Filosofi Jari dari Pak Cuk

Jenthik-othak-athik. Othak-athik barang kang manis. Supaya dadi wong kang pinunjul. Ojo lali tuduhna marang wong liya. Iku wong kang jempolan. Ojo lali tansah manembah mring Gustimu. Sebuah nasehat yang diberikan oleh Pak Cuk panggilan seorang guru Bahasa Jawa dan Seni Musik SMP Negeri 2 Candiroto kala itu di tahun 1992. Saat ini sekolah tersebut berubah menjadi SMP N 1 Bejen Temanggung. Beliau bernama Bapak Ruwiyanto yang mengajarkan kepada anak didiknya dengan kasih, tak pernah terlontar kata-kata kasar. Yang keluar dari bimbirnya adalah kata-kata manis, dengan bahasa Jawa Kromo yang selalu menjadi teladan bagi kami saat itu.  Saya masih ingat sekali kata-kata beliau tentang filosofi jari. Sambil memberikan penjelasan kepada kami satu demi satu filosofi jari-jari tangan.

Diawali dari filosofi jenthik. Jenthik dalam bahasa Jawa yang berarti jari kelingking. Jenthik memiliki filosofi othak-athik. Othak-athik merupakan kosa kata Bahasa Jawa yang kira-kira semakna dengan kreasi olah kata. Kata yang dikreasi atau diolah supaya sesuai atau dicocok-cocokkan tiap huruf awalnya biar sesuai dengan yang diinginkan, disesuaikan dengan kondisi yang ada. Orang hidup itu hendaknya mampu berkreasi atau mengolah. Orang hidup itu hendaknya selalu bergerak, bekerja agar dapat menghidupi dirinya dan keluarganya. Itulah nasihat pertama yang diberikan Pak Cuk saat itu. Sebuah kata-kata sederhana namun memiliki makna yang mendalam sehingga selalu menjadi pengingat bagi diri saya sampai saat ini.

Selanjutnya, filosofi jari manis. “Othak-othik barang kang manis”, memiliki makna bahwa kita dalam kehidupan ini tidak sembarang bekerja, tidak sembarang berkreasi, namun harus memperhatikan hal-hal yang manis (baik). Orang hendaknya bekerja melalui jalan yang benar. Nasihat Pak Cuk kala itu sambil menunjukkan jari manisnya. Hal ini selaras dengan Hasta arya marga atau delapan jalan kebenaran untuk melenyapkan penderitaan dalam kehidupan yakni berpandangan, berpikir, berucap , perbuatan, mata pencaharian, daya upaya, perhatian dan konsentrasi benar.

“Ketika seseorang mampu melakukan sesuai jalan kebenaran maka orang tersebut akan menjadi orang yang pinunjul”, kata beliau sambil memperlihatkan jari tengah yang paling panjang. Dalam bahasa Jawa pinunjul memiliki arti paling unggul. Seseorang yang memiliki karakter paling baik adalah ketika memiliki pandangan dan pikiran benar. Ia mampu mengerti mana yang baik dan mana yang buruk, yang selanjutnya mampu mengintepretasikan ke dalam ucapannya, perbuatannya, mata pencahariannya dan daya upayanya dalam kehidupan sehari-hari. “Namun itu semua belum cukup”. kata Pak Cuk sambil memperlihatkan jari telunjuknya. Telunjuk dalam bahasa jawa disebut Pituduh (petunjuk). Seseorang yang sudah mampu melakukan perbuatan-perbuatan bajik, hendaknya memberikan petunjuk kepada orang lain. “Ojo lali tuduhna marang wong liya”, ungkap beliau, yang artinya jangan lupa berikan petunjuk kepada orang lain. Sikap berbagi pengalaman, ajaran kebaikan kepada orang lain merupakan sikap terpuji, namun prasyaratnya adalah bahwa dirinya sudah melakukan terlebih dahulu. Hal ini seirama dengan syair kuno: “Sabba danang, damma danang jinati” yang artinya di antara semua dana (pemberian), dana berupa ajaran kebaikan adalah yang tertinggi nilainya.

Ketika seseorang sudah mampu merealisasikan pandangan, pikiran benar melalui ucapan, perbuatan, mata pencaharian dan daya upaya benar, memiliki perhatian dan konsentrasi dengan benar, serta mampu menjadi penerang bagi yang lainnya, maka itulah yang disebut orang jempolan (besar). Orang yang besar bukanlah orang yang mampu mengalahkan orang lain, lebih unggul dari orang lain, namun ketika mampu mengalahkan ego dirinya sendiri. Di situlah, kebahagiaan sejati akan diperolehnya.  Kala itu, Pak Cuk sambil memperlihatkan jari jempol kepada kami.

Namun anak-anakku, ketika kelima jari tangan kanan dan tangan kiri ditangkupkan akan menjadi sempurna hidup kita. Menangkupkan kedua tangan dalam filosofi Jawa merupakan proses manembah mring Gusti artinya menyembah kepada Tuhan. Dalam bahasa lain merupakan sikap anjali. Sikap anjali merupakan sikap yang menggambarkan seseorang yang rendah hati. Ketika sudah sampai pada proses ini, maka perjalanan spiritualisme seseorang sedang dilaluinya menuju kesempurnaan hidup.

Hari ini, 31 Mei 2022, saya mendapatkan kabar bahwa Pak Cuk (Pak Ruwiyanto) meninggal dunia. Semua nasihat yang beliau ungkapkan melalui filosofi jari teringat kembali untuk saya tuliskan. Selamat jalan Pak Ruwiyanto. Semoga segala amal, segala nasihat, segala ilmu yang diberikan kepada kami menjadi suluh, menjadi penerang menuju alam keabadian.

 

 

 

5 thoughts on “Filosofi Jari dari Pak Cuk”

  1. Semoga Allah memberikan tempat terbaik bagi Pak ruwiyanto di alam kubur dan kelak ditempat kan di syurga nya Allah bersama jiwa jiwa yg tenang,Aamiin

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *