Perkuat Kultur Sekolah sebagai Pondasi Pendidikan

“Mau kurikulum berubah berapa kali, mau pakai kurikulum model apapun, tanpa pondasi yang kuat maka kurikulum akan mudah roboh dan akan menjadi sebuah monumen sejarah”, ungkap Ali Sodikin salah satu guru penyimpang positif Gerakan Sekolah Menyenangkan.  Ibarat sebuah bangunan, agar dapat berdiri kokoh diperlukan pondasi yang kuat. Apakah pondasi itu sebuah kurikulum? Kurikulum bukan sebuah pondasi dari pendidikan. Kurikulum merupakan sebuah alat dan pelengkap dari pendidikan. Lalu apa yang menjadi pondasinya?

Coba kita tengok perkembangan di zaman Renaissance. Perkembangan masa Renaissance mencapai titik puncak ketika muncul paham sekulerisme, individualisme dan humanisme di Eropa. Paham-paham tersebut memengaruhi masyarakat Eropa untuk melepaskan diri dari kekangan doktrin agama dan dominasi gereja, sehingga mereka mampu menghasilkan pembaharuan-pembaharuan di berbagai aspek kehidupan yang berdampak positif yaitu munculnya berbagai inovasi dalam ilmu pengetahuan dan berkembangnya ilmu filsafat.  Yang dibangun pada era itu adalah kultur atau budaya masyarakatnya yang haus akan rasa ingin tahu untuk memecahkan permasalahan nyata di kehidupan, sehingga masyarakat belajar bukan menarasikan pengetahuan namun justru mencari pengetahuan.

Kurikulum di Indonesia sudah sering berganti, namun pergantian kurikulum tersebut belum sepenuhnya membawa perubahan yang signifikan terhadap sumber daya manusia kita. Siswa di Indonesia hanya memiliki 1,6% kemampuan high order tinking, bahkan kemampuan literari lulusan S1 masih di bawah lulusan SMK di Jepang, uangkap Muhammad Nur Rizal pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan dalam acara Ngkaji Pendidikan, 24 Maret 2022 yang dihadiri sekitar 700 peserta secara online. Hal ini terjadi karena pendidikan lebih memilih mengejar hasil belajar siswa daripada memperhatikan pada pengalaman dan karakter belajar siswa. Ibarat gunung es, yang terlihat di atas permukaan hanyalah artefak-artefak yang mudah dilihat seperti hasil belajar, perangkingan, hasil lomba dan sebagainya. Budaya yang terbangun di dunia persekolahan hanya sekedar memperhatikan hasil belajar dan berorientasi pada materi.  Materi diajarkan hanya untuk mengejar agar siswa bisa menyelesaikan ujian.

Kembali pada analogi bangunan, maka pondasi yang perlu dibangun dalam dunia pendidikan bukan kurikulumnya, namun bagaimana memperkuat kultur sekolah. Kultur sekolah sebagai pandangan hidup yang meliputi cara berpikir, cara bersikap, serta cara bertindak. Sekolah harus mampu menciptakan kultur sekolah yang mampu menuntun kodrat manusia yakni rasa ingin tahu (curiosity), kekuatan imajinasi untuk menciptakan inovasi, dan menghargai potensi talenta yang berbeda antara satu dengan yang lain. Kultur inilah sebagai pondasi pendidikan yang yang dapat dibangun melalui empat area yaitu lingkungan belajar positif, keterhubungan sekolah, pengembangan personal dan interpersonal serta pembelajaran penalaran dan kesadaran diri.

Di area lingkungan belajar positif perlu diciptakan ekosistem yang melibatkan siswa dalam membuat keputusan penting di kelas melalui kesepakatan di kelas ataupun sekolah, membangun rasa memiliki bersama atas kelas melalui implementasi dan pemaknaan zona kelas, menghargai keberagaman, menciptakan ruang berpikir, rasa dan tindakan yang seimbang dalam proses belajar, dan terciptanya banyak tantangan yang menyenangkan dalam proses belajar. Passion anak berkembang bukan semata-mata terwadahinya bakat dan minatnya, namun anak terus mencintai dan mengembangkan bakat dan minatnya serta mampu menghadapi tekanan sehingga mencapai versi terbaiknya masing-masing anak.

Di area keterhubungan sekolah, perlu diciptakan budaya di sekolah sehingga sekolah menjadi rumah kedua yang menyenangkan bagi anak didik. Keterhubungan antara sekolah dengan keluarga, masyarakat dan lingkungan global perlu dibangun dan dirawat sehingga menjadi sumber belajar bagi anak. Keterlibatan orang tua, masyarakat dan industri sebagai guru tamu merupakan contoh implementasi terbangunnya budaya pada area keterhubungan sekolah yang kondusif.

Budaya sekolah dalam area pengembangan personal dan interpersonal perlu dikembangkan untuk membantu anak mengenali dan mengelola diri seperti emosi, sosial, potensi dan passionnya. Budaya di sekolah perlu diciptakan agar siswa berani bertanya dan bereksplorasi, memilik daya juang untuk mengembangkan passion dan talenta anak didik.  Terciptanya budaya pada area ini diharapkan akan berpengaruh pada tumbuhan perubahan mindset.

Budaya sekolah hendaknya tumbuh dan berkembang pada area pembelajaran penalaran dan kesadaran, melalui pembelajaran yang mengembangkan metakognisi, bukan sekedar pengetahuan kognitif pada level low order tinking, memantik rasa ingin tahu, mengembangkan daya imajinasi, membangun budaya dialektika, menciptakan ruang refleksi. Pembelajaran di sekolah hendaknya mampu membangun proses berpikir yang bisa mengaitkan banyak fakta yang berbeda, dan mampu menganalisis serta mensintesa terhadap fakta dan pengetahuan yang diperolehnya. Sudahkah kita menciptakan kultur sekolah yang kuat sebagai pondasi pendidikan kita?

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *