Belajar Tak Mengenal Waktu

Belajar tak mengenal waktu. Itulah yang dialami oleh anak-anak kelas Animasi SMK Negeri 11 Semarang. Meskipun liburan kenaikan kelas, mereka tetap saja mengasah kompetensinya di bidang animasi. Pak Istoro Waluyo, di tengah kesibukannya, beliau tetap  memberikan waktu khusus untuk memberikan diklat bagi mereka yang akan diseleksi untuk mengikuti project industri. Dalam liburan ini, beliau bekerjasama dengan industri akan mengerjakan project bersama dalam pembuatan film animasi, oleh karena itu perlu penyiapan yang lebih matang. Dalam diklat ini, beliau memberikan materi tentang key phose dan memberi challenge bagi mereka untuk membuat project test untuk dikirim ke industri.  Selalu ingin belajar inilah yang menjadi point penting untuk dibudayakan di jurusan Animasi, karena inilah sejatinya passion yang hendaknya dikembangkan.

Selama ini kita terjebak untuk mengisi materi sesuai dengan kompetensi dasar atau capaian kompetensi yang tertuang dalam kurikulum yang disusun. Kita lupa bahwa budaya sekolah yang seharusnya menjadi hal utama justru diletakkan di urutan terakhir. Budaya sekolah merupakan sekumpulan nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh kepala sekolah, guru, petugas administrasi, siswa, dan masyarakat sekitar sekolah. Belajar sepanjang hayat bukan sekedar slogan, namun hendaknya menjadi nilai-nilai yang menjadi pedoman hidup bagi anak didik kita. Menurut Bu Novi (Cofounder GSM), untuk mentranformasi budaya sekolah perlu mengubah habbit dan habitat. Mengapa hal ini dilakukan karena banyak sekolah melakukan kebiasaan di luar tujuannya, bahkan seringkali sekolah  diatur hanya karena mereka selalu melakukan hal itu, bukan karena mereka harus melakukannya. Kunci untuk melakukan transformasi budaya sekolah ini adalah untuk menantang kebiasaan yang diterima dalam budaya sekolah, lalu mengembangkan kebiasaan baru yang disesuaikan dengan kebutuhan dan minat sekolah. Terkait dengan habitat, untuk membangun budaya sekolah, hendaknya lingkungan fisik tidak hanya mempengaruhi suasana hati, namun lebih jauh dari itu, karena  budaya yang terbentuk tidak diukur apakah sekolah itu sederhana atau mewah, yang terpenting sekolah tersebut dapat dirasakan begitu hidup dan bersemangat. Sudahkah sekolah kita mengedepankan budaya sekolah. Ibarat sebuah pohon yang menjulang tinggi dengan dahan-dahan yang banyak serta daun yang lebat, tentu ditopang oleh akar yang kuat. Akar yang kuat tersebut adalah budaya yang terbentuk. Ketika budaya sekolah terbentuk, apapun kurikulumnya, berapa sering ganti kurikulumnya maka sekolah tidak akan goyah. Akan terus membangun nilai-nilai yang memanunisiakan anak didik kita.

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *