Siap-siap Ditinggalkan Murid, Jika Hanya Mengisi Materi.

“Jika anda menjadi guru hanya sekedar transfer pengetahuan, akan ada masanya di mana anda tak lagi dibutuhkan, karena Googl lebih cerdas dan lebih tahu banyak  hal daripada anda, namun jika anda menjadi guru mentransder adab, ketaqwaan dan keihlasan, maka anda akan selalu dibutuhkan karena Google  tak punya itu semua”. Sebuah postingan yang menarik untuk direnungkan.

Kita  sebagai guru, ilmu yang diperoleh adalah ilmu di masa lalu, mungkin 20 tahun yang lalu ketika mengenyam di bangku perkuliahan, ilmu pengetahuan tersebut digunakan untuk mengajar anak di masa saat ini, yang dibutuhkan untuk masa depan. Jika ilmu pengetahuan yang cenderung tekstual tersebut diberikan kepada anak didik, bukan berorientasi pada proses penalaran dan optimalisasi daya kritis dan kreativitas, maka kita sebagai guru sudah tidak dibutuhkan lagi oleh anak didik kita, karena pengetahuan yang bersifat hafalan itu banyak diperoleh dari Google, bahkan dari Google tersebut mampu menyediakan banyak pengetahuan tersebut. Jelas Google jauh lebih cerdas dari kita sebagai guru ketika hanya orientasinya mengisi materi. Lalu yang dibutuhkan apa? Simak video dari founder Gerakan Sekolah Menyenangkan, Pak Muhammad Nur Rizal berikut.

 

Dunia pendidikan ke depan bukan persoalan akademik, karena akademik digantikan dengan kecerdasan buatan. Kecerdasan buatan merupakan kecerdasan yang ditambahkan kepada suatu sistem yang bisa diatur dalam konteks ilmiah atau bisa disebut juga artificial intelligence. Andreas Kaplan dan Michael Haenlein menyatakan bahwa kecerdasan buatan sebagai kemampuan sistem untuk menafsirkan data eksternal dengan benar, untuk belajar dari data tersebut, dan menggunakan pembelajaran tersebut guna mencapai tujuan dan tugas tertentu melalui adaptasi yang fleksibel. Kecerdasan diciptakan dan dimasukkan ke dalam komputer agar dapat melakukan pekerjaan seperti yang dapat dilakukan manusia. Persoalan pendidikan ke depan menurut WHO, berkaitan dengan bagaimana pendidikan itu mampu memecahkan persoalan pengelolaan mental dan stress.  Pengelolaan mental ini diperlukan ekosistem sekolah yang benar-benar memanusiakan anak didik kita. Dapat dibayangkan dari pukul 07.00 sampai dengan 15.30, siswa terkungkung di sebuah ruang kelas yang dibatasi oleh empat dinding, harus mendengarkan penyampaian guru yang mengisi materi, kurang diberi ruang untuk mengembangkan budaya dialektika. Di ruang kelas tersebut kurang diberikan ruang untuk  membahas hal-hal yang dibutuhkan anak didik karena gurunya masih terbelenggu oleh administrasi dan tuntutan capaian kurikulum maka borring pasti terjadi. Di sisi lain dengan banjirnya informasi dan ketika anak didik tidak mampu mengelolanya maka akan timbul persoalan sendiri yaitu stress. 

Dari uraian tersebut, maka diperlukan ekosistem sekolah yang mendukung anak didik kita, ekosistem yang mampu memberikan kehangatan psikologis (tidak dengan tekanan dan ancaman), namun diberikan tantangan yang tidak harus seragam karena kodrat anak adalah beragam dan unik. Dari tantangan yang diberikan feedback bukan sekedar penilaian angka tanpa makna, maka anak akan mencapai kebahagiaan ketika mampu menyelesaikan tantangan tersebut. Peran guru dalam hal ini adalah menjadi fasilitator sehingga anak didik mampu mencapai versi terbaiknya masing-masing. 

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *