Refleksi tentang Ajaran Ki Hajar Dewantara

Sumber: https://1001indonesia.net/ki-hajar-dewantara/

Tidak terasa kegiatan pendidikan calon guru penggerak sudah berjalan 2 minggu. Ada banyak hal yang saya peroleh dari proses pendidikan ini. Pertama saya bertemu dengan orang-orang hebat yang memiliki vibrasi positif yang bermuara pada satu pemikiran yaitu meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Bersyukur saya bisa bertemu dengan Bu Ragil yang selalu sabar memandu jalannya proses diskusi, memberikan penguatan-penguatan kepada kami sehingga kegiatan diskusi bukan sekedar recalling, namun benar-benar membawa pada aura positif dan kesadaran untuk melakukan perubahan. Bersyukur bisa bertemu dengan Pak Karyanto yang selalu menemani, mengingatkan dan memotivasi kegiatan pendidikan sehingga kami dapat kuat dan semangat dalam menjalani pendidikan ini. Bersyukur saya dapat bertemu dengan teman-teman CGP yang memiliki pemikiran yang maju dan memiliki keinginan kuat untuk belajar.

Ketika mengikuti pendidikan dengan modul tentang pemikiran/gagasan dan filosofis Ki Hajar Dewantara, saya benar-benar tertohok sampai relung hati yang paling dalam. Ada rasa penyesalan yang mendalam, bahwa ketika melaksanakan proses pengajaran yang merupakan bagian dari mendidik masih jauh dari apa yang tertuang dari pemikiran dan gagasan Ki Hajar Dewantara. Ada sebuah pertanyaan dari dalam diri, sudahkah saya merdeka dalam mengajar? Sudahkah saya memberikan kemerdekaan kepada anak didik dalam proses belajarnya. Merdeka bukan berarti bebas semaunya, namun merdeka yang dimaksud adalah merdeka dalam berpikir. Ketika peserta didik diberikan kesempatan untuk berpikir secara mandiri dan tidak tergantung kepada orang lain. Merdeka berasal dari kata Mahardika yang berarti satu. Peserta didik itu pada dasarnya adalah nomor satu sesuai dengan versinya masing-masing. Peran guru hendaknya mampu menuntun anak didik untuk menjadi versi terbaiknya masing-masing, karena kodrat alamiah anak didik adalah memiliki keunikan sendiri-sendiri. Seorang yang kembar siam pun memiliki keunikan masing-masing.

Setelah mempelajari modul ini saya kembali diingatkan bahwa seorang guru diibaratkan sebagai seorang petani. Petani yang memiliki tangan dingin akan berusaha menyemai benih-benih talenta, passion dan bakat yang dimiliki peserta didik pada tempat yang cocok dan subur. Ketika benih-benih mulai tumbuh, petani akan sabar merawatnya, memberikan air sesuai porsinya, memberikan pupuk sesuai dosisnya dan tentu saja akan membersihkan gulma-gulma yang mengganggu, dengan harapan akan tumbuh menjadi besar dengan akar-akar yang kuat dan akhirnya akan berbuah sesuai dengan benih yang ditanamnya. Sesuai kodratnya, maka guru tidak akan menuntut anak didik yang tidak sesuai kodratnya. Selamanya benih jagung ketika ditanam tidak akan menjadi kedelai atau sebaliknya, namun peran guru adalah mengkondisikan lingkungan sehingga benih jagung tersebut akan tumbuh dan kelak akan membuahkan jagung yang lebih baik. Analogi tersebut membuat saya semakin bersalah dan mengingatkan pada masa lalu, bahwa ketika menjadi guru seringkali memaksakan kepada anak didik. Si A harus mampu menyelesaikan soal-soal matematika dengan batas KKM dan semua diajar dengan cara-cara yang sama, tanpa memperhatikan bahwa anak didik itu memiliki passion dan bakat yang berbeda-beda.  Secara tidak langsung saya telah mematikan passion dan bakat siswa. Saya menjadi semakin sadar bahwa proses itu tidak lagi memanusiakan anak didik. Kodrat keunikan dari peserta didik telah saya langggar, yang seharusnya benar-benar saya tuntun, diberikan kesempatan untuk meraih untuk mencapai versi terbaiknya. Tahun 2019 sebelum saya mengikuti CGP di tahun 2023 ini, merupakan pintu gerbang pertaubatan saya untuk mengubah mindset saya sebagai kompensasi atas kesalahan yang telah saya lakukan. Kembali ketika mempelajari modul ini saya semakin mantap untuk melakukan perubahan-perubahan yang harus saya perkuat demi menuntun kodrat anak didik.

Masih teringat sekali ketika mengajar matematika di tahun-tahun sebelum 2019, saya benar-benar mengandalkan kekuatan jari saya. Ketika ada siswa yang terlambat, maka cukup mengeluarkan jari saya, hanya dengan menghitung 1,2,3 maka siswa yang terlambat tersebut seketika melakukan push up sebagai konsekuensi keterlambatannya. Mungkin di era itu saya mengganggap itu adalah cara yang paling efektif untuk meminimalkan angka keterlambatan. Secara angka iya dan tidak dapat diragukan, namun di balik itu, apa dampaknya bagi anak didik, saya saat itu tidak memikirkan sampai hal itu. Ternyata apa yang dilakukan anak didik belum sampai pada tataran kesadaran. Mungkin di depan saya mereka takut, namun di belakang mereka berani. Inilah kesalahan yang saya alami dan setelah membaca pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang olah pikir, olah rasa dan olah laku, cara-cara ini saya anggap keliru. Disiplin yang diterapkan tidak berdasarkan pada kesadaran diri yang terbentuk dari ruang-ruang dialog. Saya benar-benar kurang memberikan ruang bagi mereka untuk bercerita tentang apa yang dilakukan sehingga terlambat masuk sekolah.

Beberapa hari yang lalu, saya justru merasa bangga dengan anak yang terlambat dan berani mengakui bahwa keterlambatannya karena membantu ayahnya yang sakit dan harus memberikan suntikan insulin, sebelum ia berangkat sekolah. Karena ayahnya bangun agak siang, akhirnya ia mengorbankan dirinya untuk datang terlambat ke sekolah. Coba bayangkan ketika saya kembali ke tahun-tahun sebelum 2019, pasti anak tersebut sudah terkena kesaktian jari saya. Pasti anak tersebut melakukan push up karena keterlambatannya. Ketika saya kebalikan pada titik kesadaran di tahun ini, maka sangat berdosa ketika proses yang pernah saya lakukan hanya semata-mata untuk mendisiplinkan anak didik dengan cara-cara yang kurang manusiawi.

Dari proses belajar inilah saya semakin mantap bahwa ajaran Ki Hajar Dewantara ini harus saya terapkan dalam proses mendidik dan mengajar.  Beberapa waktu yang lalu saya selaku wakil kepala sekolah bidang kesiswaan, ikut memberikan saran kepada guru BK. Peserta didik yang melakukan kesalahan sampai ke ranah kepolisian, setelah sampai di sekolah mereka harus menyadari bahwa apa yang dilakukan itu dapat membahayakan orang lain dan dirinya. Saya menyadari bahwa keadaan itu tidaklah kekal. Yang awalnya berbuat salah bisa berubah menjadi baik, begitu pula sebaliknya. Sehingga anak didik tidak seharunya mendapatkan justifikasi bahwa anak tersebut jelek. Anak didik yang awalnya berbuat salah, karena ketidaktahuannya dan kurangnya kesadaran, ia ikut ikutan mengantar temannya membawa senjata tajam, sampai ditangkap polisi. Atas pembinaan bersama dari kepolisian dan para guru, akhirnya selama seminggu melaksanakan peka lingkungan. Di hari terakhir kegiatan, kami undang orang tua. Sebuah gerbang kesadaran muncul, ketika anak tersebut bersujud dan meminta maaf kepada orang tuanya. Tangisan keduanya mengantarkan pada kesadaran untuk kembali ke jalan yang benar

Jika dilihat dari roda emosi Plutchik seperti pada gambar di bawah ini, apa yang saya rasakan setelah mengikuti pendidikan selama 2 minggu dan lebih fokus mempelajari ajaran Ki Hajar Dewantara?

Ada sebuah penyesalan. Mengapa ajaran ini tidak saya ketahui sejak lama, mengapa baru tahun 2019 saya mendapatkan kesempatan mempelajari ini. Saya merasa gembira, tertarik, kagum dan takjup dengan ajaran-ajaran Ki Hajar Dewantara sehingga timbul kesadaran diri untuk melakukan perubahan sekecil apapun yang terpenting adalah menjaga kontinuitas.

1 thought on “Refleksi tentang Ajaran Ki Hajar Dewantara”

  1. Selamat Pak,
    Semoga kesadaran ini memberi insight untuk diri dan bisa terus dibagi kepada orang lain, karena berbagi adalah salah satu cara kita untuk menginfaqkan praktik baik yang kita punya.
    Terus berbagi untuk negeri.

Leave a Comment Cancel Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Exit mobile version