Salah satu ciri keberhasilan pembelajaran sebenarnya bukan terletak pada tingginya nilai yang diperoleh siswa. Ketika nilai menjadi satu-satunya tolok ukur, maka sebenarnya kita sebagai guru sedang bermain dengan cara-cara finite game, di satu sisi pendidikan itu sendiri merupakan infinite game. Ketika arah pembelajaran hanya untuk memperoleh nilai-nilai yang tinggi sebagai tolok ukur keberhasilannya, maka kita sedang membuat batasan-batasan pada anak didik kita, padahal ketika tidak diberi batasan ada kemungkinan besar siswa akan mencapai hasil di luar ekspektasi kita. Gara-gara ada angka-angka tersebut siswa yang sebenarnya bisa mencapai di atas ekspectasi kita, justru menjadi berhenti dan puas sampai di situ. Saking puasnya, akhirnya mereka seakan-akan seperti lilin yang menyala pada ruangan yang tertutup. Ia nampak paling bagus nyala terangnya karena ia mampu menerangi ruangan yang gelap dan sempit tersebut, namun setelah jendela dibuka, ternyata terangnya kalah dengan cahaya matahari di luar ruangan tersebut.
Lalu jika bukan lagi angka-angka nilai sebagai tolok ukurnya, terus apa yang dapat melejitkan potensi mereka? Justru yang mampu memantik mereka untuk mencapai keberhasilan di luar ekspektasi adalah feedback yang bersifat kualitatif bukan angka-angka kuantitatif. Budaya dialektika yang dibangun antara guru dan siswa secara individual itulah yang mampu menjadi bahan bakar mereka untuk terus berlari. Feedback merupakan respon positif dan bukan sekedar penghargaan yang diberikan, namun justru berisi pertanyaan-pertanyaan pemantik sehingga siswa terus berkarya dan akhirnya menjadi kebiasaan untuk menjaga konsistensi. Seseorang yang sudah mampu terus menjaga api konsistensi pada dirinya, maka ia sudah berada pada rel menuju GRIT, karena di dalamnya ada daya juang sebagai effort yang mendukung berkembangnya passion, bakat dan talentanya.
Dari proses memberikan feedback secara kontinyu tersebut saya dapat melihat hasil dari daya juang tersebut pada diri siswa. Salah satu siswa yang sampai saat ini mampu menjaga konsistensi tersebut adalah Naufal, siswa kelas X Animasi. Sejak saya kenalkan sebuah market place Threadless.com, Naufal sampai sekarang terus mengirim karya ke market place internasional tersebut. Meskipun sampai saat ini, ia belum mendapatkan royalty dari karya-karyanya, namun ia berkeyakinan bahwa suatu saat akan mendapatkan dari daya juangnya tersebut.
Gambar di atas beberapa contoh karya ya ia buat dan bisa untuk mengisiĀ konten-konten untuk desain kaos dan sejenisnya untuk konsumsi pelanggan internasional. Dari ia saya kenalkan market place di bulan Februari 2023, ia sudah membuat desain sebanyak 29 karya yang diposting di Threadless.com.
Bahagia rasanya, ketika melihat Naufal yang terus konsisten berkarya. Meskipun saat ini belum mendapatkan hasil royalty namun ia punya keyakinan bahwa suatu saat akan memetik hasilnya. Berkaca dari pengalaman mas Dina Prasetyawan yang pernah memberikan motivasi di SMK Negeri 11 Semarang, beliau bercerita bahwa royalty pertamanya ketika sudah mengirim karya di threadless yang ke 43 kalinya. Inilah yang sering saya jadikan acuan untuk memotivasi siswa untuk menjaga konsistensi berkarya. Selamat untuk Naufal, jaga terus api konsistensi ini menuju pada GRIT yang terus menanjak.