Bicaralah Tepat pada Waktunya: Pesan Moral pada Relief Candi Mendut

“Daripada seribu kata yang tak berarti, lebih baik sepatah kata yang penuh arti, yang dapat membuat si pendengar menjadi penuh damai” (Dhammapada, VIII: 100). Dijelaskan lagi dalam Kakacupama Sutta, yang menjelaskan bahwa terdapat 5 (lima) syarat bertutur kata yang benar, yaitu:  tepat pada waktunya, mengandung kebenaran, lembut, bermanfaat, dan dilandasi cinta kasih. Syair dan sutta kuno ini saya rasa masih sangat relevan sampai sekarang dan saya yakin akan relevan sepanjang jaman.

Kisah lain terdapat pada Kacchapa Jataka diceritakan oleh Buddha Gautama ketika berdiam di Jetavana, tentang Kokālika (Kokalika). Dahulu kala ada seorang bernama Brahmadatta sebagai Raja Benares, Bodhisatta terlahir di istana, tumbuh dewasa, menjadi penasihat raja dalam segala urusan pemerintahan dan spiritual. Tetapi raja ini sangat suka berbicara. Ketika dia berbicara, tidak ada kesempatan untuk yang lainnya mengucapkan sepatah kata pun. Bodhisatta menunggu suatu kesempatan, berharap dapat menghentikan pembicaraannya yang banyak itu.

Kala itu di sana terdapat seekor kura-kura yang menetap di sebuah kolam di daerah Himalaya. Dua angsa muda liar, ketika sedang mencari makan, bertemu dengan kura-kura ini; lama kelamaan mereka menjadi teman akrab. Suatu hari dua angsa itu berkata kepadanya: “Teman Kura-kura, kami memiliki sebuah rumah yang indah di Himalaya, di atas satu dataran tinggi di Gunung Cittakūta, di dalam sebuah gua emas! Maukah Anda pergi bersama kami?” “Bagaimana caranya,” katanya, “saya bisa ke sana?” “Oh, kami akan membawamu jika kamu dapat menutup mulutmu, dan tidak mengucapkan sepatah kata pun kepada siapa pun.” “Ya, saya dapat melakukan itu,” katanya; “bawalah saya!” Jadi mereka menyuruh kura-kura menggigit sebuah batang kayu dengan giginya, dan mereka sendiri memegang kedua ujung batang tersebut, mereka terbang ke udara.  Anak-anak desa melihat ini, dan berseru “Di sana ada dua angsa membawa seekor kura-kura dengan sebatang kayu!” Pada saat ini, kedua angsa yang terbang dengan cepat telah sampai di atas istana raja, di Benares. Kura-kura ingin  berteriak “Ya, dan jika teman-temanku membawaku, apa hubungannya dengan kalian, orang-orang yang jahat?” Ia pun melepaskan gigitannya pada batang kayu itu dan jatuh ke halaman istana, terbelah dua. Betapa ricuhnya keadaan di sana. “Seekor kura-kura jatuh ke halaman istana dan terbelah dua!” teriak mereka. Raja, dengan Bodhisatta, dan semua anggota istananya, datang ke tempat itu, dan ketika melihat kura-kura tersebut, raja menanyakan Bodhisatta sebuah pertanyaan. “Guru yang Bijak, apa yang membuat makhluk ini jatuh?” “Sekaranglah saatnya!” pikir Bodhisatta. “Untuk waktu yang lama, saya berharap untuk menasihati raja, dan saya telah menungu-nunggu kesempatan. Tidak diragukan lagi, kenyataannya adalah begini. Kura-kura dan kedua angsa menjadi teman, angsa-angsa tersebut pasti berniat untuk membawanya ke Himalaya, dan menyuruhnya memegang sebuah batang di antara giginya dan kemudian mengangkatnya terbang ke udara. Kemudian kura-kura tersebut mendengar beberapa perkataan dan ingin untuk menjawabnya. Karena tidak sanggup untuk menahan mulutnya, dia pun melepaskan dirinya  dan pasti dia jatuh dari udara dan menemui ajalnya.” Demikianlah yang dipikir Bodhisatta, dan dia menasihati raja demikian: “Oh Paduka, mereka yang terlalu banyak mulut, yang tidak membatasi perkataan mereka, akan menemui kemalangan seperti ini  dan dia pun mengucapkan bait-bait berikut.

Kura-kura ingin berbicara dengan keras, walaupun di antara gigi-giginya, sebatang kayu digigitnya, tetapi, walaupun begitu, dia tetap berbicaradan akhirnya jatuh ke bawah. Dan sekarang ingatlah baik-baik, Anda harus berbicara dengan bijaksana, harus berbicara tepat pada waktunya. Jatuh menemui ajalnya sang kura-kura. Dia berbicara terlalu banyak, itulah sebabnya.

“Dia sedang mengataiku!” pikir raja di dalam hatinya, dan menanyakan Bodhisatta apakah benar demikian. “Apakah itu Anda, Paduka, ataupun orang lain,” jawab Bodhisatta, “Siapa pun yang berbicara di luar batas, akan menemui kesengsaraan seperti ini.” Demikianlah dia membuat hal itu terwujudkan. Dan sejak itu, raja mengendalikan diri dalam berbicara dan menjadi seorang yang berbicara sedikit. Uraian ini berakhir, Buddha Gautama mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada saat itu, Kokālika (Kokalika) adalah kura-kura, dua mahāthera yang terkenal adalah dua angsa liar, Ānanda adalah raja, dan Aku adalah penasihatnya yang bijaksana.”

Kisah yang diambil dari Kacchapa Jataka tersebut oleh seniman yang membuat candi Mendut diukir menjadi relief yang menarik.

 

Saya sebagai guru animasi SMK Negeri 11 Semarang, memiliki keinginan kuat untuk ikut melestarikan pesan moral ini. Dua bulan yang lalu, saya memberikan sebuah tantangan kepada 11 murid kelas X Animasi yang memiliki keinginan kuat untuk membuat animasi di balik kisah-kisah yang ada di relief Candi Mendut. Gwen, salah satu murid yang mendapatkan jatah untuk membuat komik dan animasi dari kisah di atas.  Tanggal 20 November 2023, Gwen mengirim hasil film animasi buatannya akhirnya saya unggah di youtube animax sebagai bentuk apresiasi.

Gwen merasa tertantang untuk membuat film animasi relief ini, sehingga ia berusaha untuk mencoba membuat animasi seoptimal mungkun supaya menarik untuk ditonton. Karya ini merupakan karya pertama Gwen dalam pembuatan animasi. Pengalaman pertama yang ia lakukan di saat kelas X SMK menjadi motivasi untuk terus membuat karya-karya lainnya.

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *