Belajar Mengambil Keputusan Penuh Dilema

Pengambilan Keputusan Monolog Refleksi Dilema Etika
https://www.gurusiana.id/read/deswati094748/article/pengambilan-keputusan-monolog-refleksi-dilema-etika-4473357

Menjadi pemimpin pembelajar dibutuhkan kemampuan yang baik dalam pengambilan keputusan, apalagi keputusan yang harus diambil tersebut penuh dilema. Kemampuan ini harus terus diasah. Bukan dari pengalaman riil saja yang dapat menjadikan pelajaran yang berharga dalam pengambilan keputusan, namun diperlukan pengalaman-pengalaman orang lain yang mengispirasi agar dapat menjadi referensi dalam mengambil keputusan. Saya merasa bahagia bisa belajar banyak dengan Pak Sri Sugiyanto, yang sudah berpengalaman memimpin SMK Mataram selama 10 tahun dan sekarang menjadi kepala SMA Mataram. Belajar banyak bagaimana cara mengambil keputusan dengan tetap memperhatikan sisi-sisi kemanusiaan yang sering kali berbenturan (dilema) dengan aturan atau kode etik yang berlaku. Siang ini, 11 Februari 2024, saya bisa melakukan wawancara secara online melalui zoom meeting dan berhasil melakukan dialog yang bermakna untuk mengungkap bagaimana mengambil keputusan secara bijak terhadap masalah-masalah yang mengandung dilema.

“Selama ini, bagaimana Pak Sugianto mengidentifikasi kasus-kasus yang merupakan dilema etika atau bujukan moral?”, tanya saya mengawali wawancara ini. Menurut Pak Sugiyanto, ketika memberikan penjelasan dari pertanyaan ini lebih mengambil contoh yang paling sederhana. Dicontohkan tentang kasus seorang guru yang seharusnya mengajar pukul 07.00 namun tiba-tiba terjadi musibah yaitu kecelakaan dan memberitahu secara mendadak. Sebagai seorang pimpinan, ia akan memahami guru tersebut, memberi support bahkan dari pihak sekolah akan membantu terlebih dahulu. Yang tidak kalah penting adalah memberikan kebijakan dari sekolah untuk mencarikan guru pengganti, atau guru piket yang dapat menggantikan tugas dari guru tersebut. Pengambilan keputusan ini merupakan keputusan yang paling bijak dengan tetap mempertimbangkan sisi-sisi kemanusiaannya. Ia lebih mementingkan empati terlebih dahulu terhadap guru yang mengalami kecelakaan tersebut dan di satu sisi tetap mencari guru pengganti yaitu guru piket.

“Langkah-langkah atau prosedur seperti apa yang biasa Pak Sugiyanto lakukan selama ini? Hal-hal apa saja yang selama ini dianggap efektif dalam pengambilan keputusan pada kasus-kasus dilema etika?”, tanya saya lebih lanjut.

Pak Sugiyanto menjawab pertanyaan ini menggunakan contoh kasus kecil. Seorang guru yang masuk ke sekolah dengan memakai sandal, itu sudah tidak sesuai etika. Saya tidak langsung menasehati, justru saya meminta tim terlebih dahulu seperti wakil kepala sekolah bidang ketenagaan. Tujuannya adalah agar tim juga peduli. Namun yang perlu diingat, bahwa guru tersebut jangan sampai tahu kalau Pak Sugiyanto mengetahuinya. Jika sudah diingatkan oleh tim, maka saya minta tim untuk mengingatkan lagi. Jika sampai ke tiga kok masih mengulang kembali, maka akan diajak untuk berdialog. Tidak harus di ruang kantor kepala sekolah. Pak Sugiyanto juga tidak langsung menegur, namun justru melakukan dialog tak langsung tentang etika guru. Dengan cara seperti itu, diharapkan guru akan menyadari sendiri. Teknik semi coaching dilakukan untuk berdialog menumbuhkan kesadaran tersebut tanpa harus menyinggung perasaan. Ada point penting yang dapat saya ambil adalah sisi perasaan yang dipegang dalam membangun dialog menyelesaikan masalah dan mengambil keputusan.

“Hal-hal apa saja yang selama ini merupakan tantangan dalam pengambilan keputusan pada kasus-kasus dilema etika?”, tanya saya lebih lanjut.  Pak Sugiyanto menyampaikan bahwa hal yang menjadi tantangan selama ini adalah berkaitan dengan kode etik yang dilanggar. Ia merasakan bahwa dirinya sebagai generasi X sedangkan guru-gurunya berada pada generasi Z milenial yang memiliki karakter-karakter yang berbeda. Generasi Z lebih cepat namun kepekaan perasaan yang masih dipandang kurang. Untuk mengatasi hal ini justru menggunakan teknik coaching. Ia merasakan bahwa selama ini ketika menggunakan teknik konseling, ia merasa lelah, akhirnya ditemukan teknik baru yaitu coaching yang dipandang lebih efektif.

“Apakah Anda memiliki sebuah tatakala atau jadwal tertentu dalam sebuah penyelesaian kasus dilema etika, apakah Anda langsung menyelesaikan di tempat, atau memiliki sebuah jadwal untuk menyelesaikannya, bentuk atau prosedur seperti apa yang Anda jalankan?”, tanya saya lebih lanjut. Dari pertanyaan ini, Pak Sugiyanto lebih banyak membuat jeda terlebih dahulu, tidak langsung mengambil keputusan. Ada proses memahami masalah, meresapi masalah tersebut sebelum mengambil keputusan. Ada perbedaan antara peluang dan urusan dengan manusia. Urusan pekerjaan harus diselesaikan secara cepat, namun ketika berurusan dengan hati, maka diselesaikan secara tidak langsung, karena ada hubungannya dengan perasaan.

“Adakah seseorang atau faktor-faktor apa yang selama ini mempermudah atau membantu pak Sugiyanto dalam pengambilan keputusan dalam kasus-kasus dilema etika?”, tanya saya. Menurut Pak Sugiyanto, dalam mengambil keputusan memiliki teman-teman yang ada di tim yaitu wakil kepala sekolah. Menurut Pak Giyanto, hal-hal yang terkait dengan kode etik yang sudah dicontohkan merupakan tanggungjawab bersama. Ketika sudah tidak bisa diselesaikan oleh tim, baru dilakukan dialog tatap muka dengan guru-guru yang perlu dilakukan pembinaan terkait dengan kode etik.

“Dari semua hal yang telah disampaikan, pembelajaran apa yang dapat Pak Sugiyanto petik dari pengalaman Anda mengambil keputusan dilema etika?”, tanya saya sebagai penutup. Pak Sugiyanto menyampaikan bahwa etika itu paling tinggi dalam konteks di organisasi atau sebagai manusia. Oleh karena itu harus hati-hati dalam mengambil keputusan, harus koordinasi dengan kanan kiri dan tak lupa minta petunjuk kepada Yang Kuasa.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Pak Sri Sugiyanto ini saya mendapatkan pelajaran yang berharga bagaimana mengambil keputusan yang bijaksana dari masalah yang mengandung dilema. Setiap masalah yang muncul hendaknya dipelajari secara mendalam terlebih dahulu, tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan. Mempelajari dengan pikiran yang tenang sangat dibutuhkan, karena permasalahan yang mengandung dilema etika sangat berhubungan dengan perasaan orang lain. Berikutnya untuk mengambil keputusan tersebut perlu mengedepankan pada budaya dialektika. Menurut Pak Sugiyanto, harus dikomunikasikan terlebih dahulu dan tidak langsung pada masalah yang akan dibahas, namun endingnya orang yang diajak komunikasi tersebut memiliki kesadaran diri. Teknik coaching menjadi alternatif yang dipandang paling efektif, apalagi Pak Sugiyanto sudah memiliki pengalaman yang panjang dalam bidang coaching ini. Selain menjadi kepala sekolah, ia juga menjadi coach yang sudah berpengalaman. Untuk mengambil keputusan di sekolah, ia juga melibatkan tim, karena permasalahan sekolah bukan menjadi permasalahan Pak Sugiyanto saja, namun menjadi permasalahan bersama yang harus dipecahkan bersama juga.  Terima kasih Pak Sugiyanto yang telah menginspirasi untuk belajar mengambil keputusan yang bijaksana.

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *