Sudah menjadi tradisi turun temurun setiap lebaran Idul Fitri masyarakat saling berkunjung, menjaga silaturahmi. Ada sebuah kebiasaan sebelum pergi ke sanak saudara, seorang anak melakukan “sungkem” kepada orang tuanya. Setiap orang mungkin berbeda-beda yang diucapkan, namun memiliki inti yang sama yaitu ungkapan bakti kepada orang tua dan mohon maaf atas kesalahan yang telah diperbuat.
Masih ingat di saat kecil dulu, ketika mau “sungkeman” diajari oleh bapak dan ingat sampai sekarang. “Ngaturaken sembah pangabekti, sedaya kalepatan nyuwun pangapunten”. Sebuah kalimat yang sederhana dalam bahasa jawa yang artinya kira-kira menyampaikan bakti dan memohon maaf atas semua kesalahan. Selanjut orang yang lebih tua akan memberikan maaf dan sekaligus doa dan harapan agar tercapai apa yang dicita-citakan dan bisa kembali bertemu lagi lebaran yang akan datang.
Sebuah tradisi yang sangat bagus untuk menjaga silaturahmi, meningkatkan rasa hormat (bakti) terhadap orang yang lebih tua yang perlu dijaga kelestariannya. Namun beriringnya perkembangan teknologi yang semakin cepat, terjadi perubahan cara-cara yang awalnya bersilaturahmi secara langsung menjadi secara digital. Fenomena yang terjadi adalah pengucapan selamat idul fitri melalui fleyer dan video-video yang dipasang di status whatsapp, face book, instagram maupun media sosial lainnya. Cara-cara ini bagus, namun ketika meninggalkan silaturahmi maka budaya dan tradisi yang sudah dilakukan bertahun-tahun akan semakin sirna.
Rasa bahagia ketika tradisi dan budaya “sungkeman” ini masih terwarisi di desa-desa. Apakah di perkotaan masih dilakukan? Semoga tidak tergerus zaman. Siapa lagi yang akan mempertahankan tradisi ini, kalau bukan kita?