Malu pada Semut Merah

Semut adalah hewan yang bodoh, ia memiliki otak berukuran paling kecil dengan jumlah 250 ribu sel dan jauh sekali perbedaannya  dengan otak manusia yang memiliki 86 milyar sel. Ia tidak memiliki kemampuan yang subtansial untuk berpikir, berefleksi atau membuat rencana seperti manusia. Namun di balik itu, justru ketika semut berkoloni bisa menunjukkan perilaku yang benar-benar cerdas. Mereka memiliki kecerdasan kolektif yang luar biasa, sehingga setiap individu semut mampu berkontribusi terhadap kelompoknya melebihi keterampilan dan kepekaan individu.

Manusia yang memiliki sel otak jauh lebih banyak, apakah selama ini mampu menunjukkan kecerdasan kolektifnya? Patut untuk direnungkan oleh kita sebagai pendidik. Kecerdasan individual yang sering diagung-agungkan di dunia pendidikan sehingga justru melahirkan manusia-manusia egois, tak berempati satu sama lain. Ketika seseorang dianggap paling super, justru kesuperannya menjadikan dirinya merasa lebih dari segala-galanya sehingga lupa bahwa ada tangan-tangan lainnya yang memberikan peran terhadapnya.

Hal-hal semacam ini, perlu menjadi bahan renungan dan refleksi diri kepada anak didik sehingga mereka dapat menyadari betapa pentingnya kesadaran kolektif. “Saya pikir jika manusia yang mampu memiliki kecerdasan melebihi semut, pasti ia sudah sadar akan hal tersebut. Terkadang saya sendiri pun masih tidak merespon atau melakukan sesuatu dengan baik. Saya perlu lebih banyak intropeksi diri dan menyadarkan diri untuk melakukan hal lebih baik lagi dengan karunia akal dan pikiran yang melebihi semut tersebut”, ungkap Kanza siswa kelas X Animasi SMK N 11 Semarang di ruang group whatsApp.

“Yang saya pikirkan dan saya rasakan setelah membaca teks tersebut adalah, ketika orang-orang di dalam group memiliki kemampuan untuk berbagi pengetahuan, untuk berpikir dan bertindak di dalam keselarasan dan saling berkoordinasi, maka itu bisa mencapai hasil yang diinginkan”, ungkap Nesya.

“Yang saya pikirkan dari tulisan tersebut adalah seharusnya manusia bisa lebih baik dalam hal bekerja sama, tapi karena keegoisan masing masing individu, kerja sama menjadi terhambat.

Apa ini karena pendidikan kita yang sudah lama mengagung-agungkan kecerdasan intelektual, menyeragamkan cara mendidiknya, memberikan standarisasi yang sama. Pendidikan kita sudah terlalu lama memberikan nilai berupa angka-angka dengan perangkingan. Akhirnya pola-pola itu masih mengakar di masyarakat kita. Meski sekolah sudah tidak mencantumkan ranking, orang tua pun masih menanyakan tentang rangking anaknya saat menerima rapport.

Dampaknya, anak-anak kita lebih sulit ketika harus menunjukkan kecerdasan kolektifnya. Ketika diskusi di kelas, hanya didominasi oleh anak-anak yang dianggap pintar. Ketika ada tantangan untuk kerjasama, maka yang terjadi adalah yang kerja satu, yang lainnya sama.  Belum ada peran dari setiap individu untuk kelompoknya. Saya yakin, pola-pola ini banyak dialami oleh anak-anak didik kita. Kita sendiri saja sebagai guru juga sulit untuk berkolaborasi. Ketika kurikulum merdeka diimplementasikan dan menuntut adanya kolaborasi antar mata pelajaran dalam sebuah project, masih banyak guru-guru yang  belum bisa bergabung. Masih egois dengan idealisme mata pelajaran yang diampunya. Mungkin sistemnya yang belum memberikan ruang kolaborasi. Namun ketika diberikan ruang untuk berkolaborasi, mereka masih setengah hati. Dampaknya anak didik kita masih harus berjibun dengan penugasan-penugasan dari setiap mata pelajarannya. Masih belum bisa “legawa” ketika anak didik kita berada di industri untuk magang dan dibebaskan dari tugas sekolah. Mereka masih harus menyelesaikan tugas-tugas dari setiap mata pelajaran yang ujung-ujungnya untuk pemenuhan administrasi guru. Meskipun sudah menggunakan kurikulum merdeka, para guru juga belum bisa merdeka jiwanya. Terasa pedas memang kritikan ini, setidaknya dapat menjadi renungan untuk para pendidik agar memberikan kemerdekaan kepada anak didik. Mendidik bukan menuntut anak didik, justru hendaknya menuntunnya agar menjadi versi terbaiknya masing-masing.

Semoga tulisan ini menjadi bahan renungan bagi pendidik, bahwa kolaborasi menjadi point penting untuk disadari dan ditindaklanjuti dalam berperilaku agar kecerdasan kolektifnya berkembang. Jangan sampai kita manusia kalah dari semut. “Malu aku malu, pada semut merah”.

 

 

 

1 thought on “Malu pada Semut Merah”

  1. Sangat menyentuh hati untaian kata-kata diatas,sebagai orangtua saya merasa kurang sekali dlm mendidik anak,apalagi memberi fasilitas yg dibutuhkan .Masih sulit anak untuk melangkah.🤭🤭🙏

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *