengan cara membuat catatan-catatan kebaikan di buku saku siswa ketika melihat secara langsung melakukan perbuatan baik yang menginspirasi orang lain. 3) Secara kontinyu memberikan bintang kebaikan kepada siswa-siswa yang melakukan perbuatan baik ketika ada moment-moment upacara. 4) Secara berkala, membiasakan siswa untuk menuliskan surat ucapan terimakasih, permintaan maaf maupun minta tolong kepada guru atau siswa lain. 5) Secara berkala dalam tim jurnalistik sekolah, akan membuat berita-berita tentang kebaikan orang lain di lingkungan sekolah untuk diposting di website sekolah. Inilah rencana kecil yang akan saya lakukan, dengan harapan dari proses menghargai ini, maka nilai-nilai filosofi ajaran Ki Hajar Dewantara dan nilai-nilai arang-arang pendidikan dapat terwujud. Semoga berubah, berbagi, berkolaborasi akan selalu terwujud. Semoga guru yang tergerak, bergerak dan menggerakan akan segera terwujud.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *