Diyarko, itulah nama panggilanku. Pemberian dari sesepuh desa saat ini untuk memberikan tetenger seorang bayi yang lahir di tahun 1977 tepatnya di bulan Desember. Bayi yang lahir dari Ibu Djumirah dan Bapak Suratman yang berada di dusun Jlegong, Desa Jlegong, Kecamatan Candiroto Kabupaten Temanggung. Saat ini masuk di wilayah Kecamatan Bejen. Diyarko, dari kata sanskerta yang berarti matahari, mungkin ada harapan agar saya meneladani sifat matahari yang akan memancarkan cahaya yang menghangatkan siapa saja.
Dari kehidupan yang sederhana, belum ada listrik kala itu dan yang ada hanyalah listhir, artinya listrik dari senthir. Senthir merupakan lampu yang terbuat dari kaleng bekas yang diberi sumbu dan diberi bahan bakar minyak tanah. Masuk Sekolah Dasar di dusun tersebut, di situlah saya mengenal baca tulis dan menuntut ilmu yang dibimbing oleh seorang guru yang luar biasa, Bu Haripah, Bu Harti, Pak Sukardi, Pak Sugino dan Pak Bambang Sarjani.
Tahun 1990 saya masuk SMP masih di wilayah Desa Bejen, dengan jarak tempuh 4 km dari dusun saya dengan jalan kaki, sehingga setiap harinya harus menempuh 8 km. Karena akses jalannya yang masih sulit untuk dilewati mobil, sehingga tidak ada angkutan desa sampai ke dusun saya. Jadi selama 3 tahun saya sudah mencapai 5760 km. Dengan kata lain, selama 3 tahun itu saya sudah bisa berjalan kaki sebanyak 1/7 keliling bumi (40075 km). Selama sekolah di SMP Negeri 2 Candiroto yang sekarang berganti nama menjadi SMP Negeri 1 Bejen, banyak kenangan yang tidak terlupakan. Kenangan indah yang mampu memberikan pengalaman, memberikan semangat untuk bisa melanjutkan ke SMA. Bersyukur saya bertemu dengan para guru yang menginspirasi, Ada Pak Mastur dengan kepiwaiannya dalam berbahasa Inggris, ada Pak Triyanto yang piawai dalam menjadi story telling ketika mengajarkan sejarah sehingga saya bangga dengan leluhur dan nenek moyang bangsa Indonesia, Ada Bu Esti, beliau tegas namun memiliki kelembutan hatinya. Masih selalu saya ingat atas pemberian kain baju setelah mengikuti EBTANAS dan mendapat nilai yang bagus pada mata pelajaran IPA. Ada bu Air Titik Wardani, sebagai sosok ibu yang saya idolakan. Beliau mengantar, memberikan tumpangan meningap di rumahnya ketika mengikuti acara penerimaan beasiswa di Temanggung. Ada Bu Bariyah yang sangat setia memberikan pelayanan di perpustakaan. Di situlah saya bisa membaca, bisa sekedar duduk di saat waktu istirahat ketika yang lainnya ke kantin sekolah. Ada Pak Soleh, sebagai sosok bapak yang menginspirasi saya untuk terus melanjutkan sekolah. Ada Pak Cuk atau Pak Ruwiyanto yang piawai dalam memberikan nasehat dan filosofi hidup dan terus nguri-nguri kebudayaan Jawa melalui Macapat. Ada Bu Retno, yang mampu mengajarkan saya tentang bahasa Indonesia secara menarik. Ada Pak Purwanto yang asyik ketika mengajarkan olahraga. Ada Pak Jonet, yang selalu sabar membimbing dan lomba cerdas cermat P4 di masa itu, hingga mampu bertanding dengan teman-teman di SMP Negeri 1 Candiroto dan SMP Negeri 1 Jumo. Masih banyak guru-guru lain yang saling berkolaborasi sehingga mengajarkan kami tentang makna kehidupan, memberikan semangat untuk belajar ke jenjang yang lebih tinggi. Perjalanan yang panjang dari Bejen sampai dusun Jlegong dengan berjalan kaki tidak terasa lelah sampai tuntas selama 3 tahun. Terima kasih guru-guruku di SMP Negeri 2 Candiroto, semoga amal kebaikan Bapak/ibu menjadi penerang jalan menuju sorganya Tuhan yang Maha Kuasa.