“Tata Krama Orang Jawa yang Hampir Hilang”: Budaya Dialektika di Ruang Ketiga

Apa yang membuat tata krama atau budaya unggah-ungguh semakin hari semakin luntur? Apakah karena kita sebagai guru maupun orang tua telah lalai untuk memberikan contoh kepada anak-anak kita atau murid-murid kita? Mungkin di antara kita akan menolak pernyataan tersebut, “Saya sebagai orang tua atau guru selalu memberikan contoh tata krama”. Namun realitanya, anak-anak kita maupun murid-murid kita semakin hari ke sini semakin jauh dari tata krama itu. Bukti paling nyata adalah, bahasa Jawa sebagai bahasa ibu dari orang yang mengaku dirinya orang Jawa dipandang sebagai pelajaran yang paling sulit, bahkan anak-anak dan murid-murid kita merasakan lebih mudah belajar bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya. Ini baru pada materi bahasa Jawa, belum mengarah pada tata krama dan unggah-ungguh. Dapat dicoba dengan treatment sosial, ketika ada orang tua yang duduk di pinggir jalan, berapa orang yang memohon ijin “permisi”, “nderek langkung”, atau “nuwun sewu”, sambil menundukkan kepala atau menundukkan tubuhnya ketika berjalan di hadapan orang tua.  Apakah ini semata-mata karena kurang diajarkan oleh kita sebagai orang tua dan guru? Dari sudut pandang pengamatan saya, hal tersebut kemungkinan terjadi karena kurangnya budaya dialektika antara kita sebagai guru ataupun orang tua untuk membangun kesadaran anak atau murid kita tentang tata krama, dan selanjutnya kurang memberikan contoh yang benar dalam menjalankan tata krama tersebut.

Dalam perjalanan yang panjang, negeri kita telah terpinggirkan oleh kurangnya budaya dialog. Kita melihat kemarahan yang mudah meledak, bahkan ditunjukkan oleh para pejabat, menjadi bukti betapa terpinggirnya seni mendengar dan berbicara secara santun. Budaya ramah yang dulu kita banggakan telah pudar, digantikan oleh caci maki dan hujatan yang kian merajalela yang sebagian nampak di media sosial. Setiap hari, kita disuguhi pemandangan yang memilukan bahkan di dunia pendidikan, di mana kekerasan telah merambah dengan wajah bullying yang membuat hati kita miris melihatnya (Ali Sodikin, 2024).

Melihat keadaan ini, kita sebagai guru dan orang tua tidak bisa hanya terdiam. Kita harus berupaya mengembalikan esensi dialog dalam kehidupan sehari-hari. Pendidik sebagawi warga sekolah memiliki peran besar dalam mengajarkan nilai-nilai dialog kepada murid, dan memastikan bahwa ruang kelas menjadi tempat yang aman dan terbuka untuk berdiskusi. Penting bagi kita sebagai pendidik menjadi pelopor yang memiliki sumbangsih membentuk peradaban ke depan bangsa ini.  Tidak dapat dipungkiri bahwa tantangan besar menghadang, namun kita tidak boleh kehilangan harapan. Dengan tekad yang kuat dan komitmen untuk berubah dan memberikan perannya, kita sebagai pendidik dapat membangun negeri yang lebih baik di mana dialog menjadi landasan utama dalam setiap interaksi sosial dan pendidikan.

Di manapun berada, di ruang kelas, di halaman kelas, bahkan di ruang virtual, ruang online, semestinya kita sebagai guru terus mengupayakan budaya dialog tersebut.  Di group pengurus OSIS Prayatna Maitri saya memberikan sebuah video dengan judul “Tata Krama Orang Jawa yang Hampir Hilang” yang saya ambil dari tiktok.

Sumber: https://vt.tiktok.com/ZSFfDVwM5/

Sembari mengirim video tersebut, ada sebuah pertanyaan “Menurut kalian, apakah di sekolah kita cara-cara ini sudah luntur? Apa perasaan kalian dengan kondisi saat ini? Apa yang perlu kita lakukan? Silahkan menjawabnya untuk mencari solusi”, tanya saya di ruang ketiga tersebut. Berbagai jawaban dari pengurus OSIS Prayatna Maitri. Saya bahagia dari respon-respon tersebut, yang membuktikan bahwa pengurus OSIS masih memiliki kepedulian.

“Menurut saya, di SMK N 11 Semarang masih melakukan adat kebiasaan menyapa. Namun ada beberapa yang tidak melalukan hal sepele seperti ini. Bahkan saat disapa ada juga yang tidak menjawab, bahkan pura-pura tidak mendengar. Perasaan saya pada kondisi ini mungkin membuat saya sedih, karena kita sudah mencoba untuk santun, namun tidak direspon. Yang akan saya lakukan, jelas saya akan lebih melakukan hal-hal sekecil ini untuk mengajak lainnya lebih suka sapa-menyapa dan persaudaraan menjadi erat”, ungkap Nanang.

“Menurut saya yang terjadi di lingkungan SMK N 11 Semarang adalah masih ditemui siswa-siswa yang acuh terhadap adanya guru, mungkin dia tidak kenal dengan beliau sehingga tidak mau untuk menyapa atau malah memang berniatan untuk tidak menyapa, tetapi di sisi lain juga banyak siswa yang masih menyapa bapak ibu guru walaupun kenal atau tidak sekalipun dia tetap menyapa. Perasaan saya melihat situasi dan kondisi yang seperti ini adalah pastinya sedih karena hal yang cukup sepele masih tidak dilakukan dan saya akan mengajak teman-teman saya untuk lebih sopan dan santun terhadap bapak dan ibu guru di SMK N 11 Semarang” ungkap Tifani.

“Menurut saya yang terjadi di SMKN 11 Semarang saat ini memang masih terdapat adab 5S tetapi masih ada beberapa hal yang kurang, seperti contohnya kurangnya tegur sapa dan kurangnya tersenyum pada sesama maupun pada bapak/ibu guru, perasaan saya terhadap situasi ini adalah sedih dan ada rasa ingin membuat orang di sekitar kita tersenyum dan juga saya akan menyebarkan adab 5S serta mengajak teman saya supaya menjadi lebih baik dan lebih sopan, santun”, ungkap Ditya.

Menurut saya di SMK Negeri 11 Semarang masih ada beberapa siswa yang menerapkan beberapa cara di atas contohnya seperti menyapa dan membungkukkan badan ketika lewat di depan guru atau staff sekolah, tetapi masih ada juga siswa yang acuh tak acuh sekedar lewat saja. Perasaan saya sangat sedih jika melihat siswa yang tidak peduli dengan sekitarnya atau tidak menyapa sekelilingnya. Dan OSIS sudah membuat video 5S beberapa waktu lalu, semoga dapat mendorong kemauan siswa untuk lebih peka dalam keadaan sekitar termasuk salam dan sapa”, ungkap Fildza.

Beberapa respon pengurus OSIS tersebut menunjukkan kepedulian tentang pentingnya tata krama yang harus dipertahankan. Dari dialog tersebut akhirnya membuahkan sebuah rencana yang akan dilakukan OSIS untuk membuat video tentang adab menyapa guru. Semoga dialog ini menginspirasi dan segera terealisasi. Cara sederhana menciptkan dialog di ruang ketiga yang membawa pada kesadaran diri.

2 thoughts on ““Tata Krama Orang Jawa yang Hampir Hilang”: Budaya Dialektika di Ruang Ketiga”

  1. Karyanto Nugroho

    ruang ke 3 ternyata perlu sekali diterapkan ke anak didik. kedekatan sosial emosional akan terjalin di ruang ke 3 tersebut. sehingga menambah kedekatan kita sebagai guru dan anak didik, sehingga nilai – nilai keluhuran budi pekerti dapat meresap di hati anak dengan kesadaran penuh.

Leave a Comment Cancel Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Exit mobile version