Satu peristiwa bernuansa positif yang saya alami saat usia sekolah yaitu pada usia 19 tahun. Saat itu saya mendaftar di IKIP Semarang melalui jalur Prestasi. Puji syukur saya diterima di IKIP Semarang jurusan Pendidikan Matematika. Saat itu, orang tua tidak mengetahui dan sengaja saya tidak memberitahu karena saya tidak ingin membebani secara finansial mengingat perekonomian orang tua saya yang relatif minim. Saya belum sepenuhnya yakin apakah orang tua saya mampu membiayai kuliah saat itu. Untuk biaya regristasi awal saya berpikir bahwa saya akan bisa membiayai sendiri, karena saya punya simpanan dari beasiswa. Simpanan yang saya peroleh dari usaha berjualan es lilin saat liburan juga menambah keyakinan bahwa saya bisa membiayai sendiri. Namun ketika datang surat pemberitahuan dari IKIP Semarang di tahun 1996, saya kaget sekali karena untuk biaya registrasi ternyata di luar ekspectasi saya. Saya masih kurang Rp 150.000 saat itu. Antara idealis dari dalam diri dan rasa malu untuk mengutarakan kepada orang tua. Namun lagi-lagi karena sudah buntu untuk mendapatkan uang dari mana kekurangan itu. Akhirnya idealis saya mulai luntur dan akhirnya saya menyampaikan kepada orang tua, bahwa saya diterima di IKIP Semarang dan mohon doa restunya. Saya pun memberanikan diri untuk menyampaikan kekurangan sebesar Rp 150.000 untuk biaya registrasi kuliah. Di luar dugaan, orang tua saya menyetujui dan akan berusaha membiayai kuliah, meskipun saya tahu untuk membiayai kuliah saat itu membutuhkan effort yang tinggi, karena ayah saya seorang petani yang penghasilannya tidak tetap. Usaha orang tua saya untuk mencarikan biaya sangat luar biasa, harus menjual pohon sengon. Usaha orang tua saya untuk mendukung kuliah saya membuahkan hasil yang baik. Setibanya saya kuliah, di tahun pertama saya langsung mendapatkan beasiswa PPA, padahal di tahun-tahun sebelumnya beasiswa PPA itu muncul pada semester 3, namun keberuntungan saya peroleh, baru semester 1 sudah mendapatkan beasiswa. Untuk menghidupi makan sehari-hari akhirnya saya pun bekerja di warung. Tidak mendapatkan gaji, cukup mendapatkan upah berupa makan 3 kali sehari saja sudah berkah tersendiri, karena dapat mengurangi beban biaya kuliah.
Peristiwa negatif yang saya alami di saat SMA adalah kondisi fisik saya yang relatif pendek. Masuk kelas 1 SMA hanya 140 cm dan ejekan-ejekan dari teman sebaya masih saya rasakan. Saat itu saya kos di daerah sekitar SMA N 2 Temanggung dan ketika saya bermain di plaza Temanggung, karena kecilnya fisik saya itu saya dipalak oleh orang yang ada di plaza tersebut. Sampai saat ini peritiwa tersebut masih membekas. Bahkan ketika saya berangkat sekolah dengan pakaian abu-abu, saya sempat diejek oleh anak SD yang mengatakan anak SD kok sudah masuk SMA. Sakit hati saat itu, namun lagi-lagi ejekan dan hinaan itu harus menjadi penyemangat saya untuk berbuat yang positif. Di SMA pun saya mendapatkan ejekan, mungkin saat ini dinamakan bulying. “Ko ko, nek kowe arep ngambung Erma, kowe kudu loncat lho”, sebuah gurauan namun terasa sakit di hati. Dari candaan-candaan ini justru membuat saya tidak patah semangat. Akhirnya dalam seminggu saya belajar renang sampai 2 kali. Karena perjalanan dari kos sampai kolam renang sekitar 3 km dan saya tidak memiliki cukup uang untuk naik angkota kota, akhirnya saya berlari. Sesampai di kolam renang, akal nakal saya muncul. Saya naik lewat jendela dan akhirnya saya bisa belajar renang. Sampai saat ini saya menyesal, mengapa saat itu saya tidak menyampaikan saja ke petugas bahwa saya minta ijin untuk renang, meskipun tidak memiliki uang. Puji syukur hanya dalam waktu 1 tahun tinggi saya sudah naik menjadi 165 cm dan di kelas 3 naik menjadi 169 cm. Sebuah peristiwa ejekan, namun berbuah positif.
Peristiwa 29 tahun yang lalu yang masih saya ingat betul. Kedua peristiwa tersebut berdampak positif terhadap kehidupan saya. Pertama, peristiwa bulying tentang fisik, saya anggap sebagai cambuk untuk berusaha sekuat tenaga sehingga tinggi tubuh saya bisa naik. Saya tidak menerima keadaan, namun dengan usaha akan membuahkan hasil. Perisitiwa positif tentang peran orang tua dalam mendukung kuliah saya memberikan dampak positif terhadap semakin merasa bersyukur terhadap segala kondisi. Orang tua merupakan pahlawan dalam kehidupan saya. Doa dan restu orang tua yang memperlancar perjalanan kehidupan saya sampai saat ini. Puji syukur di usia saya yang ke 46 saya masih memiliki kedua orang tua yang berusaia 86 tahun dalam kondisi sehat.
Jika dilihat dari roda emosi plutchik, pada peristiwa positif yang saya alami, saya benar-benar merasa terkesima dan takjub dengan usaha yang sudah dilakukan oleh orang tua saya. Meskipun perekonomiannya jika dilihat secara angka tidak mungkin mampu membiayai kuliah, namun karena optimisme yang dimiliki orang tua saya akhirnya bisa mengatasi permasalahan yang ada. Ketenangan beliau yang sampai sekarang masih saya rasakan ketika menyelesaikan sebuah permasalahan. Saya juga merasa senang dan gembira karena akhirnya saya bisa membayar biaya registrasi untuk kuliah di IKIP Semarang. Dari hal ini, membuat saya berusaha meniru apa yang sudah dilakukan orang tua saya. Kuliah sambil bekerja inilah sebuah pilihan yang harus saya lakukan untuk mengurangi beban biaya yang dikeluarkan orang tua saya.
Untuk peristiwa negatif yang saya alami karena bulying kondisi fisik saya, awalnya saya marah, jengkel, benci dan ingin ngamuk, namun fisik saya tidak berani untuk mengungkapkan amarah ini kepada siapa. Saya terus termenung, bagaimana saya bisa mengatasi hal ini. Keputusan untuk berlari sepanjang 3 km dari kos sampai kolam renang dan akhirnya bisa renang merupakan keputusan yang saya rasakan ada sebuah optimisme suatu saat tinggi fisik saya akan bisa naik. Namun ada penyesalan, mengapa saya harus melompat melalui jendel kamar ganti. Inilah penyesalan sampai hari ini. Mengapa dulu tidak berani mengungkapkan apa adanya kepada petugas.
Kedua momen yang terjadi di masa sekolah masih dapat saya rasakan dan masih dapat mempengaruhi diri saya di masa sekarang. Teladan dari orang tua ketika berusaha membantu mengatasi kekurangan biaya registrasi menjadi sikap dan perilaku yang terus membekas sampai sekarang. Dampaknya ketika saya sudah berkeluarga dan memiliki anak, maka bagaimana caranya (yang penting halal) saya harus memenuhi kebutuhan keluarga. Usaha keras yang saya lakukan saat SMA itu menjadi bara yang terus menyala hingga sekarang. Untuk meraih sesuatu maka usaha dari dalam diri sendiri menjadi kunci utamanya. Peristiwa negatif tentang bulying masih saja teringat dan sulit untuk dilupakan. Peristiwa tersebut mempengaruhi saya ketika menjadi guru, perlu melakukan olah rasa. Anti bulying menjadi program yang terus saya lakukan ketika menjadi guru maupun waka kesiswaan.
Pelajaran hidup yang saya peroleh dari kegiatan trapesium usia dan roda emosi terkait peran saya sebagai guru adalah usaha yang kuat yang dilakukan dari dalam diri menjadi energi positif yang perlu ditularkan kepada anak didik. Pengalaman hidup saya ini bisa menjadi contoh yang mungkin menginspirasi anak didik. Bulying perlu diberantas dengan cara olah rasa.
Dari uraian di atas ada nilai-nilai yang benar-benar saya yakini yaitu hidup yang bermakna adalah menjalani kehidupan dengan usaha yang kuat merupakan guru yang paling berharga untuk mengajarkan kepada murid agar belajar menjalankan perannya.