“Mas Di, kabar duka, Budhe Haripah sedo”, berita lelayu dari adik sepupu saya, Dwi Setiyanira yang ada di Temanggung. Kamis, 29 Juni 2023, pukul 21.00 WIB, bu Haripah kembali ke Yang Kuasa, “Innalilahi wa inalillahi rojiun”. Seketika saya terkenang berpuluh-puluh tahun yang lalu, tepatnya 39 tahun yang lalu. Terbayang dalam ingatan saat itu saya memasuki kelas satu Sekolah Dasar Negeri di pelosok desa. Di ruang kelas paling pojok, beralaskan tegel yang sudah kusam, dengan bangku dan meja yang kokoh dari kayu jati. Meja dan bangku yang menjadi satu, dan bisa diduduki oleh 2 orang. Tak ada rasa kantuk ketika duduk di bangku tersebut, entah mengapa? Bangku dan meja tersebut mungkin peninggalan zaman belanda, namun secara ergonomi memang cocok digunakan untuk siswa yang belajar. Namun sayang, bangku dan kursi yang model seperti sudah tidak ditemukan lagi di sekolah-sekolah jaman sekarang.
Kembali pada ingatan masa lalu dan masih teringat dengan apa yang diajarkan oleh seorang guru yang sangat sabar. “Ini budi, Ini ibu budi, ibu bapak budi”, suara Bu Haripah saat mengajari kami di kala itu. Kami memang belum bisa membaca saat itu dan kami dipinjami buku belajar membaca dan menulis 1a.
Tidak ada beban sama sekali dengan pelajaran saat itu, bahkan ketika sejak TK, meskipun di desa yang terpencil di daerah Temanggung sisi utara, kami sudah diajarkan untuk mandiri. Berangkat sekolah tidak pernah diantar orang tua, karena pagi-pagi sekali, bapak dan biyung sudah pergi ke sawah ataupun kebun kopi. Sarapan dengan nasi jagung dengan lauk ikan asin yang digoreng dengan jelantah atau kadang-kadang cukup dibakar saja sudah terasa nikmat. Di sekolah pun, kami selalu diajarkan tentang kemandirian oleh guru kunangku. Masih sangat kental diingatanku kala itu, bu Haripah dengan sabar mengajari kami membaca, menulis dengan bantuan buku-buku yang dipinjami dari sekolah. Membaca dan berhitung yang diberikan oleh bu Haripah di kelas 1 saat itu. Tidak lama kami belajar itu, karena kami lebih banyak disuguhi dengan story tellingnya sosok guru yang sangat sabar ini. Cerita-cerita menarik pasti kami peroleh sehingga kami benar-benar terhanyut dengan suasananya. Kami duduk dengan sangat rapi sambil mendengarkan cerita-cerita tersebut. Sekitar pukul 10.00, kami harus gantian dengan kelas 2 yang diajar pula oleh bu Haripah. Selebihnya kami pulang dan bermain. Belajar membaca dan berhitung itu hanya sedikit, namun selebihnya adalah bermain. Kami datang pagi-pagi, sebelum masuk ke kelas, bermain terlebih dahulu dan setelah pulang dilanjutkan dengan bermain lagi. Terasa bahagia sekali. Memang begitulah yang kami rasakan saat itu. Secara pedagogik, mungkin itulah yang seharusnya dilakukan oleh siswa kelas 1, harus perbanyak bermain, bercerita dan di sela-sela itulah baru belajar membaca dan berhitung. Berhitungpun tidak langsung pada angka, karena pasti kami diwajibkan membawa lidi-lidi untuk alat berhitungnya. Bu Haripah, meskipun guru di desa, ternyata sudah sangat kental dengan teori Bruner, yang mengajarkan kami secara bertahap dari proses enaktif, ikonik dan simbolik. Sebelum belajar secara simbol-simbol berupa angka, kami diajarkan tentang konsep berhitung dengan benda-benda konkrit.
Kembali pada ingatan, wajah yang tidak asing, wajah yang selalu tersenyum dengan anak-anak di SD tersebut. Wajah yang tidak pernah marah dengan murid-muridnya, wajah yang selalu membuat kangen untuk bertemu. Beliau adalah Bu Haripah, sosok guru kunang-kunang dan sekaligus bibi saya. Beliau adalah adik sepupu dari ibu saya yang sangat berjasa memberikan warna pada kehidupan saya. Tanpa banyak belajar dari beliau, mungkin saya tidak berada pada titik sekarang ini. Hari ini saya benar-benar kehilangan sosok guru kunang-kunangku, yang selalu menyalakan api pengetahuan kepada kami di kala kegelapan. Selamat jalan, bu Haripah, selamat jalan guru kunang-kunangku, semoga cahayamu yang telah menjadi pelita bagi kami, murid-muridmu menjadi pelita menuju rumah Illahi.