Ibu

Di bulan Desember ini, ada satu peringatan besar untuk selalu direfleksikan oleh setiap anak, tepatnya tanggal 22 Desember yaitu Hari Ibu. Ibu menjadi tokoh yang paling dekat dengan kita dan sekaligus menjadi penentu kelangsungan dunia. Ibu bukan sekedar sebagai ibu biologis namun lebih dari itu yaitu sebagai ibu psikologis. Tidak dapat dipungkiri di dunia ini, ada seorang yang hanya menjadi ibu biologis, sedangkan kewajiban sebagai ibu psikologis belum dilaksanakan dengan baik. Tentu  yang diharapkan anak-anaknya adalah peran kedua-duanya.

Mengenal tentang sosok ibu dalam ajaran kuno sudah ditampilkan di dalam sebuah relief Candi Mendut yang dikenal dengan Dewi Hariti. Hariti sebagai raksasa dikenal sebagai Dewi Kesuburan serta Dewi Pelindung Anak. Bagaimana seorang raksasa disebut sebagai Dewi Kesuburan dan sebagai Dewi Pelindung Anak? Ada cerita dibalik itu semua. Konon, bersama suaminya yang bernama Panchika sebagai panglima perang Dewa Kuwera. Mereka memiliki lima ratus orang anak.  Yaksini Hariti dikenal sebagai raksasa pemakan anak manusia dan sering menculik anak manusia untuk dimakan dirinya dan anak-anaknya. “Anak-anakku sayang, mama bawa makanan enak, anak manusia nih”, ucap Yaksini Hariti kepada anak-anaknya.  Karena seringnya kejadian hilangnya anak-anak kecil yang diculik Hariti, cerita tersebut menyebar sampai di telinga seorang bhiksu yang dekat dengan Buddha. “Buddha, akhir-akhir ini banyak anak yang hilang diculik Yaksini Hariti”, lapor seorang bhiksu kepada Buddha. “Aku akan menyadarkannya”, jawab Buddha.
Pada suatu senja, Hariti merasa ada sesuatu yang kurang dengan anak-anaknya. Ia mulai menghitung berkali-kali. “497 … 498… 499. Kurang 1! Di mana Priyangkara, putra kesayanganku?”, Hariti semakin gusar dan resah. Akhirnya Hariti mencari di berbagai alam, namun tak ketemu juga. “Suamiku, aku sudah mencari ke mana-mana!, tapi anak kita Priyangkara belum ketemu juga”, kata Hariti kepada suaminya. “Buddha mahatahu, tanyakanlah kepada Buddha”, saran Panchika suami Hariti.

Demi anaknya, Hariti akhirnya menghadap Buddha. “Buddha, di manakah gerangan putraku Priyangkara?”, tanya Hariti kepada Buddha. “Kehilangan satu dari ratusan anakmu saja kau begitu sedih. Bagaimana sedihnya para orangtua yang kehilangan anaknya karena kau mangsa?”, jawab Buddha. Buddha lalu memunculkan Priyangkara yang disembunyikan di mangkuknya. “Anakku!”, teriak Hariti sambil memohon ampun kepada Buddha. Hariti pun menjadi sadar. “Buddha, aku bersumpah tak akan memangsa anak manusia lagi. Aku akan menjadi pelindung anak di segenap alam. Aku tak akan makan daging lagi, aku cukup makan buah delima saja”, kata Hariti kepada Buddha sambil bersimpuh di hadapan Buddha. “Sadhu! Sadhu! Sadhu!”, jawab Buddha.

Orang-orang pun mulai mempersembahkan makanan kepada Dewi Hariti. Selain sebagai pelindung anak, Hariti juga simbol keharmonisan suami-istri dan keutuhan keluarga. Juga perantara doa memperoleh keturunan. Para wanita yang menghendaki memiliki keturunan, menyebut nama Dewi Hariti. “Sang Dewi, semoga aku cepat punya anak!” Dewi Hariti diyakini melindungi ibu yang melahirkan anak. Saat menjalani persalinan wanita berbisik kepada Sang Dewi: “Hariti, lancarkanlah persalinanku“. Hariti merupakan aspek kewelasan. Rahimnya seakan menjadi harapan bagi seluruh calon anak-anaknya. 

Relief Dewi Hariti di Candi Mendut, menggambarkan kisah seorang raksasa perempuan yang dulu jahat dan suka memakan anak kecil, lalu bertobat menjadi penyayang anak-anak karena bertemu Sang Budha.

Relief Dewi Hariti di Candi Mendut

Dari kisah tentang Dewi Hariti dapat diambil kesimpulan bahwa seorang ibu tidak lepas dari kata sifat yaitu menyayangi anak-anaknya. Selain menjadi penerus kelangsungan kehidupan di dunia yang melahirkan anak-anaknya, seorang ibu memiliki sifat yang akan terus menyayangi anak-anaknya. Tidak pandang anaknya dalam kondisi apapun, seorang ibu akan selalu menyayangi anaknya. Peran seorang ibu dalam Digha Nikaya III, 189 adalah mencegah anak berbuat jahat dan menganjurkan anak berbuat baik. memberikan pendidikan yang sesuai kepada anaknya. Mengingat begitu besarnya peranan seorang ibu, maka ibulah yang sangat patut dihormati. Ibu sebagai inspirator dalam keluarga dan masyarakat. Kita semua dilahirkan dari seorang ibu. Karenanya, ibu memiliki peran yang sangat penting dan tanggungjawab yang sangat besar dalam keluarga, baik bagi suami ataupun anak-anaknya. Selain mengatur urusan dan pekerjaan rumah tangga yang tidak ringan, juga dalam membangun kasih sayang, kehangatan dan kebahagiaan dalam keluarga. Seorang ibu memiliki kedudukan yang terhormat. Ibu digambarkan sebagai tangga untuk naik ke surga (paramasakha), sebagai makhluk yang tertinggi (Brahma), dan seorang yang telah mencapai penerangan sempurna (Arahat). Ibu menjadi guru pertama dan utama bagi anak-anaknya. Sosok yang paling berperan membentuk karakter dan etika moral anak-anaknya. Kualitas diri dan moral seorang ibu akan sangat mempengaruhi kualitas anak-anaknya sejak masih dalam kandungan hingga telah lahir. Dalam sutta tentang cinta kasih atau dikenal dengan Karaniyametta Sutta dijelaskan cinta kasih seorang ibu terhadap anaknya, yaitu: Sebagaimana seorang ibu mempertaruhkan jiwanya melindungi putra tunggalnya, demikianlah terhadap semua makhluk kembangkan pikiran cinta kasih tanpa batas. Cinta kasih seorang ibu tak termakan oleh waktu, tiada batas, dan tiada syarat. Seorang ibu rela mempertaruhkan jiwanya untuk keselamatan anak-anaknya, sejak anaknya belum lahir hingga anaknya telah lahir. Tanpa seorang ibu, seorang anak tidak akan memperoleh cinta kasih dan kasih sayang secara sempurna.

Ibu dan anak memiliki jalinan emosional yang kuat. Seorang ibu senantiasa berharap, berdoa dan mengajarkan anak-anaknya agar kelak menjadi orang yang berbudi, orang yang sehat, menjadi orang yang bajik, menjadi orang yang bijak dan menjadi orang yang bahagia. Seorang ibu memiliki jasa yang amat besar dalam mengasuh, membesarkan, mendidik dan membimbing anak-anaknya. Memberikan banyak nasihat dan petuah kepada anaknya sedari kecil sebagai bekal menyongsong masa depan. Mengajarkan anak-anaknya untuk memiliki rasa malu berbuat jahat (hiri) dan takut akan akibat dari perbuatan jahat (ottappa). Mencegah anak-anaknya berbuat jahat yang dapat merugikan diri sendiri dan juga merugikan orang lain. Menganjurkan anak-anaknya berbuat baik bukan hanya kepada diri sendiri, tetapi juga berbuat baik kepada orang lain.

Ibu adalah Tuhan yang nampak bagi anak-anaknya. Di saat orang yang dimabuk dogma agama yg selalu mengagung agungkan Tuhannya tetapi tidak merawat dan melayani ibunya dengan baik maka mereka tidak bisa melihat Tuhan yang ada di dekatnya. Ibu adalah nilai kasih yang utama yang bisa kita rasakan sejak kita menghirup udara di dunia ini. Ibu adalah pencipta dan pengisi kasih yang pertama dalam hidup kita…Ibu adalah lambang cinta dan kasih yang nyata. Hormat dan Sujud Ku untuk Ibu. Sudahkah kita berbakti kepada ibu, hari ini? 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *