Berita di Indonesia sedang viral berisi tentang Thudong. Sebanyak 32 bhiksu melaksanakan perjalanan spiritual dari Thailand menuju Candi Borobudur dengan cara berjalan kaki. Sebuah tradisi yang mengasah fisik dan mental para bhiksu. Berjalan kaki dengan jarak yang jauh, membutuhkan kondisi fisik yang baik, tentu hanya para bhiksu yang terlatih dan terbiasa saja yang mampu melakukan ritual ini. Para bhiksu ini juga terlatih mentalnya, karena baginya setiap langkah kakinya diliputi kesadaran sebagai bagian dari meditasinya. Aturan kebhikuan yang tertuang dalam vinaya selalu dipegang dan dilaksanakan. Sebuah konsistensi atau taat pada aturan yang patut untuk dicontoh.
Dengan melihat tradisi thudong ini, saya justru menjadi bertanya pada diri sendiri. Bagaimana dengan perjalananku sebagai pendidik ini? Jangan-jangan sampai sejauh ini menjadi pendidik belum mampu memaknai sebagai perjalanan spiritual. Jangan-jangan perjalananku sampai sejauh ini sebenarnya hanya jalan di tempat, sedangkan waktu telah banyak berlalu begitu saja. Ah. Sepertinya iya. Yang kurasakan sampai saat ini, ketika ditanya apa yang telah kau perbuat sebagai guru, saya hanya terdiam karena belum ada yang patut kubanggakan. Ketika ditanya bukti apa yang telah kau perbuat sebagai guru? Saya hanya bisa menunjukkan bertumpuk-tumpuk bukti RPP dan segudang administrasi. Lalu selama ini saya berbuat apa?
Kembali batinku terkoyak, koyak. Ternyata selama menjadi guru, hanya menjejali materi dan menjadikan muridku sebagai objek untuk menuntaskan segudang soal-soal yang harus diselesaikan. Tidak sadar bahwa zaman sudah berubah semakin cepat. Ketika soal-soal mampu diselesaikan oleh sang murid begitu bahagianya. Tidak tahu ternyata murid lebih pintar, dengan bantuan AI, soal-soal dapat diselesaikan dengan benar.
Ternyata, perjalanan yang terasa sejauh ini, hanya berjalan di tempat. Hanya berkutat dengan masa lalu. Berkutat dengan ilmu yang diperoleh di masa lalu dan diberikan kepada muridku, yang belum tentu bermanfaat untuk masa depannya. Oh. Ternyata, diriku hanya diam, sedangkan waktu terus berlalu.
Terima kasih para bhiksu yang menjalankan ritual Thudong. Perjalanan spiritual berjalan kaki dengan penuh kesadaran. Thudong, telah mengingatkan diriku, bahwa mendidik adalah perjalanan spiritual yang tak ada titik ujungnya. Pendidikan adalah permainan tak terbatas, sehingga kurang tepat ketika kita bermain dengan cara-cara yang biasa. Apalagi mendidik endingnya hanya ingin melihat muridnya mendapatkan nilai yang bagus. Nilai-nilai berupa angka, tanpa makna.
Terima kasih Pak Diyarko. Artikelnya menjadi bahan refleksi saya sebagai guru, agar tidak diam, tetapi terus bergerak maju mengikuti perkembangan zaman.
Terima kasih Mbak Digna