Kajian Filosofi Sekolah Masa Depan

Sumber: https://tekno.sindonews.com

Betapa paniknya, rasa cemas dan harga diri jatuh ketika akun facebook, WhatsApp, Instagram kita dihack orang, sehingga akun tersebut digunakan oleh orang lain untuk hal-hal negatif.  Kejadian tersebut merupakan salah satu ilustrasi bahwa kita sebenarnya sudah dikuasai oleh algoritma. Ketika kita sering menonton film di youtube, sering menggunakan google untuk mencari informasi, secara tidak sadar pada waktu berikutnya kita akan mendapatkan kiriman film ataupun informasi sesuai dengan keinginan kita. Algoritma yang ada di big data sebenarnya sudah membaca apa yang disukai kita dan menyuguhkan hal-hal yang menjadi kesukaan kita. Apa yang menjadi konsumsi kita di dunia maya sudah terbaca oleh algoritma. Dengan kata lain algoritma membantu memprediksi pilihan kita, memanipulasi keinginan kita dan membantu membuat keputusan secara cepat dan tepat. Di abad 21 ini, algoritma justru memiliki otoritas lebih besar dari manusia pada seluruh sendi kehidupan ini. Algoritma tidak hanya membantu manusia, mengontrol manusia, namun lebih dahsyat lagi karena mengganti peran manusia. Banjir informasi dari dunia maya, peran algoritma yang mampu mempengaruhi peran manusia memberikan dampak negatif yaitu meningkatnya tingkat kecemasan diri dan depresi.  Berdasarkan dara WHO, tingkat prevalensi gangguan jiwa di seluruh dunia pada tahun 2019, terdapat 264 juta orang mengalami depresi, 45 juta orang menderita gangguan bipolar, 50 juta orang mengalami demensia, dan 20 juta orang jiwa mengalami skizofrenia. Peningkatan depresi dan gangguan jiwa semakin meningkat setiap tahunnya.

Menurut Muhammad Nur Rizal Founder GSM saat mengisi webinar saat pendampingan sekolah model GSM yang mengambil topik filosofi sekolah masa depan, 29 Maret 2022 menyatakan bahwa  abad 21 berpotensi menciptakan dualitas manusia yakni superpower human dan useless generation. Di satu sisi manusia-manusia yang mampu mengikuti perkembangan teknologi, informasi akan menjadi manusia super power, sedangkan   yang tidak mampu mengakses dan mengikuti perkembangan tersebut akan menjadi manusia yang tidak berguna. Di prediksi proporsi jumlah useless generation akan lebih tinggi daripada manusia super power.  Ketika super power yang dikuasai oleh algoritma tersebut menjadi manusia yang egois, maka akan semakin menindas useless generation, namun ketika super power tersebut menjadi manusia altruis, maka uselees generation akan dibantunya.  Kemungkinan masalah utama manusia di abad 21  berkaitan  dengan persoalan psikologis yang lebih dominan daripada persoalan ekonomi, teknologi dan persoalan lainnya. Rasa stres akibat perubahan yang sangat cepat dan tidak pasti, pekerjaan yang saat ini ada semakin hilang dan tergantikan pekerjaan baru yang belum terprediksi sebelumnya, krisis iklim yang menimbulkan penyakit baru, banjir informasi  yang menimbulkan mental overload seperti kebingungan dan kecemasan. Kondisi ini menuntut  sekolah masa depan yang tidak lagi berkutat pada pengisian materi namun mampu melatih anak didik memiliki kecerdasan emosi  dan keseimbangan mental. Karena manusia butuh resiliensi  dan adaptasi terhadap perubahan. Di sekolah masa depan harus mampu membawa anak didik memiliki kemampuan lebih cerdas daripada algoritma  digital yang menguasai kita. Sudah sekolah kita membekali anak didik dalam menghadapi kondisi ini?

Solusi utama untuk sekolah masa depan adalah sekolah yang mampu membekali anak didiknya untuk menjadi  manusia yang selalu reinventing  dirinya, sehingga anak didik mampu mengenali diri segala potensinya, selalu ingin belajar dan mampu menemukan kebermaknaan hidupnya.  Ketika seseorang mampu menemukan apa yang dilakukan bermakna terhadap hidupnya maka menjadi titik balik untuk melakukan perubahan-perubahan pada dirinya, mengembangkan potensinya dan akan menjadi gandrung untuk belajar sepanjang masa.  Inilah yang dibutuhkan anak didik kita di masa depan, sehingga peran guru dipertaruhkan untuk menuntun kodrat anak didik. Peran guru sangat berat, karena ilmunya diperoleh dari masa lalu, mengajarnya di masa sekarang, namun harapannya untuk masa depan anak didiknya.  Peran guru yang bukan sekedar pengisi materi, namun menuntun kodrat anak didik agar haus akan rasa ingin tahu, berimajinasi dan menghargai keunikan masing-masing anak didik.  Dalam sesi terakhir dari webinar tersebut, Muhammad Nur Rizal mengutip Socrates, “Jangan menuntut apapun anak-anakmu, namun mintalah mereka mengenali dirinya sendiri”.  Untuk itu sekolah masa depan hendaknya memperkuat kultur sekolah sebagai pondasi dengan cara memperkuat lingkungan belajar positif, menciptakan keterhubungan sekolah yang kondusif terhadap orang tua dan masyarakat, melakukan pengembangan personal dan interpersonal anak didik serta melaksanakan pembelajaran penalaran dan kesadaran diri.

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *