Thudong dan Toleransi di Indonesia

Thudong menjadi berita yang viral yang mengisi dunia media sosial dan youtube di bulan Mei 2023 ini menjelang peringatan Waisak di Indonesia. Thudong bahkan baru pertama kali dilakukan di Indonesia di tahun ini. Thudong merupakan sebuah ritual berjalan kaki beratus-ratus kilometer yang dilakukan oleh bhiksu sebagai bentuk latihan mental. Thudong sebagai sebuah meditasi dengan cara berjalan kaki dengan tetap mengedepankan pada kesadaran diri.  Dalam berjalan kaki, seorang bhiksu tetap konsisten memegang aturan kebhiksuan (vinaya). Untuk menjalankan ritual thudong ini, tentu diperlukan kondisi fisik yang prima, namun para bhiksu ini tetap mengikuti aturan kebhiksuan yang ketat. Sebagai contoh, dalam satu hari hanya diperbolehkan makan dari pagi hingga menjelang siang, selebihnya sudah tidak makan, hanya diperbolehkan minum air putih yang tidak mengandung susu. Di setiap pagi, para bhiksu ini melakukan pindapata, yaitu berjalan berkeliling untuk menerima derma makanan dari umat Budha atau masyarakat sekitar. Dari derma itulah, para bhiksu melakukan sarapan pagi.

Perjalanan spiritual Thudong yang dilakukan oleh 32 bhiksu dari Thailand menuju Candi Borobudur ini menyita banyak perhatian dari masyarakat. Dari berita-berita yang beredar di media sosial, banyak masyarakat yang menanti para bhiksu, bahkan dari berbagai lintas agama maupun pihak pemerintah daerah ikut menyambut dan dari TNI maupun POLRI ikut melakukan pengamanan di perjalanan. Sambutan hangat tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sejatinya memiliki jiwa toleransi yang tinggi. Proses Thudong ini justru menunjukkan kepada dunia, bahwa masyarakat Indonesia sejatinya sangat mencitai kedamaian. Mungkin segelintir manusia yang beberapa waktu tahun lalu ketika menjelang pemilihan gubernur DKI beberapa tahun lalu membuat Indonesia terlihat intoleran di mata dunia.

Thudong sebagai perjalanan spiritual ini justru menjadi bahan yang menarik untuk didiskusikan dengan anak didik tentang arti penting sebuah toleransi. “Anak-anakku calon pemimpin masa depan. Di media sosial dan di youtube, sedang banyak bermunculan konten tentang Thudong sebagai ritual perjalanan 32 bhiksu dari Thailand menuju Candi Borobudur dengan cara berjalan kaki. Dalam perjalanan tersebut para bhiksu selalu disambut dengan kerahaman oleh masyarakat meskipun agamanya berbeda, bahkan ketika saat pindapata, banyak masyarakat yang memberikan dana makanan untuk sarapan pagi. Para bhiksu ini hanya makan pada waktu pagi hingga menjelang pukul 12.00 selebihnya sudah tidak makan, hanya boleh minum saja yang tidak mengandung susu. Apa yang kalian pikirkan, apa yang kalian rasakan dan kesimpulan apa yang bisa kalian sampaikan dari peristiwa thudong ini”, tanya saya melalui group whatsapp kelas X Animasi dan pengurus OSIS. Budaya dialektika ini selalu saya gaungkan untuk membentuk kesadaran diri siswa. Beberapa menit kemudian bermunculan siswa memberikan tanggapannya.

“Saya sangat merasa bangga pak melihat interaksi antara bhiksu dengan masyarakat, mereka mengetahui toleransi kepada setiap umat manusia, jaman sekarang terkadang banyak yang tidak mengetahui toleransi dan hanya memikirkan dirinya sendiri tidak memikirkan orang lain, sedangkan di negara kita ini banyak berbagai agama, ras, suku, dan toleransi harus kita junjung tinggi, dan saya sangat mengapresiasi atas kegigihan bhiksu tersebut”, ungkap  Novita siswa kelas X Animasi.

“Saya sangat mengapresiasi kegigihan para bhiksu tersebut. Dan keramahtamahan masyarakat adalah budaya kita,bahkan dari konten ini kita bisa tahu tentang ritual agama lain. Dan ini adalah salah satu cara yang hebat untuk membentuk sebuah toleransi. Ketika kita memahami ritual keagamaan yang lain kita menjadi yakin bahwa semua ajaran ditujukan ke jalan yang benar. Dan dari konten tersebut kita sadar bahwa dari RAS apapun kita berasal kita semua bersaudara. Kesimpulan yang saya dapat adalah jangan mencela agama lain dan jangan mencari cari keburukannya, dan membuka hati saya untuk menolong seseorang tanpa memandang siapa orang tersebut”, ungkap Iqbal.

“Menurut saya, walau kita semua berbeda agama, suku, ras, dll. bahwa kita tidak hendaknya selalu memberi atau berbagi, dan kita harus menghormati sesama. Jika kita memperlakukan orang dengan baik maka itu akan kembali ke diri kita sendiri, dan kita akan terasa damai. Saya jadi terpikir untuk terus berbagi walaupun tidak banyak dan terus menghormati orang lain”, ungkap Yasin. “Yang saya dapatkan dari apa yang bhiksu itu lakukan yaitu, aku diingatkan untuk sabar menghadapi cobaan apapun itu bentuknya dan jangan patah semangat walau sejauh apapun aku melangkahi hidupku, saya tak akan menyerah. Dan walaupun saya tertinggal dari teman temanku saya akan melampauinya pada suatu hari nanti”, ungkap Yosepta siswa kelas X Animasi.

“Saya sangat mengapresiasi warga sekitar yang masih mengedepankan sikap dalam keramah tamahan yang hakikatnya yang itu menjadi identitas masyarakat Indonesia, sikap masyarakat sekitar yang patut diacungi jempol. Sikap tidak membedakan umat beragama lain, dan sikap adanya rasa toleransi yang tinggi dengan contoh memberikan bantuan dana untuk konsumsi untuk para biksu tersebut. Mungkin kesimpulan yang dapat saya tulis disini, yaitu perlu diterapkan sikap ramah tamah/toleransi antar sesama di Indonesia ini agar kedepanya Indonesia tetap menjadi negara yang masih menjunjung sikap terpuji seperti ini”, ungkap Savira sebagai pengurus OSIS.

Dari pendapat para siswa di atas saya semakin yakin bahwa keutuhan NKRI masih akan tetap terjaga. Kesadaran tentang toleransi yang terus kita pupuk, toleransi yang bukan sekedar diucap di bibir, namun justru toleransi yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari akan memperkokoh persatuan.

1 thought on “Thudong dan Toleransi di Indonesia”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *