Pantikan untuk Giwang Menjadi Penulis di Kompasiana

Giwang Dinar salah satu siswa kelas X Animasi SMK Negeri 11 Semarang yang memiliki passion di bidang menulis dan saat ini juga sedang belajar ilustrasi. Saya membaca tulisan pertamanya dalam menyelesaikan challenge Siapakah Aku, langsung  jatuh hati pada gaya tulisannya yang unik. Keunikan inilah yang menjadi kodrat manusia. Tugas kita sebagai guru adalah memantiknya sehingga potensi tersebut berkembang dan terus melejit hingga mencapai versi terbaiknya.

Saya masih ingat bagaimana cara memantik Giwang agar potensi menulisnya melesat pesat. Saat itu saya mengirim sebuah artikel yang saya buat  dengan judul Olah rasa dan Olah laku menata Tempat tidur. Di dalam tulisan ini saya menampilkan hasil challenge ketiga dari Giwang. Dalam WhatsApp, Giwang dengan cepat memberikan respon, “Terima kasih atas apresiasinya Pak Di”. “Sebenarnya Pak Di sedang memantik kamu agar agar bisa menulis setiap harinya”, balas saya selanjutnya.  Saat itu, Giwang merasa kurang yakin mampu melakukannya, karena baginya menulis cerita dengan tenggat waktu yang singkat maka ceritanya akan kurang menarik. “Tidak harus tulisan cerpen, kamu pun bisa membuat sebuah tulisan dalam bentuk artikel”, balas saya kepada Giwang saat itu. Saat ini Giwang mengungkapkan keinginannya untuk menulis di blog, namun belum tahu caranya. Akhirnya saya beri solusi untuk menulis ide dan gagasannya atau tulisan apapun di kompasiana.com.  Tepat 6 Agustus, satu hari setelah Giwang saya pantik, dia membuat sebuah tulisan di Kompasiana.com berjudul “Kesadaran yang Terlambat” (Link Tulisan).

Tepat tanggal 9 Agustus 2022, Giwang memberikan sebuah kiriman tulisan kedua di kompasiana dengan judul “Rasa Lelah yang Tidak Berkesudahan” (Lihat tulisan 2). Saat itu saya berikan penjelasan tentang perlunya diberikan gambar ilustrasi karyanya Giwang sendiri. Pantikan ini betujuan agar  passion dalam menulis tetap bisa berkembang, sedangkan kemampuan membuat ilustrasi sebagai bagian dari proses pembuatan animasi juga bisa ditingkatkan. Tidak hanya one talent, namun multitalent itulah yang sedang saya pantik untuk Giwang.  Berikut tulisan kedua dari Giwang.

Rasa Lelah yang Tidak Berkesudahan

Seluruh manusia yang ada di alam raya memiliki kesibukan tersendiri, ada yang sibuk mengurus rumah tangga, sibuk mencari ilmu, sibuk mencari sebungkus nasi dan lain sebagainnya. Lelah?, sudah pasti, semua orang merasakannya. Terkadang saya bertanya kepada diri saya sendiri, apa sebenarnya tujuan saya hidup?, kenapa saya selalu merasa lelah disetiap hal yang saya jalani, pertanyaan yang memalukan. Terbukti bahwa saya adalah seorang yang tidak mengerti arti kehidupan saya sendiri.

Pertanyaan demi pertanyaan bermunculan dikala senggang, menyebabkan kelelahan lainnya datang berhamburan. Keseharian hanya diisi dengan hal-hal yang tidak pernah diinginkan,yang menyebabkan setiap harinya jauh lebih melelahkan. Masa depan keluarga juga menjadi perihal berat yang sering sekali membebani pikiran setiap orang, padahal tidak ada yang menyuruh untuk memikirkannya. Merasa kurang dalam setiap hal yang dijalani, lelah berusaha karena tidak pernah di apresiasi. Mulut-mulut besar yang senantiasa melontarkan tuntutan, alam pun secara tidak langsung memberi himbauan kepada penghuninya untuk terus menjadi yang terbaik dari yang paling baik. Lalu apa hal yang seharusnya dilakukan untuk sekedar sedikit mengurangi rasa lelah yang setiap hari bertambah, saya juga tidak tahu. Namun semakin sering saya merasa lelah, saya mulai tersadar ternyata rasa itu timbul akibat diri saya sendiri. Kesadaran ini muncul di awal bulan Juli lalu. Saya terus menjalani hidup dengan berekspektasi, aneh padahal hal ini wajar terjadi.

Setiap kegiatan yang saya jalani, sering saya menaruh ekpektasi yang tinggi, maka jika tidak sesuai seperti apa yang saya pikirkan, semuanya akan kacau balau, rasa malas, lelah, kecewa, menjadi satu menghantam diri saya sendiri, sehingga menyebabkan timbulnya rasa lelah yang tidak jelas. Bahkan saya juga berekspektasi terhadap orang lain, yang sekarang saya ungkap seperti perlahan menghacurkan diri sendiri. Pada setiap hidup seseorang banyak yang berlalu lalang. Mereka datang memiliki tujuan masing-masing, seperti takdir yang sudah ditentukan, ada yang menyakiti, ada juga yang mengobati.

Namun kesalahan yang sering saya perbuat adalah berekpektasi disetiap orang yang ada di kehidupan saya mengenai berbagai hal, seperti pendapat mereka terhadap diri saya, tanggapan mereka terhadap masalah saya, yang menyebabkan perlahan menggerogoti jati diri saya sendiri. Terus mengejar sebuah pujian dari orang lain, mendapatkan sebuah apresiasi disetiap hal yang kita buat. Tidak pernah berhenti berlari, entah mengejar apa, tidak memiliki tujuan. Kebiasaan ini yang mengakibatkan kelelahan berkepanjangan, sehingga menyebabkan minim keniatan dalam mengerjakan sesuatu. Lalu hari demi hari rasa lelah itu memudar entah pergi kemana. Keberanian dalam mengambil keputusan dan mengubah kebiasaan yang selalu menjalani hal yang tidak pernah disukai menjadi hal yang disukai, mulai mengerti bahwa setiap orang memiliki pendapat yang berbeda, sifat yang berbeda, mereka tidak senantiasa mengerti dengan keadaan orang lain selain diri kita sendiri. Menjadi kunci bagi saya untuk menciptakan kehidupan yang lebih damai. Rasa lelah tidak akan hilang sepenuhnya, namun ada baiknya rasa lelah yang timbul adalah kebahagiaan bukan kesedihan.

Untuk melihat semua tulisan Giwang di kompasiana dapat dilihat melalui akun: http://kompasiana.com/gieegi

 

 

 

 

 

Leave a Comment Cancel Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Exit mobile version