“Unique Challenge” Memanusiakan Peserta Didik

Pagi ini, 22 Februari 2022 saya dikejutkan oleh salah satu anak yang memiliki kemampuan bagus di bidang gambar secara digital meskipun dirinya masih duduk di bangku kelas X Animasi. “Pak Diyarko, maaf teman-teman sepertinya banyak yang tracing”,  tulis anak yang bernama Snd. “Pak Diyarko, iya Pak, kebanyakan menjiplak. Bukannya curang itu pak?”, tulis temannya lagi yang bernama Dev, yang duduk dibangku kelas XII yang memang mengikuti group watshap basic drawing.  Sambil membaca tulisan ini saya tersenyum sendiri. Memang cara pandang anak yang seperti ini karena terbiasa dengan budaya persaingan yang diciptakan di sekolahnya. Kedua anak tersebut memang bukan dari SMK Negeri 11 Semarang, hanya kebetulan ikut bergabung dalam group.  Ketika di sekolah terbiasa dengan penilaian  dengan standar yang sama, maka berpengaruh pula terhadap cara pandangnya. Ia merasa ketika orang lain tidak sejalan, mungkin karyanya mendekati bagus, namun hasil dari proses yang tidak sama dengan dirinya maka dianggap salah.

“Mbak, Pak Di mengajar di group ini, meskipun mereka duduk di bangku SMK, namun level menggambarnya berbeda-beda. Ada yang masih berada pada level rendah, dimana ia baru bisa belajar mewarnai dan sedikit kesulitan ketika harus menggambar sketsa terlebih dahulu. Ada pula yang sudah masuk level di atasnya, sedang belajar membuat sketsa secara manual dengan meniru karya orang lain yang sudah jadi, dilanjutkan dengan proses digital berupa line up dan coloring. Ada pula yang sudah pada proses lebih tinggi lagi, hanya melihat dan berimajinasi dapat membuat sketsa sendiri baik secara manual dan digital dan dilanjut dengan proses coloring, bahkan ada yang sudah mendekati profesional seperti mbak berdua”, balas kepada kedua anak itu di group kecil yang memang saya sengaja bergabung dengan siswa-siswa yang berbakat tersebut.

“Bagi anak yang masih pada level rendah dengan cara mengambil gambar dari pinteres misalnya dan mereka melakukan pewarnaan, tetap saya hargai mbak. Bagi Pak Di, proses itu merupakan tahap di mana ia belajar melakukan pewarnaan sekaligus sambil mempelajari anatomi dan proporsi suatu gambar. Mereka butuh proses untuk ke tahap berikutnya. Bagi kalian yang sudah berada pada kemampuan lebih tinggi proses itu salah, tapi bagi yang berada pada level rendah  ada saatnya belajar tracing (jiplak) dan belajar mewarnai. Pak Di yakin, pada tahap berikutnya mereka akan belajar meningkatkan levelnya ke tingkat yang lebih tinggi. Semua saya hargai, karena saya tidak pernah membandingkan  karya dengan karya orang lain”, uangkap saya lebih lanjut melalui tulisan di group kecil tersebut.

“Oalah begitu”, ungkap kedua siswa tersebut. Menunjukkan bahwa dirinya menyadari bahwa perbedaan dan keunikan dari siswa tidak bisa disamakan proses belajarnya, proses penilaian dan standar penilaiannya. Cara ini memang tidak lazim dilakukan, namun inilah cara kita menghargai keunikan masing-masing peserta didik. Kecepatan seseorang dalam belajar tidak sama, maka diperlukan cara belajar dan pembelajaran yang bersifat individual bukan secara klasikal dengan materi, kompetensi dasar yang sama dan standar yang sama.

Proses pembelajaran ini sudah saya lakukan setelah mengenal gerakan sekolah menyenangkan yang memberikan dampak pada meningkatnya kepercayaan diri anak, karena tidak ada proses membandingkan anak dengan anak yang lainnya, karena mereka memiliki pencapaian target masing-masing. Dengan pantikan berupa pertanyaan terbuka, anak akan semakin tertantang untuk meningkatkan levelnya.  Di dalam group basic drawing saya mencoba mengenali satu demi satu karya siswa, sampai sejauh mana kemampuan siswa tersebut dan mulai kapan mereka perlu dipantik untuk mencapai pada level berikutnya.

Seorang siswa bernama FA mampu menampilkan karya seperti pada gambar di samping. Ia memang sejak awal mencoba melakukan tracing dan belajar mewarnai. Dari sisi pewarnaanya ia sudah tergolong bagus, karena mampu menampilkan gelap dan terangnya warna, sehingga menampakkan volume dari gambar itu. Bagi saya anak bernama FA ini perlu dipantik lagi untuk masuk ke level berikutnya. Maka di group saya berikan tantangan. “Menurut Pak Di, Mas FA sudah saatnya naik level, yaitu membuat skesta secara manual, dilanjut dengan proses digital dan melakukan pewarnaan digital”, tulis saya terhadap hasil karya yang dikirim ke group watshap. “Baik Pak”, jawab FA. Begitu juga dengan yang lainnya yang sudah saatnya naik level secara individu saya berikan tantangan dengan harapan setahap demi setahap anak mengalami peningkatan level.

Saya masih ingat sekali proses menggambar yang dilakukan oleh siswa bernama Anggun. Dengan tantangan secara bertahap ia mampu meningkatkan levelnya ke arah yang lebih baik.

Awalnya Anggun ini mampu membuat sketsa dengan pensil  di kertas. Ia mengirim ke group, dan saya hanya memberikan pantikan, “Pasti Mbak Anggun mampu membuat digitalnya”. Selanjutnya ia belajar mencoba membuat gambar secara digital di ibispaint menggunakan androidnya. Ia mampu membuat gambar digital, meskipun dengan warna yang hampir sama dengan warna sketsa awal.  Melalui pertanyaan  secara individu tentang suasana apa yang akan digambarkan dari imajinasi dia. Ternyata ia ingin membuat dua pasangan muda-mudi di sore hari menjelang matahari terbenam. Saat itu saya hanya menanyakan tentang warna apa yang paling cocok dengan langit, gunung dan rumput. Akhirnya Anggun melakukan remidial atas kesadaran dirinya tanpa saya minta. Pada hari berikutnya ia mengirim karya dan terus memperbaiki sampai menghasilkan pewarnaan yang lebih bagus. Menurut saya, inilah yang sebenarnya perlu dilakukan guru, cukup dengan memberikan pantikan sehingga mereka sadar untuk melakukan proses perbaikan.

Apa yang terjadi ketika proses pembelajaran dibuat dengan standar yang sama? Bagi anak yang memiliki level tinggi akan cepat bosan karena mendapatkan perlakuan yang menurut anak tersebut tantangannya terlalu rendah. Bagi anak yang masih berada pada level rendah, maka proses pembelajarannya mungkin tidak bisa diikuti karena terlalu tinggi. Satu-satunya cara adalah kita sebagai guru perlu memberikan tantangan dan penilaian yang sesuai dengan kondisi anak tersebut, karena sejatinya penilaian bukanlah angka-angka yang terbiasa kita lakukan, namun sebuah feedback yang justru mampu mendorong anak untuk meningkatkan kompetensinya sehingga mencapai juara dengan versinya masing-masing.  Unique Challenge atau tantangan yang unik satu sama lain menjadi solusi bagimana kita sebagai pendidik  menghargai sebuah perbedaan yang dimiliki oleh setiap siswa. Dengan cara inilah sebuah langkah kecil yang sederhana dalam rangka memanusiakan peserta didik untuk lebih merdeka.

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *