OSIS Prayatna Maitri Laksanakan Seminar Moderasi Beragama

“Apa alasan OSIS Prayatna Maitri menyelenggarakan kegiatan Seminar Moderasi Beragama”, pertanyaan yang saya lontarkan kepada peserta seminar ketika saya membuka kegiatan di ruang Mini Teater SMK N 11 Semarang. Pertanyaan yang tidak perlu dijawab, namun perlu diresapi lebih mendalam dan akhirnya perlu direalisasikan. Saya tidak perlu meminta jawaban dari peserta. “Anak-anakku, DNA kita adalah saling menghargai. DNA kita adalah gotong royong. DNA kita adalah Seni Budaya”, ungkap saya untuk mengawali penjelasan atas pertanyaan di atas.  “Semboyan Bhineka Tunggal Ika, sebenarnya sudah ada di Kitab Sutasoma pada zaman Majapahit. Di zaman itu, agama Hindu dan Buddha dapat hidup berdampingan. Kalimat lengkapnya Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa (https://www.hukumonline.com). Tulisan tersebut memiliki arti Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimana bisa dikenali? Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal”, ungkap saya selanjutnya untuk memberikan penekanan bahwa menghargai atau toleransi sudah berkembang lama di nusantara.

Ketika kita tengok kembali pada suatu relief Candi Borobudur ada sebuah relief yang menggambarkan tentang orkestra musik yang mengiringi seorang gadis menari di hadapan tamu kerajaan. Untuk memainkan sebuah orkestra musik dibutuhkan kolaborasi yang baik. Hal ini menunjukkan bahwa DNA kolaborasi sudah terbangun lama di bumi nusantara ini. Masih berkutat tentang musik, gamelan merupakan salah satu alat musik yang banyak jenisnya dan terbuat dari perunggu. Untuk membuat perunggu di jaman tersebut diperlukan teknologi mengolah logam. Hal ini menunjukkan bahwa peradaban di nusantara saat itu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang lainnya. Patut berbangga karena DNA kita adalah seni dan budaya. Seni dan budaya tercipta karena olah pikir, olah rasa dan olah karsa yang lebih mementingkan nilai-nilai estetika. Timbangannya bukan sekedar benar dan salah dengan logika saja, namun timbangannya adalah rasa. Inilah alasan mengapa OSIS Prayatna Maitri SMK Negeri 11 Semarang menyelenggarakan seminar moderasi beragama. Orang yang memiliki toleransi karena dilandasi cinta kasih universal yang diajarkan oleh setiap agama.

Dalam kegiatan seminar moderasi beragama ini ada hal unik yang ditampilkan. Setiap perwakilan agama yang ada di SMK Negeri 11 Semarang memimpin doa dengan versinya masing-masing. Perbedaan ini memang sengaja ditampilkan agar para peserta mengerti dan mengetahui itulah perbedaan. Empat peserta dari Islam, Katholik, Buddha dan Kristen memimpin doa secara khusuk dan hikmat. Dilanjutkan dengan menamkan nasionalisme dengan menyayikan lagu Indonesia Raya.

Memasuki kegiatan inti, kegiatan seminar moderasi beragama dilakukan dengan cara-cara yang tidak terlalu formal. Siska selaku moderator membuka acara dengan menanyakan hal-hal yang sederhana tentang pandangan toleransi dari setiap agama. Dari perbincangan semua narasumber yaitu Bu Netty (Kristen), Bu Diana Rini (Katholik), Pak Fahmi (Islam) dan Pak Daryono (Buddha) memberikan penjelasan bahwa cinta kasih menjadi landasan dari toleransi.  Perbincangan semakin hangat karena setiap narasumber memberikan makna toleransi dari sudut pandang masing-masing agama secara lebih mendalam yang akan menambah pengetahuan dan wawasan yang berbeda-beda. Keindahan pelangi karena banyaknya warna-warna yang tertata secara harmonis. “Mengasihilah orang lain layaknya mengasihi diri sendiri”, ungkap Bu Diana Rini ketika mengungkapkan landasan perlunya toleransi dan Pak Daryono menekankan tentang doa yang selalu diucapkan oleh umat Buddha adalah Sabbe satta bavantu Sukhitata yang memiliki arti semoga semua makhluk hidup berbahagia sebagai landasan tentang toleransi.

Menghargai merupakan nilai-nilai yang sudah dimiliki oleh pendahulu-pendahulu, dan ini merupakan warisan leluhur kita. Relief Karmawibhangga dipahat di dinding kaki candi dengan jumlah 160 panil, menjelaskan tentang hukum karma (sebab-akibat) dari perilaku manusia. ‘Karma’ berarti perbuatan dan ‘wibhangga’ berarti alur atau gelombang (Nugrahani, 2012) dalam Rahmat Krismono  (2020). Relief Karmawibhangga merupakan representasi kehidupan leluhur bangsa pada masa Mataram Kuno, yang menggambarkan salah satu realita sosial yaitu kerukunan umat beragama. Tidak hanya menggambarkan para bhiksu (tokoh agamawan Buddha), namun dalam relief ini terdapat berbagai tokoh agama lain, seperti pendeta Siwa, bahkan para pertapa (rsi). Candi Borobudur merupakan candi Buddha, namun uniknya, penggambaran bhiksu hanya sekitar 18 orang, sedangkan pendeta Siwa berjumlah 29, belum termasuk identifikasi jumlah rsi (Santiko, 2012) dalam Rahmat Krismono  (2020).

https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bkborobudur/belajar-toleransi-beragama-lewat-relief-candi-borobudur/

Seperti yang terpahat pada relief Karmawibhangga 0-55, Bhiksu memiliki kepala yang gundul, berpakaian jubah yang pundak kanannya terbuka, memegang tempurung untuk menampung sumbangan, dan terkadang membawa tongkat atau tasbih. Sedangkan pada relief Karmawibhangga 0-26, tergambarkan Pendeta Siwa memakai jato-makuta (mahkota rambut) dan upawita (tali kasta). Sramana (penyebuatan pertapa dalam Buddha) dan rsi (penyebuatan pertapa dalam Buddha dan Hindu) memakai busana dari kulit kayu, sedang mengunyah kayu cendana, memegang tasbih, dan berbagai perlengkapan lainnya (Magetsari, 1998) dalam Rahmat Krismono  (2020).

https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bkborobudur/belajar-toleransi-beragama-lewat-relief-candi-borobudur/

Semua penggambaran tokoh keagamaan yang beragam ini dalam kondisi yang harmonis tanpa adanya indikasi konflik. Hal ini tergambar pada relief 0-26, seorang pendeta Siwa yang sedang memberikan wewejangan kepada berbagai masyarakat. Begitu pula pada relief 0-117, terdapat dua pertapa yang meminta sumbangan kepada orang kaya pada aktivitas kaum Buddha. Dan masih ada lagi, yaitu pada relief 0-55 yang menggambarkan tiga orang bhiksu yang dihadapi oleh murid-muridnya, dengan satu panil yang sama digambarkan pula para pertapa yang sedang berjalan memegang payung.

Dari relief-relief tersebut nampak bahwa menghargai, menghormati sesama merupakan warisan leluhur budaya nusantara. Sifat menghargai sudah menjadi DNA orang-orang nusantara. Kita sebagai penerusnya, selayaknya untuk memegang teguh prinsip ini dan merealisasikan dalam pikiran, perasaan, ucapan dan tindakan sehari-hari. Bersyukur hari ini, 6 Desember 2023 OSIS Prayatna Maitri SMK N 11 Semarang dapat melaksanakan kegiatan Moderasi beragama dengan empat narasumber dari guru dan dihadiri 33 murid dari perwakilan agama-agama yang berbeda di SMK N 11 Semarang. Menurut Pak Fahmi, selama 12 tahun menjadi pengajar agama Islam di SMK N 11 Semarang, baru kali ini terselenggara kegiatan seminar moderasi beragama. Semoga suasana sejuk, damai terpancar pada sanubari murid-murid SMK N 11 Semarang yang terus mengedepankan pada toleransi. 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *