“Pak tadi dia cerita ke saya, soal pengalaman hari ini dengan Pak Di. Memang dia dari dulu pengin menjadi animator Disney Pak, makanya saya sekolahkan di SMK 11 Semarang. Terimakasih Pak untuk support nya. Memang Juan perlu dipacu, hari ini dia semangat sekali bercerita. Kendalanya anak saya itu kurang pede Pak”, ungkap salah satu orang tua melalui tulisan yang dikirim secara pribadi ke WhatsApp saya. “Ya. Bu. Tadi pagi alam semesta bersaksi. Sekarang di pikirannya sudah terpatri untuk meraih cita cita itu. Dukungan dari orang tua sangat diharapkan. Saya hanya bisa memantik saja”, jawab saya. Percakapan melalui tulisan berlanjut. “Iya pak. Yang saya heran, bagaimana bapak bisa melihat itu di diri anak saya pak? Sebab memang itu bakat anak saya. Dia kan pendiam pak dan pemalu. Padahal dia punya potensi yang besar, dari TK sudah kelihatan bakatnya Pak. Dia belajar menggambar otodidak, saya hanya memberi fasilitas sesuai kebutuhan dia”, orang tua siswa itu memberikan penjelasan lebih lanjut. “Intuisi bu. Meski belum dekat dan baru ketemu tadi pagi. Tapi ada magnet untuk dekat dan mengajak bicara dan memantiknya. Tolong ibu pantau rencana yang ditulis selama 1 bulan ini. Karena rencana yang ditempel itu sebagai pemandu Juan untuk terus berkarya”, jawab saya. “Wah, saya jadi terharu pak. terimakasih banyak ya pak, memang ini yang dibutuhkan anak saya, dipantik, dipacu dan diberi tantangan sama yang lebih ahli. Saya sering ngasih tahu dan support dia, tapi kayaknya masuk telinga kanan keluar telinga kiri.
Baru saja saya membuka kembali percakapan yang ada di whatsApp dengan orang tua siswa. Tepatnya percakapan itu terjadi pada tanggal 6 Januari 2022. Saya masih ingat pada tanggal itu di pagi hari saya memasuki ruang praktik lantai atas gedung animax SMK N 11 Semarang, yang disambut oleh anak-anak yang sudah duduk saling berhadapan. Saya ajak mereka untuk berdoa, setelah itu baru saya memberikan pertanyaan yang tidak biasa saya tanyakan. Ketika guru lainnya mengajak siswa-siswanya untuk masuk sekolah ketika pemerintah daerah memberikan kebijakan untuk bisa dilakukan pembelajaran tatap muka meskipun secara terbatas. Namun saat itu saya menanyakan, “Mengapa kalian sekolah? Untuk apa kalian sekolah?” Pertanyaan-pertanyaan tersebut sebagai pemantik agar siswa berpikir lebih lanjut. Saat itu saya ajak siswa secara bergantian menyampaikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Mayoritas siswa memberikan jawaban bahwa ke sekolah untuk belajar, dan karena mereka merasa kesulitan mengikuti pembelajaran secara daring. Mereka mengalami kesulitan karena belum dijelaskan oleh guru terlebih dahulu. Jawaban tersebut menunjukkan bahwa mereka belum terbiasa belajar mandiri. Ketidakmandirian ini sebagai bukti nyata bahwa orientasi materi masih menjadi prioritas dalam pembelajaran saat ini. Siswa belum terbiasa diberikan tantangan-tantangan yang dapat memicu berkembangnya potensi yang mereka dimiliki. “Sebenarnya apa tidak bisa kalian belajar mandiri, tanpa harus menunggu penjelasan dari guru?. Pertanyaan itu saya lontarkan untuk memberikan penegasan kembali. Mayoritas siswa serempak menjawab bahwa mereka sebenarnya bisa belajar secara mandiri. Pertanyaan saya ungkapkan lagi, “Lalu sebenarnya untuk apa kalian ke sini?”. Ada salah satu siswa akhirnya memberikan jawaban “Daripada kesepian di rumah, lebih baik ke sekolah bisa bertemu dengan teman-temannya”. Dari jawaban inilah dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya suasana sekolah itulah yang dibutuhkan oleh anak-anak ketika ke sekolah. Ketika ingin mendapatkan materi, itu hanya jawaban secara formal saja. Karena materi sebenarnya sudah banyak di dunia maya, ketika penugasan-penugasan dari guru hanya bersifat hafalan, sebatas definisi dan segudang pertanyaan yang low order thinking. Ketika saya pantik kembali dengan pertanyaan yang lebih menohok, “Memang materi-materi hafalan yang ada di sekolah ini bermanfaat untuk masa depanmu?”. Banyak siswa yang heran dengan pertanyaan itu. Akhirnya saya ajak untuk berkelana ke masa depan, saya ajak diskusi, saya tunjukkan banyak pekerjaan-pekerjaan manusia yang bersifat rutin tergantikan oleh robot dan mesin digital. Tidak jauh-jauh mereka saya ajak diskusi tentang digantikannya para karyawan yang dulu menjaga pintu gerbang tol, sekarang sudah tidak ada lagi karena digantikan oleh mesin e tol. “Sudah siapkah kalian untuk masa depanmu, kalau cara belajar kalian hanya sebatas ini?” Kembali saya lontarkan pertanyaan kepada siswa. Melalui pertanyaan tersebut mulai berpengaruh pada kesadaran diri mereka. Akhirnya mereka menjadi sadar bahwa ke sekolah bukan sekedar ingin belajar menunggu materi dari guru, namun perlu memperbaiki cara belajar mereka yang dipandang efektif untuk menghadapi masa depannya.
Agak lama, saya berbicang-bincang dengan mereka untuk memberikan kesadaran diri tentang pentingnya belajar. Bahkan mereka dapat menyimpulkan bahwa belajar lebih luas daripada sekolah. Bagi mereka, belajar dapat dilakukan dari mana saja, tidak harus dari sekolah. Dengan kata lain, guru yang ada di sekolah bukan satu-satunya sumber belajar, bahkan mereka dapat belajar dari mana saja untuk mempersiapkan masa depannya.
Memasuki pada inti dari kegiatan morning sharring ini, saya mengajak kepada seluruh siswa untuk menanyakan pada dirinya sendiri. “Mimpi besar apa yang ingin diraih”. Saya tertarik untuk menanyakan terlebih dahulu kepada salah satu siswa yang relatif pendiam. Ia memperkenalkan dirinya bernama Juan Farel. Karena belum terbiasa menyampaikan dengan lancar, akhirnya saya pancing dengan pertayaan. “Apa mimpi besarmu Juan?”. Ia menjawab ingin menjadi animator di Disney. “Selain itu?”, lanjut pertanyaan saya ke gadis itu sambil saya mendekat agar komunikasi lebih fokus. “Ilustrator dan komikus”, jawab Juan dengan nada yang tidak terlalu keras. “Oke, dari ketiga impian besarmu itu, mana yang akan kamu capai terlebih dahulu?”. Kembali saya tanyakan untuk menggali lebih mendalam. Dia memberikan penjelasan bahwa ilustrator yang akan dicapai terlebih dahulu.
Untuk mencapai impian tersebut pasti diperlukan strategi dan semua kegiatan yang dilakukan mengarah pada impian besar itu. Akhirnya saya ajak juan untuk membuat perencanaan. Dari pertanyaan-pertanyaan pemantik, akhirnya Juan membuat daftar atau list gambar-gambar yang akan dibuat selama 1 bulan pertama. Kesadaran diri ini muncul dari diri Juan. Dampak dari kesaran diri ini terlihat dari program one day one project yang terus berjalan. Juan termasuk salah satu siswa yang secara konsisten melakukan kegiatan one day one project tersebut. Adanya lonjakan yang drastis dibandingkan pada semester sebelumnya, ia cenderung malas mengirim karya. Kualitas karya-karya yang dihasilkan pun juga mengalami peningkatan yang signifikan. Tidak hanya Juan, banyak siswa lainnya yang mengalami proses penyadaran pada dirinya sendiri. Semakin meningkatnya konsistensi siswa dalam melaksankan program one day one project, sebagai salah satu bukti bahwa morning sharring memberikan dampak pada kesadaran diri. Meskipun banyak guru yang masih meragukan efektivitas kegiatan morning sharing karena dianggap akan menyita waktu pembelajaran sehingga materi banyak yang tidak tersampaikan, namun bagi guru yang menyadari bahwa kesadaran diri itu jauh lebih penting, maka morning sharing akan menjadi pilihannya. Selamat mencoba.
Wow sedasyat itu ya pak peran morning sharing, saya mau mencobanya
Jika di matematika apakah kita bisa kasi one day one project Pak?
Biasanya kita memberikan tantangan di matematika biasanya langsung banyak ya. Karena setiap anak memiliki kecepatan yang berbeda-beda, maka one day one project di matematika bisa juga dilakukan. Kita beri kebebasan anak untuk memposting penalaran mereka dari hal yang paling sederhana menurut versinya anak masing-masing. Sehingga lambat laun matematika bukan lagi sesuatu yang menyulitkan. Ketika di awal saja anak sudah dihargai, maka akan tercipta mindset bahwa matematika itu mudah dan menyenangkan