Perang Sarung: Dari Permainan Menjadi Tawuran

Perang sarung merupakan sebuah permainan kejar-kejaran saling menyabetkan sarung mengenai musuh diteruskan teriakan, “kena, kena”. Satu regu anak lelaki melawan kelompok anak lelaki lainnya sepulang ibadah tarawih.  Sebuah permainan yang berakar gurauan (guyonan), tidak dilandasi permusuhan atau dendam, justru dari permainan tersebut muncul sportivitas dan endingnya memang kebahagiaan. Permainan tersebut juga sebagai media untuk penyaluran kelebihan energi yang dimiliki anak-anak sehingga tidak disalahgunakan pada kegiatan-kegiatan ke arah negatif. Perkembangan teknologi dan informasi yang pesat mengubah permainan bagi anak-anak yang lebih mengoptimalkan pada gerakan jari dan ibu jari seperti bermain game online. Beralihnya tontonan anak-anak ke dunia maya, juga membawa dampak yang besar terhadap perubahan konten-konten yang ditonton yang justru ke arah negatif seperti tindak kekerasan, pornografi dan narkoba. Menurut data kementrian komunikasi dan informatika, konten pornografi berada di tempat teratas dengan 16.902 pemblokiran, disusul dengan sara dan kebencian dengan 15.818 konten.

Perang sarung dari aspek lain memang bagus untuk anak-anak sebagai bentuk penyaluran kelebihan energi, layaknya fungsi olahraga permainan. Namun dalam perkembangannya perang sarung mengalami perubahan fungsi, yang awalnya dilandasi permainan justru mengalami  pembelokan arah menjadi tawuran. Perang sarung yang awalnya senjatanya benar-benar sarung beralih menjadi batu yang dibalut dengan sarung. Fenomena perang sarung yang mengarah pada tawuran terjadi di daerah Banyumanik malam kemarin pada tanggal 4 April 2023 justru meresahkan warga sekitar.

Warga masyarakat yang tidak terima karena merasa terganggu akhirnya membubarkan perang sarung tersebut dan pelakunya dikejar. Para pelaku yang berhasil ditanggap akhirnya dipukuli secara masal untuk memberikan efek jera dan akhirnya dibawa ke Polsek Banyumanik. Proses pembinaanpun  dilakukan oleh Polsek Banyumanik terhadap para pelaku dan harus dijemput oleh orang tua.

Lalu apa usaha prefentif yang perlu dilakukan di dunia persekolahan? Apakah nasehat? atau berupa pembinaan? Apabila nasehat apakah cara-cara tersebut berdampak nyata? Inilah yang masih sering saya tanyakan karena ketika memberikan banyak nasehat, semakin banyak pula siswa yang tidak suka dan cenderung terjadi penolakan. Ketika guru memberikan nasehat dengan nada agak tinggi sering dianggap guru sedang marah.

Saya mencoba melakukan usaha preventif dengan mengirim video tersebut ke group kelas, sembari dengan menyampaikan pertanyaan. “Perang sarung digagalkan oleh Polsek Banyumanik. Dari video tersebut, apa yang terpikirkan dari kejadian tersebut, jika salah satu dari pelakunya adalah kalian? Apa yang dirasakan? Apa yang perlu dilakukan untuk mencegah agar dirimu tidak masuk dalam kegiatan tersebut?”, tanya saya ke group tersebut. Pertanyaan tersebut bukanlah nasehat, namun justru pertanyaan yang memantik untuk olah rasa, olah laku dan memantik untuk melakukan sebuah rencana tindakan dari dalam diri siswa.

“Jika saya adalah salah satu dari pelakunya maka saya akan malu pada diri saya sendiri. Saya sudah menanamkan keryakinan bahwa hal seperti ini adalah hal yang bodoh untuk dilakukan”, ungkap Yasin. “Jika saya merupakan pelaku dari kejadian tersebut saya akan merasa malu karena perang sarung adalah kegiatan yang tidak penting untuk di lakukan, perang sarung akan merugikan orang lain dan diri sendiri, maka dari itu saya akan berpikir untuk melakukan sesuatu hal dengan memikirkan kembali efek kedepannya dari hal yang saya lakukan itu baik atau buruk agar tidak merugikan orang lain”, ungkap Rezkya.  “Jika saya salah satu pelakunya saya akan merasa sangat menyesal dan merasa malu dengan apa yang saya lakukan, lalu cara saya mencegah perbuatan tersebut adalah harus berpikir lebih bahwa hal seperti itu tidak ada manfaatnya jika dilakukan dan tidak penting, justru malah merugikan diri sendiri dan orang lain’, ungkap Aditya. “Jika saya menjadi pelakunya saya akan merasakan ketakutan yang luar biasa dan memikirkan hal yang tidak tidak dan disitu pasti akan sangat menyesal, tetapi saya kurang yakin kalau saya menjadi pelakunya karna saya sudah tau akan apa yang terjadi di saat saya melakukan hal bodoh seperti itu dan itu juga akan merusak nama baik keluarga, dan penting juga untuk memilih milih teman bukan bermaksud untuk membeda-bedakan tetapi kita butuh teman yang tidak akan menjadi toxic relationship bagi kita”, ungkap Yosepta.

Dari apa yang saya lakukan secara sederhana ini merupakan salah satu penerapan disiplin positif sebagai bentuk usaha preventif  tanpa harus menasehati, namun justru dari cara ini mengarah pada siswa untuk berpikir, mengolah rasa dan tindakan menuju pada kesadaran diri. Mau mencoba, silahkan.

 

 

 

1 thought on “Perang Sarung: Dari Permainan Menjadi Tawuran”

  1. Ya !! Anak sekarang susah diatur dan ngeyel contoh nya anak saya sendiri dinasehati pelan tidak dilakukan keras sedikit atau banyak ngomong nya dibilang marah atau ngomel .” Contohnya anak saya sendiri. Olah rasa olah laku tidak diindahkan 😇😇 lewat 😇😇😇🤭🤭

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *