“Yo sahassam sahassena, sangame manuse jine. Ekanca jeyyamattanam, sa ve sangamajuttamo“. Syair kuno dalam bahasa Pali sekitar 2500 tahun yang lalu tertulis dalam Dhammapada, Sahassa Vagga: 103 memiliki arti “Walaupun seseorang dapat menaklukkan ribuan musuh dalam ribuan kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri”. Syair yang maknanya sangat dalam dan mengajarkan kepada kita untuk melihat diri kita sendiri agar berinteropeksi. “Sudahkah kekotoran batin kita mulai dibersihkan?”. Salah satu penyakit yang ada di dalam batin seseorang adalah penyakit iri. Merasa susah ketika orang lain mendapatkan kebahagiaan dan merasa senang ketika orang lain mendapatkan kesusahan. Penyakit kronis dari batin yang dapat menghancurkan rasa kemanusiaan. Sudah menjadi tugas di dunia pendidikan adalah mengantarkan murid-muridnya dengan landasan well being, maka mengikis sifat-sifat iri inilah yang hendaknya selalu diajarkan dan dicontohkan oleh seorang guru kepada murid-muridnya. Setiap penyakit ada obatnya. Setiap penyakit ada proses terapinya untuk mendapatkan kesembuhan. Termasuk di dalamnya adalah penyakit iri, maka perlu dicarikan obat dan terapinya. Salah satu obat dan terapi untuk mengikis penyakit iri adalah mudita. Mudita (rasa simpati) adalah rasa ikut merasa bahagia melihat orang lain berbahagia atau perasaan gembira yang dapat menghilangkan rasa iri hati. Mudita merupakan salah satu sifat dari empat keadaan batin luhur (Brahmavihārā) yaitu metta, karuna, mudita, uppekha.
Kerap kali terjadi bahkan banyak orang yang tidak tahan apabila melihat atau mendengar keuntungan dan kebahagiaan orang lain, mereka senang mendengarkan kegagalan atau kesusahan tetapi merasa tidak senang melihat kemajuan orang lain. Mereka bukannya memuji atau mengucapkan selamat kepada orang yang beruntung itu tetapi malah berusaha mengacau, memfitnah, menjelekkan orang tersebut. Salah satu cara untuk mengatasi perasaan iri hati ini adalah mudita karena mudita dapat mencabut akar-akar iri hati yang merusak. Disamping itu mudita juga dapat menolong orang lain karena dengan memiliki mudita seorang tak akan menghalangi kemajuan dan kesejahteraan orang lain.
Bagaimana mengajarkan mudita ini di dunia pendidikan? Saya yang berkecimpung di bidang kesiswaan, maka saya memiliki kewajiban moril untuk membudayakan sifat mudita ini di kalangan murid maupun organisasi siswa intra sekolah serta organisasi lainnya yang ada di SMK N 11 Semarang. Sudah sering saya menyampaikan kepada pengurus OSIS Prayatna Maitri agar sesegera mungkin untuk membuat fleyer ucapan selamat ketika ada murid atau organisasi tertentu di SMK N 11 Semarang mendapatkan kebahagiaan seperti menang lomba dan sebagainya. Awalnya memang perlu dibiasakan. Dialog di ruang ketiga, selalu saya lakukan dengan memberikan pertanyaan “Apa yang dirasakan kalian, ketika kalian mencapai kesuksesan tertentu dan orang lain mengucapkan selamat atas keberhasilannya”. Pertanyaan ini saya sampaikan ke group whatsapp OSIS Prayatna Maitri. Semua pengurus merasa bahagia. Selanjutnya saya memberikan penguatan, cara-cara inilah apabila membudaya di SMK N 11 Semarang, maka keharmonisan akan terjaga. Secara pribadi, kita sebenarnya sedang menyembuhkan penyakit iri yang sampai saat ini masih menyelimuti batin kita.
Bahagia, hari ini, 10 Maret 2024, pukul 15.30 WIB, salah satu pengurus mengirimkan sebuah fleyer di group Pengurus OSIS, sembari menuliskan sebuah ungkapan, “OSIS Prayatna Maitri mengucapkan selamat pekapda PASUGAMA SMK N 11 Semarang atas menangnya dalam ajang lomba LKBB Bima Sakti Tingkat Provinsi Jawa Tengah”.
Sebagai bentuk apresiasi dan untuk terus menyebarkan kebaikan ini, maka fleyer saya kirimkan di group Guru SMK N 11 Semarang. Tidak diragukan lagi, banyak guru yang memberikan respon positif dan ucapan selamat. Fleyer-fleyer tersebut juga saya kirim ke organisasi-organisasi lain dan ekstrakurikuler lainnya seperti PMR, Kerohanian Buddha, Kerohanian Kristen, Kerohanian Islam, Ekstra Jurnalistik, Pramuka dan Pasus. Awalnya memang saya ajak diskusi bahwa budaya bermudita citta perlu menjadi gerakan yang diterapkan di SMK N 11 Semarang. Setiap pendamping saya ajak untuk mendukung gerakan ini. Tidak ada satupun yang menolak, semua mendukung gerakan ini. Satu demi satu setiap organisasi mengirimkan sebuah fleyer ucapan selamat kepada PASUGAMA. Awalnya memang berupa ajakan, namun saya yakin bahwa di waktu berikutnya akan menjadi sebuah kesadaran bahwa bermudita citta itu penting sebagai budaya positif.
Membudayakan mudita citta merupakan salah satu cara mengisi ruang ketiga murid yang sangat dibutuhkan murid-murid. Selama ini yang kita rasakan di dunia pendidikan adalah sepinya dialog antara murid dan guru, murid dan murid di ruang ketiga. Ruang ketiga sebenarnya menjadi tempat yang “sakral” karena komunikasi di ruang ketiga tersebut menjadi jembatan antara pikiran, hati, jiwa serta laku. Di situlah sebenarnya ruang ketiga yang mampu memfasilitasi olah pikir, olah rasa dan olah laku. Di ruang ketiga ini, guru dengan guru, kepala sekolah dengan guru, guru dengan orang tua, dan tentunya guru dengan siswanya saling berdialog yang menghadirkan kejujuran hati.
Guru dengan siswanya, di ruang ketiga dapat menciptakan ikatan emosional yang kuat berdasarkan saling pengertian dan rasa hormat. Mereka berbicara tidak hanya tentang kurikulum dan pelajaran, tetapi juga tentang impian, harapan, dan aspirasi siswa. Setiap percakapannya membuka kesempatan untuk mendengarkan dengan penuh empati dan membimbing dengan penuh kasih. Budaya mudita citta yang kami kembangkan di SMK Negeri 11 Semarang ini merupakan wujud yang paling sederhana untuk mengisi ruang ketiga ini dengan penuh kasih, saling menghargai. “Meraih prestasi itu lebih mudah, namun untuk membudayakan sikap dan perilaku saling menghargai, merasa bahagia atas kebahagiaan yang dicapai oleh orang lain atau organisasi lain membutuhkan waktu pembiasaan yang lama. Ruang ketiga inilah yang perlu dihidupkan kembali agar kehangatan muncul kembali. Menghargai orang lain sudah menjadi DNA nya orang-orang nusantara, oleh karena itu peran guru saat ini harus mampu hadir untuk menyalakan value ini di hati para murid.
Menurut Daryono, tradisi Mudita mulai menyentuh dan bagian dari tradisi yang baik di SMK Negeri 11 Semarang. “Terus dipupuk dan selalu dipelihara moment moment seperti ini pak. Dampaknya pasti akan terasa dan terlihat”, ungkap Pal Daryono setelah melihat story di Watshapp.
Ruang ketiga bukanlah sekadar tempat fisik, ketika kita berdialog, dialognya bukan formalitas, tetapi juga dimensi spiritual di mana hati dan jiwa bersatu dalam misi bersama untuk membentuk masa depan yang lebih baik (Ali Sodikin, 2024). Di sinilah kejujuran menjadi sumber kekuatan, karena kata-kata yang keluar dari hati dan jiwa adalah kata-kata yang paling jujur, sesuatu yang disampaikan dari hati akan sampai ke hati pula untuk menciptakan transformasi pendidikan yang yang lebih baik. Inilah cara kami yang sederhana untuk mengisi ruang ketiga ini. Semoga menginspirasi.