Hentikan Eksklusivitas! Ciptakan Ruang Inklusivitas di Kelas

Kebayang gak sih, jika siswa yang masuk di suatu jurusan tertentu di SMK Negeri itu sebenarnya banyak yang tidak sesuai passionnya? Meskipun ketika penerimaan peserta didik baru, siswa tersebut mendapatkan banyak pilihan. Ada sebagian siswa yang sebenarnya memilih pada pilihan pertama, namun karena nilai akademiknya yang kurang sehingga tergeser pada pilihan kedua. Ada pula sebagian siswa yang diterima di pilihan pertama, namun sebenarnya passionnya di pilihan kedua karena ketidaktahuan informasi tentang jurusan tersebut. Ketika sudah masuk di jurusan yang diterima, sedangkan passionnya sebenarnya bukan pada jurusan tersebut, akhirnya anak menjadi galau. Baru masuk kelas saja sudah tidak mulai betah, mau pindah jurusan atau mau pindah sekolah. Namun untuk pindah jurusan sudah tidak bisa karena terbentur administrasi dan aturan yang berlaku. Lalu bagaimana kita sebagai pendidik menyikapi kondisi tersebut?

Malam-malam, sekitar sehabis magrib mendapatkan pesan di WhatsApp dari seorang siswa yang tidak saya kenali dan dia mengenalkan diri dari kelas X DKV 7. Artinya siswa tersebut dari jurusan Desain Komunikasi Visual di SMK Negeri 11 Semarang. Permisi pak, saya Mochammad Rayhand dari DKV 7 mohon diijinkan masuk ke grub WA animasi karena ingin melihat karya anak-anak  animasi”. “Jangan hanya melihat, ikut saja membuat karya! Nanti diposting di IG!”, balas saya. “Saya juga ingin membandingkan karya saya dengan anak animasi”, lanjut muncul pesan lagi dari anak tersebut. “Tidak perlu membandingkan. Setiap karya itu unik. Setiap orang memiliki keunikan masing-masing. Di jurusan animasi tidak ada proses membandingkan satu sama lain, Oke”, jawab saya agak panjang. Besar harapan saya adalah ketika bergabung, anak tersebut memiliki mindset yang berkembang dan belajar itu memiliki motif yang bagus, tidak bersaing pada orang lain, namun justru bersaing terhadap dirinya sendiri. Ketika seseorang mampu mengalahkan dirinya sendiri, mengalahkan kemalasannya dan menjadi pribadi yang terus bertumbuh, maka ia memiliki growth minset. “Terima kasih Pak”, ungkap dia melalui pesan WhatsApp. Akhirnya anak tersebut saya masukkan di group animasi untuk mengikuti pembelajaran secara online. Ia siswa jurusan Desain Komunikasi Visual yang sehari-harinya dapat mengikuti pembelajaran secara tatap muka di jurusan tersebut, namun secara online dapat mengikuti membuat challenge-challenge yang ada di jurusan Animasi.

“Saya pas mau masuk grafika itu mau masuk animasi karena tertantang dengan one day one project. Tapi sayangnya saya malah masuk DKV Pak. Entah kenapa saya kemarin malah milih DKV”, ungkap Reyhan melalui WhatsApp beberapa waktu kemudian. “Tidak apa-apa, kamu dapat mengikuti kegiatan pembelajaran di DKV dan masih bisa ikut ngasah di animasi melalui One day one project. Silahkan diikuti. Nanti kamu akan cepat menjadi profesional”. Inilah yang bisa saya berikan semangat pada Reyhan. Akhirnya saya memasukkan siswa tersebut ke dalam group animasi. Dalam waktu yang tidak lama, ia langsung membuat challenge karya pointilis. Gambar di atas merupakan hasil karya Reyhan dari DKV yang mencoba menyelesaikan challenge Pointilis di jurusan Animasi. “Saya menggambar anjing dengan gaya seperti samurai karena terinspirasi dari kisah anjing yang bernama Hachiko yang berasal dari jepang yang terkenal akan kesetiaannya pada tuannya, ia terus menunggu tuannya tersebut di sebuah stasiun selama lebih dari 9 tahun setelah kematian pemiliknya. Saya menggambar anjing tersebut dengan berpakaian samurai karena sama sama setia terhadap tuannya bahkan sampai tuannya mati”, ungkap Reyhan di instagramnya.  Tidak hanya Reyhan, ternyata ada temannya juga yang mengajukan mengikuti pembelajaran secara online di jurusan Animasi.

Hikmah yang dapat saya ambil dari kisah ini adalah sekolah yang memanusikan manusia, yang menciptakan ekosistem menyenangkan hendaknya mampu menciptakan insklusivitas yang selalu terbuka terhadap perbedaan. Ketika jurusan menciptakan eksklusifitas, justru sejak saat itu sedang membunuh kodrat anak didik kita, yakni kodrat bahwa manusia itu unik dan berbeda-beda. Jangan sampai jurusan memiliki kelas-kelas yang eksklusif, yang mau masuk di kelas tersebut harus ada seleksi yang super ketat dengan tes akademik, wawancara, tes psikologis. Aliha-alih agar mendapatkan siswa yang berkualitas sehingga menjadi kelas yang eksklusif. Jangan-jangan siswa yang masuk tersebut justru akan timbul kesombongan, merasa paling wah, paling pintar dan sebagainya. Ingat bahwa mendidik adalah menuntun kodrat anak didik kita yang harus mampu menghargai sebuah perbedaan. Perbedaan itu memang ada dan pasti ada setiap saat. Justru menurut pandangan saya, kelas itu ciptakan kelompok-kelompok sesuai passionnya. Sehingga setiap siswa dapat belajar sesuai passion. Saya bermimpi di jurusan Animasi itu ada kelas industri, yang mengakomodasi dan menerima passion-passion yang berbeda-beda, dan tidak timbul ruang eksklusif. Salam GSM, berubah, berbagi, berkolaborasi.

 

 

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *