Kurikulum Merdeka, Siapkah Kita?

Kurikulum merdeka sudah diluncurkan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Tahun 2022. Sudah siapkah kita sebagai pendidik?  Pertanyaan ini patut kita tanyakan sebagai bahan refleksi untuk diri kita sendiri. Kurikulum pertama kali yang disebut dengan kurikulum Rentjana Pelajaran 1947, terus mengalami pergantian menjadi “Rentjana Pelajaran Terurai 1952’’. Di tahun 1964 berubah lagi menjadi kurikulum “Rentjana Pendidikan 1964”, terus berubah menjadi kurikulum tahun 1968, tahun 1975, tahun 1984, tahun 1994, tahun 2004, tahun 2006 dan tahun 2013. Jangan-jangan dengan ganti kurikulum tidak diikuti dengan perubahan dari diri kita sebagai guru, sehingga di dalam benak pikiran kita cenderung apatis. “Biarkan saja ganti kurikulum, cara mengajar saya ya seperti ini, titik”.

Untuk menjawab pertanyaan di atas, tentu saja kita akan bertanya lebih lanjut, apa sebenarnya prinsip dasar dari pendidikan itu? ketika kita tahu tentang prinsip dasar pendidikan, maka pergantian kurikulum tidak akan bingung bagaimana kita memulai dalam menerapkannya. “Ketika akan menyelesaikan suatu permasalahan, maka kita perlu belajar lebih banyak dengan memahami prinsip dasar dari suatu objek, karena fist principle merupakan basis pertama dari mana sesuatu diketahui”, ungkap Muhammad Nur Rizal dalam kegiatan Ngaji Pendidikan lewat zoom yang diselenggarakan tanggal 22 Februari 2022 dari pukul 19.00 WIB sampai pukul 21.30 yang dihadiri hampir 1000 peserta.

Apa yang menjadi prinsip dasar dari pendidikan? Apakah kurikulumnya, apakah fasisilitasnya, apakah gurunya atau yang lainnya? Ibarat sebuah pohon mana yang harus dikuatkan? apakah daunnya yang rimbun atau pohon dengan akarnya yang menghujam kuat. Sering kali kita melihat keindahan suatu pohon itu terbuai daun-daun yang hijau dan lebat, dengan buah-buah yang matang yang menggiurkan untuk dimakan. Demikian juga ketika kita memandang pendidikan lebih banyak terbuai dengan hasilnya, prestasi yang dicapai.  Dari analogi pahon tersebut yang menjadi prinsip dasar sebenarnya adalah pohon dan akar yang kuat. Menurut Muhammad Nur Rizal, seringkali  kita sibuk mengumpulkan daun dan ranting, indah di awal, lama kelamaan kering dan tidak menghasilkan pohon atau buah baru. Yang ada hanyalah capek mengumpulkan ranting. Demikian juga kita fokus pada kurikulum, dan kurang memperhatikan prinsip dasar pendidikan, maka guru akan sulit menerjemahkan kurikulum dalam proses pembelajaran di lapangan. Kembali lagi pada pertanyaan yang mendasar, apakah sebenarnya the firts principal thinking dari pendidikan? Apakah bangunan sekolah yang mewah? sekolah yang terakreditasi, kurikulum baru dan internasional?

Bangunan sekolah itu penting, namun bukan menjadi prinsip dasar. Kita lihat kembali dengan adanya pandemi Covid 19 yang mengharuskan siswa belajar dari rumah. Bangunan sekolah semewah apapun toh akhirnya ditinggalkan oleh siswa, sunyi tanpa penghuni. Peralatan yang bagus  itu penting, namun lagi-lagi bukan menjadi prinsip dasar. Sekolah dengan akreditasi A itu penting, tapi bukan menjadi prinsip dasar, karena akreditasi juga tidak menjamin kualitas  sekolah itu. Kurikulum juga bukan menjadi prinsip dasar pendidikan. Sebagus apapun kurikulum, ketika para pendidik kurang siap dalam mengimplementasikannya, maka itu hanyalah teori yang tertuang di atas kertas. Kalau bukan bangunan, fasilitas, akreditasi maupun kurikulum, lalu apa yang menjadi prinsip dasar pendidikan itu?

Kembali Muhammad Nur Rizal mempertanyakan lebih lanjut, “Pendidikan seperti apa yang perlu dibangun bagi anak-anak kita?”.  Tentu saja pendidikan yang memberikan kesempatan bagi setiap anak untuk berkembang optimal  menemukan versi terbaiknya. Sampai kapanpun, akan merasa bodoh apabila dia selalu dituntut untuk memanjat dinding, demikian juga kera akan merasa bodoh seumur hidup apabila diberi tantangan untuk berenang dan mengalahkan ikan.  Dari uraian tersebut kita dapat mengambil kesimpulan bahwa the first principle thinking dari pendidikan adalah memberikan pengalaman belajar yang menyenangkan dam bermakna agar anak terus termotivasi (kasmaran) belajar, sehingga anak tidak pernah mau berhenti belajar. Apapun kurikulumya, ketika prinsip dasar ini menjadi pedoman bagi guru, maka yang terjadi dalam dunia persekolahan adalah bagaimana guru menuntun, mendorong, menfailitasi anak didiknya untuk memperoleh pengalaman belajar secara menyenangkan dan bermakna untuk siswanya.

Lalu kesiapan apa yang diperlukan kita sebagai guru dengan perubahan kurikulum ini. Tentu saja kita hendaknya membangun ekosistem sekolah yang positif. Ekosistem sekolah positif itu tidak hanya lingkungan fisik, namun lingkungan psikologi yang menyenangkan bagi siswa. Salah satunya melalui  project social based learning dengan balutan social emotional learning. Di dalam dunia persekolahan dibutuhkan  guru-guru yang memiliki mindset yang berhamba pada anak didik yaitu menuntun 3 kodrat yakni rasa ingin tahu, imajinasi dan keberagaman talenta.

Sudah terjawab bahwa perubahan kurikulum ini membutuhkan perubahan mindset guru yang berhamba pada anak didik. Selama ini workshop-workshop dan pelatihan sudah dilakukan oleh Pemerintah. Tapi apakah dampaknya signifikan terhadap perubahan mindset itu? Banyak workshop-worshop itu menyublim ditelan waktu sekembalinya dari kegiatan workshop, karena tidak adanya keberlanjutan dari kegiatan tersebut.  Apa sebenarnya yang membuat para guru berubah mindsetnya? Perubahan itu sebenarnya dari inspirasi atau insigt dari orang lain yang menginspirasi karena telah berhasil menerapkan sebagai best practicenya.  Bagaimana guru bisa terus menerus terinspirasi, karena ibarat iman, iman seseorang itu tidak selalu stabil, kadang kala naik kadang kala turun.  Berkumpul dengan banyak orang yang saling menginspirasi adalah cara menstabilkan iman tersebut.  Komunitas  itulah yang sebenarnya merupakan kekuatan untuk saling menginpirasi sehingga membuka growth mindset. Hadirnya Gerakan Sekolah Menyenangkan berfokus  pada pengembangan komunitas guru supaya mindsetnya menuntun kodrat manusia dan berhamba pada anak dengan membangun ekosistem sekolah yang memanusiakan dan memerdekakan. Hadirnya kurikulum merdeka guru tidak lagi kaget dan berfokus pada prosedural penerapan kurikulum di lapangan, namun tetap berfokus bagaimana menuntun kodrat anak didik agar berkembang menjadi versi terbaiknya masing-masing.

 

 

 

 

 

 

 

 

2 thoughts on “Kurikulum Merdeka, Siapkah Kita?”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *