Tentang Saya

Diyarko, itulah nama panggilanku. Pemberian dari sesepuh desa (mbah Suloso) saat itu untuk memberikan tetenger seorang bayi yang lahir di tahun 1977 tepatnya di bulan Desember. Bayi yang lahir dari Ibu Djumirah dan Bapak Suratman yang berada di dusun Jlegong, Desa Jlegong, Kecamatan Candiroto Kabupaten Temanggung. Saat ini masuk di wilayah Kecamatan Bejen. Diyarko, dari kata sanskerta yang berarti matahari, mungkin ada harapan agar saya meneladani sifat matahari yang akan memancarkan cahaya yang menghangatkan siapa saja.

Dari kehidupan yang sederhana, belum ada listrik kala itu dan yang ada hanyalah listhir, artinya listrik dari senthir. Senthir merupakan lampu yang terbuat dari kaleng bekas yang diberi sumbu dan diberi bahan bakar minyak tanah. Masuk Sekolah Dasar di dusun tersebut, di situlah saya mengenal baca tulis dan menuntut ilmu yang dibimbing oleh seorang guru yang luar biasa, Bu Haripah, Bu Harti, Pak Sukardi, Pak Sugino dan Pak Bambang Sarjani. Setiap guru memiliki karakteristik masing-masing yang ikut mewarnai perjalanan hidup saya. Bu Haripah, dan beliau sebagai bibi saya. Kesabaran dalam membimbing dan mendidik saya ketika duduk di bangku kelas 1 dan 2 sangat berjasa dalam belajar membaca dan berhitung. Bu Harti, sebagai guru kelas 3 yang tegas namun penuh kelembutan mampu membawa perubahan pada diri saya untuk lebih berani untuk tampil di depan. Yang tidak pernah saya lupakan dari beliau adalah motivasinya. Ketika biyung saya memijat beliau, dari situlah, memotivasi biyung saya untuk menyekolahkan saya setinggi-tingginya. Mungkin ketika tidak ada motivasi beliau, saya tidak sekolah sampai tingkat sarjana. Naik ke kelas 4, saya bertemu dengan Pak Sukardi. Beliau kepala sekolah, namun masih tetap mengajar saya di kelas 4. Ketegasan beliau menjadi pelajaran yang berarti bagi saya. Saya masih ingat betul, di rapport nilai saya ada yang merah. Memang saya akui, bahwa di kelas 4 ini cara belajar saya yang masih kurang optimal. Justru dari nilai yang merah tersebut menjadi cambuk untuk berbenah diri. Di balik ketegasan tersebut, ada sifat yang sangat membimbing secara all out. Saya masih ingat, ketika ada kunjungan Bupati Temanggung. Saya masih ingat, namanya yaitu Pak Sri Subagyo. Saat kunjungan itulah, saya dipercaya oleh Pak Sukardi untuk membacakan sebuah puisi yang dipersembahkan kepada bupati tersebut. Ada perasaan deg degan, namun disitulah sebagai awal bagi saya untuk berani tampil di depan umum. Naik ke kelas 5, saya bertemu dengan Pak Sugino. Sosok guru yang sangat huble dan memiliki kemampuan story telling yang luar biasa. Semangat kerjanya menjadi contoh bagi kami. Sebelum mengajar, beliau rajin mencangkul dan merawat kebun. Beliau mampu menyulap tanah yang awalnya tandus, berubah menjadi kebun kopi yang subur. Dari kemampuan story tellingnya itulah, saya semakin menyukai pelajaran IPS karena dapat dipastikan pelajaran tersebut penuh dengan cerita yang menarik. Dari beliaulah, saya mengenal cerita Mahabarata dan Ramayana. Dari beliaulah, saya mengenal sejarah Demak. Yang tidak kalah menariknya, dan masih saya ingat betul jasa beliau. Saya bersama adik sepupu saya, Rumadi mendapatkan kesempatan untuk mengikuti lomba di tingkat Kecamatan. Sebuah pengalaman yang menarik. Dari lomba itulah saya mendapatkan hadiah buku tulis dan perlengkapannya. Bukan masalah hadiahnya, namun bentuk pengalaman itulah yang menggembleng jiwa juang saya.  Naik ke kelas 6, saya bertemu dengan Pak Bambang Sarjani. Beliau sangat tegas dalam membimbing kami. Rumah beliau yang cukup jauh dari Desa Jlegong, tidak menjadi hambatan untuk mendampingi kami dalam belajar. Belajar kelompok yang diselenggarakan di rumahnya Pak Warno (penjaga sekolah) dengan diterangi lampu petromak, menambah semangat belajar kami. Biasanya Pak Bambang tiba-tiba saja mengontrol kami saat belajar di malam hari. Dapat dibayangkan, perjalanan dari rumah pak Bambang sampai ke Desa Jlegong sekitar 6 km dan belum beraspal. Beliau naik sepeda motor tril untuk menuju ke Desa Jlegong. Itulah perjuangan yang dilakukan Pak Bambang Sarjani dalam memotivasi kami. Keteladanan inilah yang menjadi penyemangat bagi kami untuk belajar.   

Tahun 1990 saya masuk SMP masih di wilayah Desa Bejen, dengan jarak tempuh 4 km dari dusun saya dengan jalan kaki, sehingga setiap harinya harus menempuh 8 km. Karena akses jalannya yang masih sulit untuk dilewati mobil, sehingga tidak ada angkutan desa sampai ke dusun saya.  Jadi selama 3 tahun saya sudah mencapai 5760 km. Dengan kata lain, selama 3 tahun itu saya sudah bisa berjalan kaki sebanyak 1/7 keliling bumi (40075 km).  Selama sekolah di SMP Negeri 2 Candiroto yang sekarang berganti nama menjadi SMP Negeri 1 Bejen, banyak kenangan yang tidak terlupakan. Kenangan indah yang mampu memberikan pengalaman, memberikan semangat untuk bisa melanjutkan ke SMA. Bersyukur saya bertemu dengan para guru yang menginspirasi, Ada Pak Mastur dengan kepiwaiannya dalam berbahasa Inggris, ada Pak Triyanto yang piawai dalam menjadi story telling ketika mengajarkan sejarah sehingga saya bangga dengan leluhur dan nenek moyang bangsa Indonesia, Ada Bu Esti, beliau tegas namun memiliki kelembutan hatinya. Masih selalu saya ingat atas pemberian kain baju  setelah mengikuti EBTANAS dan mendapat nilai yang bagus pada mata pelajaran IPA. Ada bu Air Titik Wardani, sebagai sosok ibu yang saya idolakan. Beliau mengantar, memberikan tumpangan meningap di rumahnya ketika mengikuti acara penerimaan beasiswa di Temanggung. Ada Bu Bariyah yang sangat setia memberikan pelayanan di perpustakaan. Di situlah saya bisa membaca, bisa sekedar duduk di saat waktu istirahat ketika yang lainnya ke kantin sekolah. Ada Pak Soleh, sebagai sosok bapak yang menginspirasi saya untuk terus melanjutkan sekolah. Ada Pak Cuk atau Pak Ruwiyanto yang piawai dalam memberikan nasehat dan filosofi hidup dan terus nguri-nguri kebudayaan Jawa melalui Macapat. Ada Bu Retno, yang mampu mengajarkan saya tentang bahasa Indonesia secara menarik. Ada Pak Purwanto yang asyik ketika mengajarkan olahraga. Ada Pak Jonet, yang selalu sabar membimbing dan lomba cerdas cermat P4 di masa itu, hingga mampu bertanding dengan teman-teman di SMP Negeri 1 Candiroto dan SMP Negeri 1 Jumo. Masih banyak guru-guru lain yang saling berkolaborasi sehingga mengajarkan kami tentang makna kehidupan, memberikan semangat untuk belajar ke jenjang yang lebih tinggi. Perjalanan yang panjang dari Bejen sampai dusun Jlegong dengan berjalan kaki tidak terasa lelah sampai tuntas selama 3 tahun. Terima kasih guru-guruku di SMP Negeri 2 Candiroto, semoga amal kebaikan Bapak/ibu menjadi penerang jalan menuju sorganya Tuhan yang Maha Kuasa.