Idul Fitri di Kampung Toleransi

Bersyukur saya sekeluarga bisa mudik dan mengikuti sholat Idul Fitri di kampung tanah kelahiran, Jlegong, Kecamatan Bejen, Kabupaten Temanggung. Kampung yang sejak dulu menjadi tempat saya belajar memaknai toleransi. Kampung yang berada jauh dari hiruk pikuknya perkotaan, kampung di mana setiap sore masih terdengar suara “gomperet”, yang menunjukkan suara khas kampung yang belum terjamah polusi. Ada yang lebih spesial lagi, masyarakat di kampung ini tidak pernah membeda-bedakan agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Di kampung ini, terdapat dua agama yang masyarakat pilih yaitu Islam dan Buddha. Untuk agama Islam sendiri punya dua jenis yakni NU dan LDII, sedangkan yang beragama Buddha ada 3 aliran yakni Theravada, Mahayana dan Nichiren.

Ibarat vas dan bunga, maka kampung saya itu adalah vasnya yang menampung bunga beraneka warna, sehingga menampakkan keindahannya. Bersatunya masyarakat di kampung saya dipererat dengan budaya Jawa yang masih dijunjung bersama.

Masih terasa diingatan, setiap ada kegiatan “kenduri”, dimana umat muslim yang mengundang dan dipimpin doa secara Islam, maka semua mengamini. Ketika yang mengundang umat Budhis dan dipimpin dengan cara Buddha, maka semua yang hadir mengucap sadhu. Inilah keeratan dan kehangatan yang terjadi di kampung saya.

Masih diingatan, ketika pembangunan masjid Al Kautsar, umat Buddha dan Islam LDII juga ikut membantu tenaganya, demikian juga ketika vihara Budi Daya dibangun, kelompok yasinan NU dan Islam LDII bergantian memberikan bantuan tenaganya. Gotong royong itulah semennya sehingga mempererat adonan pasir dan air sehingga menghasilkan bangunan yang kokoh.

Hari ini saya kembali bahagia, kehangatan masyarakat di kampung saya tidak luntur termakan waktu dan perkembangan zaman. Ketika melaksanakan sholat Idul Fitri di masjid Al Kautsar, justru disambut oleh pemuda vihara Budi Daya. Mereka menyambut dengan hangat, mereka mengatur parkir sepeda motor. Demikian juga keluarga muslim LDII juga disambut hangat pemuda vihara yang mengatur parkir sepeda motor. Bahkan ketika masyarakat sedang sholat Idul Fitri, para pemuda vihara melakukan pengamanan di pojok-pojok desa. Itulah yang kami rasakan, ada satu rasa kebersamaan, meski warna bajuĀ  kami berbeda-beda.

Inilah kekayaan kampung yang kami miliki. Kekayaan toleransi yang terus dipupuk sehingga mempersatukan kampung kami. Akan kuceritakan kisahku ini untuk anak didik tercinta, agar mereka pun juga memiliki toleransi yang tinggi, bukan toleransi yang ada di bibir, namun benar-benar sampai di hati dan perilaku. Selamat Idul Fitri 1444H, semoga berkah di hari fitri ini menjadi pensuci hati kami, bebas dari rasa iri dan dengki, memperkuat cinta kasih di antara kami.

4 thoughts on “Idul Fitri di Kampung Toleransi”

  1. Salam toleransi pakDikšŸ„°

    Selamat merayakan hari raya idul Fitri
    1 Syawal 1444 H

    Mohon maap lahir dan batinā¤ļø

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *