Dunia Itu Sempit Kawan

Malam ini saya mengantarkan anak perempuan saya (Kallita) untuk membeli baju renang. Tidak jauh sih dari rumah, kurang lebih 1,5 km dari rumah menuju toko olahraga di daerah Banaran, UNNES. Setelah memilih dan cocok harganya, dibayarlah pakaian renang dan segera dibawa pulang. Saya pun harus kembali ke toko tersebut karena saya harus mengajak Joti untuk membeli celana renang. Kok gak sekalian tadi ya? Karena saya ragu ukurannya saya pun harus kembali ke toko tersebut sambil mengajak Joti. Daripada beli terlalu sesak, lebih baik saya kembali ke toko tersebut. Toh jaraknya tidak terlalu jauh.

Saat mendekati toko tersebut, tiba-tiba hujan deras. Sudah nanggung jika saya harus berhenti, karena di situ juga tidak ada tempat untuk berteduh. Saya mengendarai motorpun sudah pelan, tiba-tiba di depan saya ada dua pengendara motor yang tiba-tiba jatuh. Gubrak!!. Saya sempat lihat dan sempat menekan rem motor matik yang biasa dipakai istri saya. Tapi rupanya tekanan rem tersebut membuat saya oleng. Motor akhirnya jatuh juga. Jotipun yang tidak pernah merasakan jatuh berboncengan dengan saya, akhirnya menangis. Bukan karena sakit, namun mungkin rasa takut dan kaget. Motor saya tegakkan kembali dan saya kendarai sampai di tempat toko tersebut. Pecahan tangis Joti masih terdengar di toko tersebut. Setelah saya lihat, ternyata lutut dan kaki saya lecet-lecet, sedikit perih saya rasakan. Penjaga toko akhirnya memberikan revanol untuk membersihkan luka di kaki. Meskipun masih menangis, Joti tetap saya pilihkan celana renang, sembari menahan tangisnya yang tidak bisa dihentikan. Usai membayar, rencana mau segera pulang ke rumah, namun ternyata hujan semakin deras. Terpaksa kami berdua harus menunggu di teras sambil menahan dingin karena kaos yang saya pakai sedikit basah dan menahan perih di kaki yang lecet-lecet. Di saat saya duduk, tiba-tiba datang seorang gadis yang masih muda. Ya, mungkin baru sekitar 19 tahun atau 20 tahun. “Bapak, tadi yang jatuh ya. Ini Pak, saya bawakan betadin”, ucap gadis tersebut sambil membuka tas yang dibawa dan memang berisi obat-obatan. Saya masih terheran-heran, kok masih ada ya, gadis yang masih remaja tersebut memiliki kepedulian yang tinggi. “Ini Pak, silahkan lukanya diobati”, sambil memberikan betadin yang sudah dibuka tutupnya.

Akhirnya, saya pun mengoleskan luka-luka di lutut dan di kaki dengan betadin pemberian gadis tersebut. “Terima kasih, mbak. Semoga berkah untuk mbak”, ucap saya masih merasa keheranan. Karena hujan masih deras, akhirnya saya pun bertanya kepada gadis tersebut. “Mbak, kok baik banget, kosnya mana?”, tanya saya dengan masih keheranan. “Dekat situ kok Pak. Maaf lho Pak, tadi saya tidak sempat menolong Bapak. Karena tahu bapak berhenti di sini, akhirnya saya ambil betadin dan saya bawa ke sini”, ucap gadis tersebut. Semakin saya heran. Tidak bisa menolongpun, masih berucap minta maaf. Ada rasa syukur yang mendalam, di negeri ini saya masih menemukan anak muda yang memiliki jiwa empati tinggi. “Terima kasih banget lho, mbak. Bersyukur saya bertemu dengan orang yang sangat baik”, puji saya dengan tulus. “Kalau boleh tahu, mbak jurusan apa?”, tanya saya, karena saya yakin bahwa gadis tersebut adalah mahasiswa UNNES. “Pendidikan Matematika Pak”, jawab gadis itu. “Berarti kita masih dalam satu keluarga matematika dong. Saya juga lulusan pendidikan matematika”, kata saya meskipun tidak ditanya. Ya, seperti sudah akrab saja. Mungkin inilah jalinan karma baik, sehingga meskipun baru kenal, terasa sudah dekat seperti satu keluarga saja. Tapi bener juga sih, satu keluarga, satu almamater yaitu Pendidikan Matematika UNNES. “Semester berapa?”, tanya lagi. Tidak ada rasa sungkan, gadis itu menjawabnya bahwa dirinya masih semester satu. “Kalau bapak, angkatan tahun berapa di Pendidikan Matematika”, gantian gadis tersebu bertanya. “Saya masuk tahun 1996”, jawab saya. “Wow, saya belum ada pak”, jawab gadis tersebut sambil tersenyum yang menambah aura inner beautynya. “Saya ngajar di SMK Negeri 11 Semarang”, ungkap saya, seperti layaknya pembaca berita saja. Tanpa ditanya, tetap saja bercerita. Entah ada yang mendengarkan atau tidak, pembaca berita dengan percaya diri tetap membacakan narasi beritanya. “Oooo, SMK Grafika ya Pak? Teman saya ada di SMK Negeri 11 Semarang Pak, dari Multimedia”, gantian gadis tersebut juga menjadi pembaca berita. Tidak menunggu ditanya, ia bercerita seakan-akan kami sudah pernah dalam satu keluarga di masa lampaunya. Mungkin ya, jika ditinjau dari ilmu karma, karena sesuatu itu tidak ada yang kebetulan.

“Beberapa waktu lalu, saya ke SMK Grafika akan melakukan wawancara tentang kurikulum merdeka. Saat itu saya ingin bertemu Pak Diyarko”, cerita gadis tersebut. “Kok, ada yang tidak asing ya. Nama saya disebut gadis itu”, ungkap saya dalam hati. “Mbak, saya Diyarko”, ungkap saya sambil tersenyum ke gadis tersebut. “Wow, ini Pak Diyarko”, sambil mengulurkan kedua tangannya untuk menyalami saya dan dicium tangan saya. Semakin heran saja. “Sesampai di sana, saya justru diarahkan ke guru lain untuk melakukan wawancara dengan guru matematika di Grafika”, ungkap Gadis itu dengan mata berbinar-binar. “Aneh ya mbak, tidak ketemu di sekolah, malah ketemu di sini. Itupun saya mendapat pertolongan dari mbak, yang baik hati”, ungkap saya. “Kalau boleh tahu, siapa nama mbak?”, tanya saya lebih mendalam. “Saya Nikita Pak”, jawab gadis itu. “Asalnya dari mana?”, tanya saya lebih mendalam seperti seorang pewawancara saja. Tidak ada keraguan apapun gadi itu menjawab bahwa dirinya dari Jakarta. Semakin heran saya, Jakarta yang terkenal sebagai kota metropolitan yang cenderung individualis, masih menyimpan gadis yang memiliki jiwa empati tinggi.

Hujanpun belum reda. Akhirnya saya memperkenalkan anak saya. “Ini Joti mbak, anak saya”, kata saya. “Hallo Joti”, sambil memberikan senyuman kepada anak saya. Joti pun ikut tersenyum. Tangisnya sudah reda, mungkin sambil mendengarkan saya bercerita dengan orang yang baru saja dikenal, kok bisa seakrab itu. Akhirnya Joti pun terbawa ke dalam suasana yang nyaman. Mungkin inilah yang disebut vibrasi positif telah menyebar di tempat itu. “Anak nomor berapa Pak?”, tanya Nikita. “O, Joti anak kedua saya. Anak pertama saya, namanya Kallita”, cerita saya. “Kelas berapa Pak?”, tanya Nikita. “Kallita kelas V SD Negeri Sekaran 01”, jawab saya. “Apa yang bermain piano itu ya Pak? Saya sudah mengikuti instagram Bapak, makanya saya tahu postingan gadis kecil yang main piano”, cerita Nikita. “Iya, mbak. Itu Kallita, sekarang sedang mengikuti training di Padma Hotel”, cerita saya. “Wow, luar biasa”, puji Nikita. Cerita-cerita semakin seru, ke utara, ke selatan, ke timur dan ke barat, menunggu hujan reda. “Saya sebenarnya mau masuk DKV, tapi saya tidak diperbolehkan orang tua saya, akhirnya saya masuk Pendidikan Matematika”, cerita Nikita, seperti halnya cerita anak ke bapaknya. “Ya, gak apa-apa mbak. Mbak Nikita toh masih bisa belajar DKV dengan mandiri atau ikut komunitas, sembari tetap belajar matematika”, ungkap saya seperti seorang penasehat saja. “Saya pun, dari matematika, namun juga belajar animasi hampir selama satu tahun di Jogja”, ungkap saya sambil memberikan dukungan untuk menguatkan agar potensi yang dimiliki gadis tersebut terus dikembangkan. “Akhirnya, saya juga mengajar animasi”, tambah saya. “Pantesan, ketika saya ke Grafika, pengin saya mau ketemu Pak Diyarko, diarahkan ke guru lain. Ternyata Pak Diyarko sudah tidak mengajar matematika”, ungkap Nikita. “Betul mbak, karena di Jurusan Animasi, masih kekurangan guru, akhirnya saya mengajar animasi. Namun sampai saat ini, saya masih mengembangkan matematika dengan menulis di Erlangga”, ungkap saya. “Ooo, saya sepertinya tidak asing lho Pak dengan buku yang Bapak tulis”, ungkap Nikita. “Ya inilah, vibrasi positif dan dunia ini ternyata sempit mbak. Karena mbak Nikita pernah punya keinginan bertemu dengan saya, meskipun tidak ketemu di sekolah, ternyata ketemu di sini”, cerita saya sok bijak. Hujan pun reda, akhirnya saya berpamitan untuk pulang. “Mbak Nikita, terima kasih atas pertolongan mbak, semoga menjadi berkah untuk mbak Nikita. Mbak orang baik, pasti akan ketemu orang-orang baik”, ungkap saya.

Motor saya stater dan saya kendarai sampai di rumah. Joti yang tidak berani duduk di belakang, akhirnya minta duduk di depan. Mungkin trauma jatuh yang membuat Joti merasa ketakutan. Sampai di rumah, Joti pun tidak sabar untuk bercerita pada mamanya. “Ma, ma, ayah tadi jatuh, kakinya berdarah lho ma”, cerita Joti. Usai saya basuh, saya beristirahat cukup dan saya buka komputer untuk menceritakan kisah ini sambil menahan kaki yang masih terasa kaku. Sengaja kisah ini saya ceritakan untuk menginspirasi orang lain dan semoga muncul Nikita Nikita yang lain yang akan mengisi dunia ini sehingga dunia ini penuh kedamaian. Semoga di tahun politik ini, muncul banyak Nikita yang lebih mementingkan dan menunjukkan nilai-nilai kebajikan. Sudahkah, pembaca berbuat baik hari ini?

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *