Belajar Membuat Keputusan yang Dilematis

Mengambil keputusan merupakan salah satu kompetensi yang penting bagi manusia, apalagi seorang pemimpin pembelajar. Kita sebagai guru adalah pemimpin pembelajar yang setidaknya harus mampu memimpin dirinya sendiri bahkan dapat memimpin di kelas dengan bijaksana. Ketika memimpin tentu akan muncul dilema-dilema yang justru mengasah kemampuan kita dalam mengambil keputusan. Hari ini, Senin, 5 Februari 2024 saya mendapatkan tantangan untuk mengambil keputusan dari sebuah kasus. Meskipun kasus ini adalah kasus dari sebuah tantangan yang ada di LMS, namun kasus ini kemungkinan besar terjadi pada kehidupan sehari-hari yang ada di dunia pendidikan. Berikut kasus yang harus saya ambil keputusannya.

“Empat hari lagi adalah hari pembagian rapor Semester 1 di SMA Penggerak Bangsa. Sebelumnya, semua guru telah menyerahkan daftar nilai murid-murid pada pelajaran yang diampunya pada kepala sekolah, Ibu Rosdiana. Ibu Rosdiana adalah Kepala Sekolah yang baru bertugas di SMA Penggerak Bangsa di tahun ajaran ini. Hari ini Ibu Rosdiana mengadakan rapat guru.  Ia membuka pertemuan dengan berterima kasih atas kerja keras para guru dalam mengajar murid-murid selama ini dan juga telah mengumpulkan nilai rapor dengan tepat waktu. Kemudian ia menyampaikan bahwa secara umum, nilai rapor yang diberikan oleh guru-guru terlalu rendah dan tidak mencukupi untuk mendukung murid-murid masuk perguruan tinggi negeri (PTN) melalui jalur nilai rapor atau jalur tanpa tes. Ia dengan tegas menyatakan, kalau nilai rapor tetap seperti itu, maka murid-murid SMA Penggerak Bangsa sampai kapan pun tidak pernah bisa diterima di PTN dengan jalur nilai rapor. Ia juga menyatakan bahwa salah satu target kerjanya di SMA Penggerak Bangsa adalah membuat 25% murid diterima di PTN dengan jalur rapor. Oleh karena itu, sejak murid-murid di kelas 10, nilai rapor mereka harus dibuat baik, dan menunjukkan grafik peningkatan. Ibu Rosdiana akhirnya meminta guru-guru untuk menaikkan nilai murid-murid 10 poin, maka bila nilai murid 70 maka akan menjadi 80, dan seterusnya, demi membantu masa depan murid-murid, dan juga demi nama baik sekolah agar kepercayaan masyarakat meningkat bila banyak murid-murid sekolah ini yang diterima di PTN dengan jalur nilai rapor. Bila Anda berada di posisi Ibu Rosdiana, apakah Anda akan melakukan hal yang sama atau berbeda? Apa alasannya?”.

Untuk membuat sebuah keputusan yang bijaksana tentu dibutuhkan latihan. Ada panduan yang dapat digunakan untuk membantu kita mengambil keputusan dengan melaksanakan analisis terhadap kasus tersebut terlebih dahulu. Beberapa pertanyaan yang dapat digunakan untuk menganalisis kasus tersebut sebagai panduan. 1) Jika situasinya adalah situasi dilema etika, paradigma mana yang terjadi pada situasi tersebut? Apa nilai-nilai yang saling bertentangan dalam studi kasus tersebut? 2) Apakah ada unsur pelanggaran hukum dalam situasi tersebut? (Uji legal). 3) Apakah ada pelanggaran peraturan/kode etik profesi dalam kasus tersebut? (Uji regulasi). 4) Berdasarkan perasaan dan intuisi Anda, apakah ada yang salah dalam situasi ini? (Uji intuisi). 5) Apa yang Anda rasakan bila keputusan Anda dipublikasikan di media cetak/elektronik atau menjadi viral di media sosial? Apakah Anda merasa nyaman? 6) Kira-kira, apa keputusan yang akan diambil oleh panutan/idola Anda dalam situasi ini? 7) Apakah ada sebuah penyelesaian yang kreatif dan  tidak terpikir sebelumnya untuk menyelesaikan masalah ini (Investigasi Opsi Trilemma)? 8) Apa keputusan yang Anda ambil? dan 9) Prinsip mana yang  anda gunakan, dan mengapa? Dari panduan tersebut, saya mencoba untuk menganalisis satu demi satu.

Kasus tersebut mengandung dilema etika. Dilema yang dialami oleh Ibu Rosdiana adalah dilema kebenaran melawan kesetiaan. Kebenaran dan kesetiaan seringkali menjadi nilai-nilai yang bertentangan dalam situasi dilema etika. Kadang kita harus memilih antara benar atau setia (atau bertanggung jawab) kepada orang lain atau lembaga. Apakah kita akan benar menyampaikan informasi berdasarkan fakta atau kita akan menjunjung nilai kesetiaan pada profesi ataupun lembaga, kelompok tertentu, atau komitmen yang telah dibuat sebelumnya. Bu Rosdiana mengalami dilema bahwa sebenarnya salah ketika harus meminta guru-guru untuk menaikkan nilai murid-murid 10 poin, maka bila nilai murid 70 maka akan menjadi 80. Ini jelas melanggar etika, guru tidak lagi menjadi teladan, karena nilai-nilai kejujuran tidak dipedomani. Namun di sisi lain, Bu Rosdiana harus menunjukkan kesetiaan terhadap lembaga, salah satunya  target minimal 25% murid diterima di PTN dengan jalur rapor. Jelas dari situasi tersebut Bu Rosdiana mengalami dilema, di satu sisi ia sebenarnya menganggap salah ketika harus menaikkan nilai murid-murid 10 poin sehingga melanggar kode etik kejujuran dan di sisi lain membantu masa depan murid. Di sini menggambarkan ada dilema lainnya yaitu dilema jangka pendek melawan jangka panjang.

Ketika dilakukan uji legal, apakah keputusan yang diambil Bu Rosdiana melanggar hukum? Menurut pendapat saya proses menaikkan nilai tersebut tidak melanggar hukum karena belum masuk di rapport, namun melanggar etika kejujuran. Kecuali nilai sudah masuk di rapport dan melakukan penggantian nilai, maka terjadi pelanggaran hukum yaitu melakukan manipulasi data atau dokumen. Dengan demikian dari kasus tersebut jika dilakukan uji regulasi, Bu Rosdiana melakukan pelanggaran peraturan atau etika yang berlaku di sekolah. Seorang pemimpin hendaknya mencontohkan nilai-nilai kejujuran justru meminta guru-guru untuk menaikkan nilai yang berarti berbuat manipulasi yang tidak menyuarakan kejujuran. Jika saya menjadi Bu Rosdiana, saya merasa tidak enak dengan kondisi ini, karena harus meminta guru untuk tidak jujur. Dengan demikian dari uji intuisi, keputusan bu Rosdiana tidak terpenuhi, karena jelas membuat tidak enak dalam perasaannya. Jika sampai di publikasikan di media masa, bahkan perguruan tinggi sampai mengetahuinya maka jelas akan mencoreng nama baik sekolah. Dengan demikian hasil uji viral, keputusan Bu Rosdiana ini memiliki resiko yang lebih besar.  Kira-kira, apa keputusan yang akan diambil oleh panutan/idola saya dalam situasi ini? Ayah dan ibu saya adalah orang yang menjadi panutan yang terus akan saya pegang. “Jujur” adalah hal paling utama, meskipun awalnya pahit namun akan manis akhirnya.

Berdasarkan analisis ini, jika saya sebagai Bu Rosdiana akan mengambil keputusan dengan meminimalisasi resiko, Saya tidak akan meminta guru-guru menaikkan nilai 10 point. Namun saya akan membuat kebijakan dengan memberitahukan kepada guru-guru bahwa sekolah perlu mengambil sikap agar bisa membantu murid-murid bisa diterima di perguruan tinggi melalui jalur raport. Untuk itu nilai KKM perlu dinaikkan, dan tentu saja menjadi PR bersama bahwa untuk meningkatkan nilai tersebut diikuti dengan peningkatan kualitas pembelajaran sehingga murid-murid meningkatkan daya juangnya untuk meraih nilai yang lebih bagus lagi. Dari keputusan ini, saya tidak merasa ada beban lagi dari aspek etika  yaitu perasaan tidak enak karena melanggar kode etik, sesuai dengan panutan yang saya pegang teguh tentang kejujuran. Di satu sisi, dengan cara itu, tanggungjawab dan kesetiaan saya terhadap lembaga masih bisa dilakukan, meskipun di tahun ini belum bisa sesuai harapan. Dengan langkah itu, maka saya pastikan di tahun berikutnya kualitas pembelajaran akan naik, dan berdampak pada peningkatan jumlah murid yang akan masuk di Perguruan Tinggi tanpa harus mempertaruhkan nilai-nilai kejujuran yang dipegang bersama. Sekolah adalah institusi untuk melatih etika para murid yang akan meneruskan masa depan bangsa ini. Saya kira ini adalah penyelesaian yang kreatif untuk menyelesaikan masalah ini sehingga investigasi opsi trilemma terpenuhi. Keputusan inilah yang saya pandang lebih bijaksana, karena tidak melanggar etika dan bahkan menjadi tantangan bagi guru-guru untuk meningkatkan kualitas pembelajarannya yang akhirnya berdampak pada peningkatan jumlah murid yang akan diterima di Perguruan Tinggi melalui jalur raport. Nilai memang bukan harga mati, namun ketika kita memprioritaskan pada proses, maka hasil yang diperoleh merupakan dampak yang mengikutinya. Untuk jangka pendek memang belum terpenuhi, karena di tahun ini belum bisa memenuhi 25% murid yang kemungkingan akan diterima di Perguruan Tinggi, namun untuk jangka panjangnya saya punya keyakinan akan banyak yang bisa diterima di perguruan tinggi atas kebijakan yang saya lakukan. Prinsip mempertahankan nilai kebajikan dan berpihak pada murid menjadi dua hal yang menjadi landasannya. Berpihak kepada murid bukan berarti dengan cara-cara yang melanggar etika, namun justru meningkatkan batas ketuntasan minimalnya, sehingga berdampak pada proses pembelajaran yang perlu ditingkatkan kualitasnya. Dengan demikian diharapkan akan meningkat pula persentase yang bisa masuk ke Perguruan Tinggi. Bagaimana menurut bapak/ibu yang membaca artikel ini? Apa yang bisa disarankan untuk saya? Saya tunggu saran dan masukannya.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *