Tantangan Membuat Komik dari Relief Candi Mendut

137589954045514141
Cerita Kura-kura dan Angsa pada Relief Candi Mendut

Di relief Candi Mendut terdapat lukisan cerita hewan atau fabel yang dikenal dari Pancatantra atau jataka.  Selanjutnya saya mencoba mencari kisah ini di Panctantra atau Jataka dan menemukan kisah dengan judul Kacchapa Jataka dari  sumbver ITC, Jataka Vol. 2. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru (Buddha Gautama) ketika berdiam di Jetavana, tentang Kokālika Cerita pembukanya akan dikemukakan di dalam Mahātakkāri-Jataka. Di sini kembali Sang Guru berkata: “Ini bukan pertama kalinya, Para Bhikkhu, Kokalika dirusak (reputasi)-nya karena berbicara, tetapi dia juga sama seperti sebelumnya.” Dan kemudian Beliau menceritakan kisah masa lampau. Dahulu kala Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta terlahir di istana, tumbuh dewasa, menjadi penasihat raja dalam segala urusan pemerintahan dan spiritual. Tetapi raja ini sangat suka berbicara; ketika dia berbicara, tidak ada kesempatan untuk yang lainnya mengucapkan sepatah kata pun. Dan Bodhisatta menunggu suatu kesempatan, berharap dapat menghentikan pembicaraannya yang banyak itu. Kala itu di sana terdapat seekor kura-kura yang menetap di sebuah kolam di daerah Himalaya. Dua angsa muda liar, ketika sedang mencari makan, bertemu dengan kura-kura ini; lama kelamaan mereka menjadi teman akrab. Suatu hari dua angsa itu berkata kepadanya: “Teman Kura-kura, kami memiliki sebuah rumah yang indah di Himalaya, di atas satu dataran tinggi di Gunung Cittakūta , di dalam sebuah gua emas! Maukah Anda pergi bersama kami?” “Bagaimana caranya,” katanya, “saya bisa ke sana?” “Oh, kami akan membawamu jika kamu dapat menutup mulutmu, dan tidak mengucapkan sepatah kata pun kepada siapa pun.” “Ya, saya dapat melakukan itu,” katanya; “bawalah saya!” Jadi mereka menyuruh kura-kura menggigit sebuah batang kayu dengan giginya, dan mereka sendiri memegang kedua ujung batang tersebut, mereka terbang ke udara. Anak-anak desa melihat ini, dan berseru, “Di sana ada dua angsa membawa seekor kura-kura dengan sebatang kayu!” (Pada saat ini, kedua angsa yang terbang dengan cepat telah sampai di atas istana raja, di Benares). Kura-kura ingin berteriak—“Ya, dan jika teman-temanku membawaku, apa hubungannya dengan kalian, orang-orang yang jahat?”ia pun melepaskan gigitannya pada batang kayu itu dan jatuh ke halaman istana, terbelah dua! Betapa ricuhnya keadaan di sana! “Seekor kura-kura jatuh ke halaman istana dan terbelah dua!” teriak mereka. Raja, dengan Bodhisatta, dan semua anggota istananya, datang ke tempat itu, dan ketika melihat kura-kura tersebut, raja menanyakan Bodhisatta sebuah pertanyaan. “Guru yang Bijak, apa yang membuat makhluk ini jatuh?” “Sekaranglah saatnya!” pikir Bodhisatta. “Untuk waktu yang lama, saya berharap untuk menasihati raja, dan saya telah menungu-nunggu kesempatan. Tidak diragukan lagi, kenyataannya adalah begini; kura-kura dan kedua angsa menjadi teman; angsa-angsa tersebut pasti berniat untuk membawanya ke Himalaya, dan menyuruhnya memegang sebuah batang di antara giginya dan kemudian mengangkatnya terbang ke udara; kemudian kura-kura tersebut mendengar beberapa perkataan dan ingin untuk menjawabnya; karena tidak sanggup untuk menahan mulutnya, dia pun melepaskan dirinya; dan pasti dia jatuh dari udara dan menemui ajalnya.” Demikianlah yang dipikir Bodhisatta, dan dia menasihati raja demikian: “Oh Paduka, mereka yang terlalu banyak mulut, yang tidak membatasi perkataan mereka, akan menemui kemalangan seperti ini;” dan dia pun mengucapkan bait-bait berikut: Kura-kura ingin berbicara dengan keras, walaupun di antara gigi-giginya, sebatang kayu digigitnya, tetapi, walaupun begitu, dia tetap berbicara—dan akhirnya jatuh ke bawah. Dan sekarang ingatlah baik-baik, Anda harus berbicara dengan bijaksana, harus berbicara tepat pada waktunya. Jatuh menemui ajalnya sang kura-kura: Dia berbicara terlalu banyak; itulah sebabnya.
“Dia sedang mengataiku!” pikir raja di dalam hatinya, dan menanyakan Bodhisatta apakah benar demikian. “Apakah itu Anda, Paduka, ataupun orang lain,” jawab Bodhisatta, “siapa pun yang berbicara di luar batas, akan menemui kesengsaraan seperti ini.” Demikianlah dia membuat hal itu terwujudkan. Dan sejak itu, raja mengendalikan diri dalam berbicara dan menjadi seorang yang berbicara sedikit. Uraian ini berakhir, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:“Pada saat itu, Kokālika (Kokalika) adalah kura-kura, dua mahāthera yang terkenal adalah dua angsa liar, Ānanda adalah raja, dan Aku adalah penasihatnya yang bijaksana.”

Beberapa minggu yang lalu, saya memantik Gwen salah satu siswa kelas X Animasi yang memiliki passion di bidang gambar. Saya mengetahui passion Gwen ini saat penerimaan peserta didik baru. Siswa ini memiliki kemampuan yang lebih dari siswa lainnya dalam hal membuat gambar berbasis digital. Sesuai prinsip Ki Hajar Dewantara, kita sebagai guru hendaknya memberikan tantangan bukan tuntutan. Sebuah tantangan akan membuat seseorang merasa tertantang untuk menyelesaikan dan siswa tersebut yakin dapat menyelesaikan. Siswa tersebut akan merasa puas ketika ia mampu menyelesaikan tahapan tantangan tersebut dengan baik. Ibarat bermain game, siswa akan mengalami proses bermain dari level ke level, ia akan puas ketika mampu menyelesaikan pada level tertentu dan akan terus masuk ke level berikutnya. Prinsip inilah yang saya pakai sehingga Gwen saya berikan tantangan yang berbeda dengan siswa lainnya. Ketika siswa lainnya baru pada tahap membuat gambar bentuk buah secara manual dengan pewarnaannya, Gwen saya berikan tantangan project riil berupa pembuatan komik dan animasi dari relief Candi Mendut.

Mengapa yang menjadi tantangan adalah pembuatan komik dan animasi dari Relief Candi Mendut? Saya memberikan tantangan bukan sekedar tantangan. Saya memiliki impian bahwa anak-anak Indonesia memiliki kecintaan terhadap budaya leluhur bangsa. Relief Candi Mendut merupakan bukti nyata, bahwa para seniman di Zaman Mataram Kuno sudah berkembang dengan pesatnya. Komikus di zaman itu sudah ada yang dibuktikan dari relief yang menggambarkan tentang Jataka, sebuah ajaran dari Buddha Gotama. Saya merasa resah ketika anak-anak Indonesia terobsesi oleh anime dari Jepang, namun tidak mengenal budaya nusantara yang adi luhung.  Saya juga berkacamata dari arah pendidikan di Cina, yang mengedepankan pada budaya lokalnya untuk membangun peradaban yang lebih maju. Ketika anak didik memiliki kecintaan terhadap budayanya, maka akan muncul motivasi yang kuat, bahwa dirinya harus mampu membuat karya yang lebih spektakuler, karena nenek moyang di masa lalunya sudah memiliki peradaban yang luar biasa. Inilah motivasi saya mengapa Gwen saya beri tantangan untuk membuat komik dan animasi dari salah satu relief Candi Mendut. Setelah selesai film animasinya, maka saya berkeinginan untuk menjalin kerjasama dengan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan untuk merealisasikan pembuatan animasi dari relief-relief lainnya. Berikut karya komik storyboard dari cerita di atas yang dituangkan secara digitial.

Inilah karya Gwen yang saat ini baru sampai pada proses pembuatan storyboard atau gambar ilustrasi dari relief Candi Mendut. Semoga film animasinya segera terwujud dan menjadi inspirasi bagi siswa-siswa lainnya untuk terus mencintai budaya leluhurnya.

1 thought on “Tantangan Membuat Komik dari Relief Candi Mendut”

  1. Pingback: Refleksi Siswa terhadap Kisah Penyu dan Angsa - Diyarko.Com

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *