Mengapa Pembelajaran Diferensiasi?

Saya sering bertanya pada diri saya sendiri. Mengapa ya, murid-murid ketika diberikan kesempatan untuk bertanya, kok hanya itu-itu saja yang berani bertanya. Mengapa hanya sedikit yang berani bertanya ataupun memberikan penjelasan ketika sebuah pertanyaan saya sampaikan ke kelas. Fenomena ini saya yakin tidak hanya terjadi di kelas saya saja dan ini banyak terjadi di kelas-kelas yang ada di sekolah yang ada  negara dengan kode +62. Tidak perlu malu sih, namun perlu menjadi renungan bersama, mengapa hal ini terjadi. Jangan-jangan ada sesuatu yang salah dalam pembelajaran yang kita lakukan.

Kalau kita lihat dari ilustrasi gambar di atas, yang sering kita temui di sekolah-sekolah kita adalah yang gambar B, sedangkan gambar A lebih banyak ditemui di negara-negara yang pendidikannya lebih maju. Yuk kita analisis bersama. Pendidikan di negara-negara yang pendidikan lebih maju lebih mengedepankan pada budaya dialektika yang lebih terbuka. Murid diberikan kebebasan untuk mengemukakan pendapatnya, tidak ada respon yang menjustment bahwa jawaban murid salah atau benar. Pertanyaan-pertanyaan yang bersifat terbuka lebih mendominasi dalam ruang-ruang pembelajaran, sehingga mereka terbiasa dengan berpikir kritis dan menjadi problem solver. Mereka juga tidak terbebani dengan kesalahan dalam menjawab. Saya yakin bahwa pembelajaran yang terjadi di kelas pada gambar A tersebut, kemerdekaan dalam berpendapat menjadi value yang terus dijunjung tinggi. Ketika melihat sebuah pembelajaran yang terjadi di kelas A tersebut saya justru teringat dari kisah inspirasi dari Pak Ali yang dishare di group Gerakan Sekolah Menyenangkan sebagai berikut.  Di sebuah ruang kelas yang penuh dengan cahaya pagi, seorang guru bernama Ibu Novi mengajar dengan penuh semangat. Siswa-siswi duduk dengan rapi di bangku mereka, mencatat pelajaran yang disampaikan. Namun, tak jauh dari sana, seorang siswa bernama Ali tampak cemas dan khawatir. Ia baru saja menyadari bahwa ia telah membuat sebuah kesalahan besar dalam tugas matematika yang baru saja dikumpulkan. Setelah pelajaran selesai, Ibu Novi dengan ramah memanggil Ali ke depan kelas. Dengan senyum lembut, Ibu Novi mengajak Ali berbicara tentang kesalahan yang dilakukannya. Tanpa menghakimi atau marah, Ibu Novi berbicara tentang pentingnya memahami konsep matematika dan memberi Ali kesempatan untuk menjelaskan apa yang ia pahami dan di mana ia mengalami kesulitan. “Ali, kita semua membuat kesalahan, dan itu adalah bagian dari proses belajar. Saya ingin kamu tahu bahwa kesalahan ini bukan akhir dari segalanya. Mari kita cari tahu bersama-sama bagaimana kamu bisa memahami konsep ini lebih baik,” kata Ibu Novi dengan lembut. Ibu Novi kemudian duduk di samping Ali dan mereka membahas langkah demi langkah bagaimana mengatasi masalah dalam tugas matematika tersebut. Ibu Novi memberikan panduan dan bimbingan, tetapi juga memberi Ali ruang untuk berpikir sendiri dan mencari solusi. “Ingatlah, Ali, belajar adalah tentang perjalanan. Kesalahan adalah bagian dari perjalanan ini, dan kamu tidak sendirian. Saya di sini untuk mendukungmu dan membantu kamu tumbuh,” ujar Ibu Novi dengan tulus. Ali merasa lega dan terbantu oleh sikap pengertian dan dukungan Ibu Novi. Ia merasa dihargai sebagai individu yang sedang belajar, bukan hanya dinilai dari kesalahannya. Dari hari itu, Ali belajar untuk mengatasi ketakutannya terhadap kesalahan dan bersikap lebih positif terhadap proses pembelajaran. Dalam kisah ini, Ibu Novi mewakili sikap guru yang sabar, pengertian, dan mendukung terhadap siswa yang melakukan kesalahan. Ia tidak hanya mengajarkan materi pelajaran, tetapi juga mengajarkan pentingnya belajar dari kesalahan dan berkembang sebagai individu.

Ketika saya melihat di kelas B, saya justru menuju pada ingatan masa lalu. Ketika kita diminta menggambar sebuah pemandangan, dapat dipastikan bahwa mayoritas siswa akan menggambar dua buah gunung, di tengahnya ada jalan yang membelah persawahan. Di tengah-tengah kedua gunung ada gambar mataharinya. Pemandangan dua gunung (istilah lain: pemandangan gunung kembar, gunung kembar legendaris) adalah pola lukisan umum yang digambar oleh anak TK  atau SD di Indonesia. Lukisan ini biasanya menggambarkan dua gunung, jalan, sawah, dan matahari. Anak-anak Indonesia dipercaya akan menggambar pemandangan ini setiap diberi tugas oleh guru untuk menggambar dengan tema bebas atau pemandangan alam. Selain objek-objek tersebut, terdapat objek-objek lain yang mungkin menyertainya dalam sebuah gambar anak-anak, seperti awan, rumah, pohon, dan rumput. 

undefined
Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Pemandangan_dua_gunung

Ilustrasi gambar di kelas B dan gambar pemandangan tersebut menunjukkan bahwa kreativitas murid tidak terlalu muncul, bahkan ada indikasi bahwa murid tidak memiliki keberanian untuk berpendapat yang berbeda karena pembelajaran yang dilakukan cenderung seragam. Fakta ini patut menjadi renungan kita bersama. Coba kita lihat ilustrasi dari video di bawah ini. Video yang dibuat oleh Nafisa Aliya siswa Animasi SMK Negeri 11 Semarang. Sebuah video yang memberikan kritikan secara tajam tentang pola menyeragamkan murid-murid kita. Proses pembelajaran yang mematikan kodrat murid yang beragam dan memiliki keunikan masing-masing.

Dari video tersebut saya menjadi merasa bersalah, jangan-jangan apa yang saya lakukan selama ini cenderung menyeragamkan pembelajaran menjadi penyebab potensi murid tidak bisa berkembang dengan baik. Ketika kita berkaca pada filosofi yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara, bahwa seorang guru hendaknya berhamba pada murid. Seorang guru diibaratkan sebagai petani yang harus memiliki pengetahuan yang baik tentang karakteristik tanaman, bagaimana kebutuhannya dan bagaimana cara merawatnya. Guru sebagai petani hendaknya mampu merawat tanaman sesuai dengan takaran kebutuhan yang dibutuhkan dari setiap jenis tanamannya. Sebuah pembelajaran diferensiasi menjadi solusi yang tepat untuk memenuhi kebutuhan murid yang berbeda-beda. Untuk melaksanakan pembelajaran diferensiasi  dibutuhkan perencanaan yang matang. Guru bukan berarti melakukan pembelajaran yang berbeda-beda sesuai dengan jumlah murid di dalam kelas. Meskipun di dalam kelas memiliki 36 murid, mereka memiliki karakteristik yang hampir sama sehingga hanya terbagi menjadi beberapa kelompok dengan karakteristik yang berbeda. Kesiapan murid, minat murid dan profil murid dapat dijadikan  acuan bagi guru dalam menentukan pembelajaran diferensiasi. Karakteristik murid ditinjau dari kesiapan, minat dan profil dapat diketahui dari berbagai metode dan sumber pengambilan data seperti test, angket, kuis, mengamati langsung, tes diagnostik, wawancara dengan orang lain seperti orang tua, guru lain serta dapat pula dilihat dari pengamatan terhadap nilai raport sebelumnya.  Ketika karakteristik kebutuhan murid diketahui oleh guru dan digunakan sebagai acuan dalam melakukan diferensiasi baik secara konten, proses dan produk, maka pembelajaran akan berpihak pada murid. Murid. Pembelajaran tentu saja akan dirasakan mudah diterima oleh murid, karena kebutuhannya terfasilitasi. Dari proses inilah, akan membantu murid mencapai hasil secara maksimal.

Penerapan pembelajaran diferensiasi merupakan strategi guru merealisasikan nilai-nilai yang seharusnya dimiliki oleh guru. Salah satu nilai yang hendaknya dimiliki oleh guru adalah berpihak pada murid. Keberpihakan ini dapat dilakukan dengan mengetahui terlebih dahulu kebutuhan murid dan endingnya melakukan pembelajaran diferensiasi yang disesuaikan dengan kebutuhan murid.

 

 

Leave a Comment Cancel Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Exit mobile version