Studi Kasus: Belajar Mengambil Keputusan

No photo description available.

Hari ini, 3 Februari 2024 saya membaca sebuah tugas mandiri di LMS pada progam Calon Guru Penggerak. Kali ini saya mendapat tantangan untuk menganalisis sebuah kasus bagaimana mengambil suatu keputusan. Adapun kasus yang akan dianalisis sebagai berikut.

Pak Seto adalah Kepala Sekolah sebuah sekolah dasar. Ia memiliki 2 guru kelas V yang berbeda cara mengajarnya. Ibu Tati guru kelas VA dan Ibu Sri guru kelas VB. Ibu Tati terkenal sebagai guru ‘galak’, namun pada saat yang sama, nilai rata-rata murid-muridnya sangat baik. Sehingga sifat keras Ibu Tati masih dianggap sesuai, demi mencapai hasil yang baik dari murid-muridnya. Sedang Ibu Sri adalah guru yang sabar dan tenang, namun ada beberapa muridnya yang memiliki nilai di bawah KKM. Suatu hari Ibu Sri datang ke ruangan Pak Seto selaku kepala sekolah, dan mengadukan perbuatan Ibu Tati yang menghukum salah satu muridnya di tengah terik matahari, berlutut di semen lapangan basket karena tidak membuat pekerjaan rumah.  Ibu Sri sangat khawatir karena murid tersebut sudah menangis, namun sepertinya Ibu Tati tetap mengajar di dalam kelas seperti biasa, karena menganggap menjemur anak di terik matahari adalah hukuman pantas karena tidak mengerjakan pekerjaan rumah. Bila Anda adalah Pak Seto sebagai kepala sekolah, apa yang akan Anda lakukan? Pendekatan apa yang ambil? Dasar pemikiran apa yang melatarbelakangi keputusan Anda?

Sebuah kasus yang membutuhkan perenungan yang mendalam karena menyangkut dua guru yang memiliki cara pandang yang berbeda. Bu Tati dilihat dari sudut pandang yang berbeda kelihatan galak, tegas, namun endingnya mampu mengantarkan murid-muridnya mencapai prestasi akademik yang bagus di atas KKM, sedangkan Bu Sri memiliki sifat yang sabar dan tenang, namun masih ada beberapa muridnya yang masih di bawah KKM. Ketika Bu Sri mengadukan perbuatan bu Tati kepada kepala sekolah terkait tindakan menghukum dengan menjemur salah satu muridnya  yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah, jelas akan menimbulkan pertentangan dari kedua guru tersebut. Jika saya sebagai Pak Seto tentu akan menerima terlebih dahulu aduan dari Bu Sri. Mencoba mendengarkan terlebih dahulu sampai selesai. Saya pun juga minta pendapat kepada Bu Sri, apa yang akan dilakukan bu Sri ketika salah satu muridnya tidak mengerjakan PR. Selanjutnya saya akan memanggil bu Tati. Saya akan bertanya kepada bu Tati, bagaimana kronologi sampai muridnya dijemur di lapangan basket. Saya akan mencoba melakukan proses coaching, dengan menanyakan apa yang dirasakan ketika menjadi murid yang tidak mengerjakan PR dan mendapatkan perlakuan dijemur di lapangan basket. Saya tidak akan menjustifikasi tentang benar atau salahnya tindakan yang dilakukan oleh Bu Tati.  Dari proses coaching itu, saya akan memantik bu Tati untuk mencari solusi yang lebih humanis agar melaksanakan proses disiplin positif. Dasar pemikiran saya ini adalah meletakkan pada nilai kebajikan universal, bahwa cinta kasih menjadi landasan utamanya.

Ketika saya menanyakan kepada teman sejawat yaitu Bu Anita sebagai guru BK tentang kasus tersebut, Bu Anita memberikan penjelasan yang hampir serupa. “Kalau saya sebagai kepala sekolah yang mempunyai guru seperti bu Sri dan bu Tati dengan kasus seperti di atas saya akan melakukan pendekatan proaktif dan mencoba memahami karakter guru tersebut . Saya akan mendengarkan cerita bu Sri dengan rasa empati atas kekhawatiran atas perlakuan bu Tati terhadap siswa yang diberi sanksi dijemur. Kemudian saya akan memanggil bu Sri dan bersama-sama mencari solusi terbaik untuk masalah yang ada. Dengan mengingatkan kembali tentang sekolah ramah anak jadi sebaiknya pemberian sanksi jangan sampai yang terlalu keras hindari hukuman fisik dan yang bersifat menurunkan mental anak. Yang jelas bersifat mendidik dan dapat merubah prilaku yang tidak baik menjadi baik. Adapun dasar pemikirannya yaitu norma pendidikan dan etika”, ungkap Bu Anita.

Pendapat lain dari Pak Daryono, sebagai guru agama Buddha dan budi pekerti memberikan penjelasan tentang kasus tersebut sebagai berikut. “Kalau saya sependapat dengan Ibu Sri, karena menurut saya untuk mendidik anak supaya disiplin kita harus tegas dalam arti bukan keras secara fisik. Kalau cuma hukuman dijemur menurut saya masih wajar dan tidak melakukan kekerasan. Bagaimanapun saat anak didik kita salah dan melanggar aturan harus ada hukuman supaya mereka tahu kalau salah. Saat anak tahu dan sadar akan kesalahannya maka akan muncul kesadaran dalam dirinya utk tidak melakukan kesalahan dan pelanggaran. Pendekatan yang saya ambil tetep menjelaskan dan memberitahu kesalahan anak kenapa sampai guru menghukum, anak diajak untuk menyadari kesalahannya sendiri supaya anak tahu diri dan jangan karena benci atau tidak suka terhadap anak, kita menghukumnya. Karena kalau sudah benci tentu tidak akan menyelesaikan masalah, pendekatan dari hati itu akan lebih mengena dan menyadarkan anak”, ungkap Pak Daryono.

Bu Muryani, memberikan cara pandang yang berbeda. “Jika saya menjadi Pak Seto, saya akan mendekati mereka berdua, mendudukkan bersama untuk saling bertukar pikiran. Mengapa berdua? Karena kita tidak mungkin hidup sendiri, kita saling membutuhkan. Begitu juga dalam mengambil sikap dalam menghadapi masalah. Untuk merubah sudut pandang seseorang perlu pendekatan, waktu dan model. Begitulah menurut saya pak”, ungkap Bu Muryani.

Pak Taufiq juga menyampaikan tentang kasus tersebut. “Jika posisi saya sebagai kepala sekolah, yang akan saya lakukan adalah memanggil siswa tersebut untuk masuk ke ruangan dan mengikuti pembelajaran, kenapa? karena setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pembelajaran yang sama tanpa membedakan siswa. Berikutnya adalah memanggil ibu Tati ke ruangan untuk diskusi, dan menanyakan kenapa memberi hukuman ke anak? mendengarkan semua jawaban bu Tati dengan benar, dengan berbagai argumen dan jawaban bu Tati. Saya akan memberikan masukan ke bu Tati bahwa: 1) setiap anak mempunyai pasion, kelebihan, dan keunikan yang berbeda-beda. 2) setiap anak dilahirkan dengan budaya keluarga yang berbeda-beda, dengan tingkat perekonomian yang berbeda beda, sebaliknya bu Tati mencari tahu terlebih dahulu latar belakang anak tersebut. Bisa saja anak tersebut ada pekerjaan yang menyita waktu untuk mengerjakan. Lantas bagaimana kalau anak sengaja tidak mengerjakan? Ada beberapa faktor kenapa anak tidak suka, model, media, strategi, atau bahkan sikap kita tidak disukai anak. Bisa juga siswa tidak menyukai kita. Kalau dua alasan tersebut solusinya guru harus melakukan evaluasi diri. Tidak selamanya yang kita anggap benar bisa diterima orang lain, dan kita tidak bisa menyamaratakan anak. Dosa terbesar guru adalah menghambat passion anak karena pola ajar kita”, penjelasan Pak Taufiq secara lengkap.

Berdasarkan keempat pendapat Bu Anita, Pak Daryono, Bu Muryani, Pak Taufiq dan pendapat saya sendiri ada kesamaan dalam beberapa hal. Untuk menyelesaikan suatu masalah, perlu adanya budaya dialektika terlebih dahulu. Sebagai kepala sekolah hendaknya mau dan mampu menjadi pendengar yang baik terhadap siapapun yang menyampaikan permasalahannya. Selanjutnya nilai-nilai kebajikan universal sebagai landasan untuk berpijak dalam pengambilan keputusan. Saya, Bu Anita, Pak Daryono serta Pak Taufiq memiliki cara pandang yang relatif sama yaitu meletakkan norma pendidikan dan etika yaitu cinta kasih, tidak membenci sebagai landasan dalam pengambilan keputusan, sedangkan Bu Muryani meletakkan landasan komunikasi dalam menyelesaikan suatu masalah.

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *