Pengelolaan Kelas untuk Memenuhi Kebutuhan Belajar Murid yang Berbeda-beda

Bagaimana seorang guru dapat mengelola kelas dan memenuhi kebutuhan belajar murid-muridnya  yang berbeda-beda? Sebuah pertanyaan yang memantik saya untuk berpikir lebih mendalam.  Pertanyaan ini membuat saya mengingat kembali di saat tahun 2019 dan saat itu kurikulum merdeka ini belum saya kenal. Saya mulai mengenal tentang Gerakan Sekolah Menyenangkan yang saat itu saya mengenal tentang filosofi Ki Hajar Dewantara bahwa mendidik adalah menuntun kodrat anak untuk mencapai kebahagiaan setinggi-tingginya agar dapat bermanfaat untuk dirinya dan masyarakat sekitar. Dari uraian tentang pendidikan tersebut saya justru berpikir lebih bagaimana menuntun kodrat anak itu sendiri, dan salah satu keunikan yang dimiliki anak didik adalah keberagaman. Murid adalah unik dengan segala kebutuhan yang berbeda-beda. Ketika saya dihadapkan pada satu kelas saja yang terdiri dari 36 murid, maka saya dihadapkan pada 36 keunikan yang berbeda-beda. Bagaimana saya mampu menuntun mereka yang benar-benar beragam tersebut? Timbul keraguan. Mampukah saya mendidiknya sesuai filosofi Ki Hajar Dewantara?

Di tahun itu, masih masa pandemi. Namun saya mencoba melakukan proses menunutun anak yang berbeda-beda itu. Saya belum tahu saat itu sebuah pembelajaran diferensiasi, namun setelah saya baca-baca tentang pembelajaran diferensiasi, justru saya sadar bahwa saat itu meskipun masih terbatas saya sudah menerapkan pembelajaran diferensiasi. Saat itu, saya mengajar dasar-dasar kejuruan Animasi di kelas X, saya mencoba melakukan proses identifikasi alat pendukung yang dimiliki oleh siswa. Siapa saja yang memiliki laptop. Jika memiliki laptop, bagaimana spesifikasinya. Saya juga menanyakan apa bakat yang dimiliki siswa terkait dengan daya dukung di Animasi. Misalnya siapa saja yang memiliki kemampuan story telling. Siapa saja yang mampu menggambar secara manual. Siapa saja yang sudah mampu menggambar secara digital. Software apa saja yang sudah dikuasai siswa. Saya melakukan identifikasi melalui google form. Dari situlah saya justru menjadi lebih tahu kondisi awal siswa. Saat itu saya lakukan dan baru-baru saja mengetahui bahwa itu bagian dari test diagnostik. Berikut contoh sederhana yang saya lakukan untuk mengetahui peralatan pendukung yang dimiliki, kemampuan awal yang sudah dikuasai melalui link berikut.
https://docs.google.com/forms/d/e/1FAIpQLScUFfFitUJPqWD2gSOnIZbBi9lF0YZZHF_PahHAgerufwvfjw/viewform
Dari tes diagnostik tersebut saya menjadi tahu bahwa mayoritas siswa memiliki android, hanya 43% yang memiliki laptop, 5% memiliki komputer dan 26% memiliki pentablet, 43% memiliki stiluspen.


Dari hasil informasi ini maka secara proses pembelajaranya, saya harus menyesuaikan kondisi alat pendukung. Saya tidak harus memaksakan penggunaan alat tertentu dalam pembuatan animasi. Mereka mendapatkan kesempatan memilih alat yang dipakai dalam proses pembuatan animasi.

Ketika ditanya tentang software yang sudah dikuasai, sebanyak 84% sudah mampu menggunakan ibis paint, 60% flipa clip, dan sebagian kecil sudah mampu menggunakan studio paint, blender, adobe ilustrator, phothop, SAI, adobe animate dan krita. Dari hasil informasi ini maka dapat menjadi pertimbangan dalam pengelolaan pembelajaran berikutnya, bahwa siswa perlu dibebaskan memilih software yang sekiranya cocok bagi mereka atau karena kebiasaan yang sudah dilakukan.


Ketika pertanyaan saya lanjutkan tentang jenis animasi yang pernah dibuat sebelumnya, sebanyak 79% sudah pernah membuat animasi 2d, sebanyak 13,8% animasi 3D dan 15,5% belum penah. Dari informasi ini maka menjadi pertimbangan dalam pengelolaan pembelajaran bahwa saya tidak harus memaksakan murid membuat animasi dalam satu jenis saja secara seragam. Mereka perlu dibebaskan memilih animasi yang sekiranya sudah familiar bagi mereka. Bagi siswa yang belum penah ini, maka nantinya diberikan kebebasan mencoba tantangan membuat animasi yang sekiranya sesuai spesifikasi alat yang dimiliki, sofware yang lebih mudah bagi mereka.
Pembelajaran yang saya lakukan ini baru sadar bahwa ini adalah salah satu pembelajaran diferensiasi. Inilah cara saya menuntun murid sesuai dengan kodratnya yang memiliki keunikan masing-masing.

Ketika proses pembelajaran berlangsung, saya juga melakukan diferensiasi secara konten. Saya mendaftar nama-nama buah yang berbeda-beda. Murid membuat gambar karakter dan membuat animasi dari gerakan-gerakan yang paling sederhana seperti mata berkedip, gerakan tertawa, gerakan berbicara dari karakter buah yang dibuat kartunnya terlebih dahulu. Tidak ada yang sama dalam proses pembuatannya, mereka benar-benar diberikan kebebasan memilih alat, software, dialognya dan sebagainya. Dari proses inilah saya merasa bahwa kodrat murid yang beragam dapat dituntun hingga potensinya dapat berkembang hingga mencapai versi terbaiknya. Di samping saya memberikan tantangan yang bersifat wajib, saya juga memberikan tantangan yang bersifat bebas sesuai bakat dan potensi yang dimiliki. Berikut hasil karya siswa yang bisa saya tampilkan.


Yang telah saya lakukan untuk melayani kemampuan murid yang berbeda tentu membutuhkan efort yang tinggi. Meskipun pembelajaran saya nampaknya dilakukan secara klasikal, namun sebenarnya saya melakukan pelayanan secara individual. Sesuai dengan kodrat zaman, saya menggunakan group whatsapp sebagai media komunikasi. Setiap murid saya beri kesempatan untuk memposting karya di instagram, youtube ataupun media sosial lainnya. Link postingan itulah yang dikirim ke group, sehingga murid dapat melihat hasil karya teman-temannya. Di sinilah mereka saling belajar. Karya orang lain dapat menjadi referensi. Cara ini mempermudah saya dalam melakukan proses pengecekan. Kunci dari kegiatan ini adalah fast respon dan memberikan penguatan positif. Dari sinilah mereka akan lebih termotivasi untuk membuat karya-karya yang menarik. Setiap karya yang diposting tentu akan mendapat respon yang berbeda-beda, sehingga mereka akan mendapatkan perlakuan yang berbeda sesuai kebutuhan masing-masing individu. 
Ketika melakukan pembelajaran ini tentu saja mendapatkan tantangan dari keberagaman murid. Setiap murid memiliki keunikan dengan potensi yang berbeda-beda. Tantangan yang paling utama adalah dari sisi waktu. Saya harus mampu mengatur waktu untuk melayani secara individu. Namun dari proses pembelajaran klasikal dan penggunaan group whatsapp mengurangi pengulangan-pengulangan respon yang hampir sama. Ketika saya memberikan feedback dengan kasus yang relatif sama, maka murid yang ada di group tersebut akan menyimak dan menjadi pelajaran tersendiri.  Secara klasikal saya juga memberikan ulasan-ulasan yang bersifat umum dan bersama-sama. Inilah cara yang saya lakukan untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut.
Untuk mengakomodasi tantangan yang terkait dengan keragaman murid tersebut, menurut pengalaman yang sudah saya lakukan seharusnya pembelajaran itu dirancang dengan memperhatikan keragaman murid melalui hasil test diagnostik. Kita perlu merancang dan melaksanakan pembelajaran tersebut berdasarkan potensi yang ada, keragaman gaya belajarnya.  Untuk evaluasinya tentu perlu dilaksanakan secara individual, karena setiap murid memiliki target yang berbeda-beda. Inilah pengelolaan pembelajaran yang secara sederhana menerapkan pembelajaran diferensiasi menurut versi saya saat itu ditahun 2019. Sederhana semoga menginspirasi.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *