Tipe Guru yang Mana?

Sabtu, 24 Februari 2024, bahagia yang saya rasakan karena dapat mengikuti kegiatan Ngaji Pendidikan dengan Judul “Ruang Ketiga” yang dilaksanakan di SMK N 8 Surakarta. Kegiatan tersebut diselenggarakan oleh Gerakan Sekolah Menyenangkan Provinsi Jawa Tengah yang menghadirkan founder GSM Pusat yaitu Pak Muhammad Nur Rizal.  Di acara tersebut, saya sebagai tokoh Gareng, bersama Pak Sujinarto sebagai tokoh Petruk dan Pak Slamet sebagai tokoh Bagong mengantarkan Pak Rizal dengan banyolan-banyolan sebagai kritik sosial.

Hiruk pikuk yang terjadi saat ini, para guru disibukkan dengan kegiatan webinar untuk mendapatkan sertifikat sebagai bukti yang akan diunggah di PMM. Platform Merdeka Mengajar merupakan platform yang sangat bagus untuk media belajar bagi guru untuk mengupgrade ilmu pedagogik maupun berkaitan dengan kondisi murid dan cara penanganannya, namun dalam kenyataannya PMM tersebut masih belum disikapi oleh para guru dengan baik. Membaca dan melihat video-video yang ada di PMM hanya sebatas menggugurkan kewajiban. Banyolan kritik yang disampaikan oleh Bagong yang merasakan serba salah dengan diawali lagu “Rewel” merupakan ungkapan dari seorang guru tentang betapa ribetnya seorang guru ketika harus menyelesaikan tugas-tugas yang ada di PMM. Belum lagi ketika menyelesaikan aksi nyata yang sudah berminggu-minggu belum mendapatkan persetujuan atau validasi dari tim yang menilai aksi nyata guru. Kegelisahan-kegelisahan dirasakan oleh guru yang berorientasi untuk mendapatkan sertifikat dari aksi nyata karena sudah terlanjur memasukkan rencana kerja yang tertulis di Rencana Hasil Kerja (RHK). Muncullah tokoh Petruk yang memberikan cara yang lebih sederhana dengan jalan aksi goib. Dalam banyolannya, Petruk memberikan penjelasan bahwa dirinya hanya cukup mencari link daftar hadir tanpa harus mengikuti kegiatan webinar. Banyolan ini merupakan sebuah kritik sosial di dunia pendidikan, karena masih banyak guru yang melakukan hal itu. Datanglah Gareng yang ternyata perilakunya sebelas dua belas dengan Si Petruk. Ia memberikan strategi dengan penggunaan Artificial Intelegency. Cukup dengan klik link, tulis namanya, maka sertifikat akan muncul.  Dalam banyolan tersebut saya (Gareng) mengungkapkan ada tiga tipe guru yang mengikuti kegiatan webinar. Tipe pertama adalah On & Line yaitu guru-guru yang benar-benar On mengikuti kegiatan webinar, mencermati, memahami dan akhirnya merealisasikannya. Tipe ini dicontohkan oleh Bagong. Tipe kedua On & Lain-lain, yaitu tipe guru yang mengikuti webinar yang seakan-akan on, namun pikiran dan tindakannya tidak fokus dengan kegiatan itu karena melakukan kegiatan lainnya. Ini digambarkan oleh tokoh Petruk, yang mengikuti kegiatan webinar hanya sebatas mengikuti dan ketika daftar hadir muncul segera mengisi daftar hadir untuk mendapatkan sertifikat, Si Petruk tetap melaksanakan kegiatan lainnya. Tipe ketiga Oon & Lain-lain, yaitu tipe guru yang tidak mengetahui isi materi dari kegiatan webinar (Oon) karena memang mengikuti kegiatan lain-lain.

Kritik sosial ini sengaja disampaikan di hadapan sekitar 500 guru yang dari berbagai daerah di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, bahkan ada yang datang dari Bontang Kalimantan Timur yang datang ke SMK N 8 Surakarta untuk mengikuti kegiatan Ngaji Pendidikan. Sebuah kritik sosial ini merupakan bentuk kegelisahan yang dirasakan guru dengan adanya fenomena ini. Kritik sosial ini juga menggambarkan bahwa sejatinya kita sebagai guru dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat saat ini, justru latah untuk mengkonsumsi teknologi, bukan lagi berbudaya teknologi. Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, kadang justru mengaburkan batas-batas interaksi manusia seutuhnya. Muncul sebuah inisiatif revolusioner di dunia pendidikan yakni ruang ketiga. Ruang ini bukan hanya sekadar tempat belajar, namun sebuah arena di mana teknologi dan kebersamaan manusia harmonis beriringan. Misi utamanya adalah mengembalikan esensi interaksi manusia yang autentik dalam proses pendidikan. Di ruang ketiga ini, anak didik kita tidak hanya duduk di kelas dan mendengarkan materi pelajaran, melainkan mereka berinteraksi secara langsung dengan guru dan sesama siswa. Diskusi mendalam, kolaborasi dalam menyelesaikan masalah, serta eksplorasi ide-ide kreatif menjadi inti dari setiap kegiatan pembelajaran. Teknologi hadir sebagai alat pendukung, bukan sebagai pengganti interaksi manusia. Dengan ruang ketiga, manusia kembali dididik bukan hanya untuk menguasai teknologi, tetapi juga untuk mengembangkan keterampilan sosial, emosional, dan kolaboratif. Kebersamaan dalam belajar menjadi lebih ditekankan, menghasilkan generasi yang lebih terampil dalam beradaptasi, berkomunikasi, dan bekerja sama dalam lingkungan yang beragam. Inilah yang inti dari kegiatan Ngaji Pendidikan yang disampaikan oleh Pak Rizal selaku Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan.

Coba kita renungkan dalam diri, apakah selama ini kita cenderung konsumtif terhadap penggunaan teknologi atau sudah berbudaya teknologi? Apakah selama ini dengan hadirnya teknologi ini sudah menghadirkan ruang ketiga di kelas kita?

 

2 thoughts on “Tipe Guru yang Mana?”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *