Pembelajaran Diferensiasi Berorientasi pada Kebutuhan Belajar Murid

“Ada tiga kodrat alamiah yang dimiliki oleh seorang murid yakni kodrat rasa ingin tahu, kodrat imajinatif dan kodrat keberagaman”, ungkap Muhammad Nur Rizal, founder Gerakan Sekolah Menyenangkan ketika mengisi  talk show di hadapan guru penggerak di UMS Surakarta pada hari ini, Minggu, 22 Oktober 2023.  Dalam penjelasannya mengatakan bahwa seorang bayi memiliki kecenderungan untuk memakan apa saja yang diraihnya. Ketika proses itulah, ia sebenarnya sedang mengenali apa saja yang dikulumnya. Ia sedang belajar merasakan manis, asin, pahit, enak dan tidak enak. Dengan pendengarannya, ia sedang belajar dengan apa saja yang didengar, sehingga tidak heran, tanpa ada yang mengajari, si bayi pada saatnya akan berucap mama, papa dan sebagainya karena ia terbiasa mendengar kata-kata itu. Secara alamiah, rasa ingin tahu inilah merupakan kodrat yang dimiliki manusia. Ketika kodrat rasa ingin tahu ini dimatikan  di dunia pendidikan dengan alih-alih menciptakan kepatuhan yang mengebiri budaya dialektika maka hak-hak kemerdekaan murid sejatinya telah dilanggarnya. Jangan salah, ketika kemampuan komunikasi murid-murid kita menjadi di urutan belakang, sedangkan kemampuan komunikasi itu bertengger di urutan teratas yang dibutuhkan oleh perusahaan ketika akan merekrut tenaga kerja baru.

Sejatinya manusia itu memiliki kodrat alamiah untuk berimajinasi. Dari imajinasi inilah lahir orang-orang yang memiliki keinginan untuk belajar sepanjang hajat. Neo cortex yang hanya dimiliki oleh manusia menjadi pembeda dengan makhluk lain seperti binatang. Dari neo cortex inilah, manusia akan belajar mengambil keputusan, bernalar, berlogika dan sebagainya.

Kodrat alamiah yang ketiga bahwa manusia itu unik dan berbeda satu sama lainnya. Meski kembar, mereka memiliki perbedaan. Keberagaman inilah sebagai isyarat bahwa kita sebagai guru hendaknya mampu menciptakan pembelajaran yang dapat memenuhi kebutuhan murid. Keunikan menjadi pertimbangan dalam mengelola pembelajaran.  Masih ingat ketika pandemi covid 19 yang mengharuskan kita menerapkan pembelajaran secara daring yang memberikan pelajaran bagi kita bahwa masih banyak  murid yang perlu diperhatikan terutama kondisi perekonomian keluarga murid. Murid-murid kita yang berasal dari keluarga kurang mampu yang tidak dapat mengakses teknologi dari rumah sehingga tidak bisa berpartisipasi dalam pembelajaran daring pun perlu mendapatkan perhatian khusus. Belum lagi kondisi tempat tinggal murid yang sangat beragam. Meskipun mampu, apabila sulit terjangkau sinyal, maka pembelajaran daring itupun juga akan menjadi kendala bagi murid. Hal-hal kecil seperti bahasa pun, juga harus mendapatkan perhatian kita sebagai guru. Saya masih ingat ketika ada murid yang memiliki agak kesulitan memahami bahasa yang digunakan di kelas, karena ia murid yang baru pindah dari daerah lain. Riquel, yang baru pindah dari Jakarta, di awal mengalami kesulitan memahami bahasa Jawa, sehingga dari sinilah, penggunaan bahasa Indonesia lebih ditekankan pada saat pembelajaran di kelas dan saya berikan pemahaman kepada teman-temannya untuk menggunakan bahasa Indonesia, sembari Riquel belajar bahasa Jawa sedikit demi sedikit.

Berbicara kemampuan awal murid, juga perlu mendapatkan perhatian. Murid-murid yang bosan di kelas, jangan langsung kita menjustifikasi bahwa murid itu malas. Jangan-jangan karena ia sebenarnya telah menguasai keterampilan yang diajarkan, sehingga pembelajaran tidak menantang lagi untuknya. Untuk itu kita sebagai guru harus mampu memahami hal ini, sehingga murid-murid yang memiliki karakteristik ini perlu diajak dialog, apa sebenarnya yang terjadi. Ketika kemampuan murid ini ternyata sudah berada di level atas dibandingan teman-temannya, maka perlu dilakukan pengayaan. Pengayaan dapat dilakukan secara vertikal maupun horizontal. Secara vertikal maka murid ini dapat diberi tantangan dengan mengambil materi pada level yang lebih tinggi lagi, sedangkan secara horizontal maka murid ini dapat diberikan pengayaan pada materi yang sama namun dengan kompleksitas yang lebih. Saya masih ingat ketika menangani murid yang bernama Nafisa, ketika gambarnya jauh lebih bagus dari teman-temannya dan sudah masuk pada level yang lebih tinggi, maka ia saya tantang dengan materi yang lebih tinggi yaitu tantangan membuat animasi. Pada waktu tertentu, ia juga mendapatkan tantangan yang lebih kompleks. Ketika teman-temannya hanya mendapatkan tantangan membuat satu gambar, ia mendapatkan tantangan membuat dua gambar dengan kualitas yang lebih kompleks. Ini salah satu cara memberikan pembelajaran diferensiasi agar kebutuhan murid terpenuhi. Tidak harus seragam, justru keberagaman inilah yang mampu memenuhi kebutuhan murid.

Ketika kita berbicara tentang murid-murid yang berada pada level atas, di sisi lain ada murid-murid yang berada pada level bawah. Ada murid yang saat ini sedang berjuang keras untuk mencoba memahami apa yang diajarkan, namun karena adanya kesenjangan yang terlalu jauh antara apa yang ia mampu lakukan dengan apa yang sedang dipelajari, akhirnya ia tidak bisa membuat koneksi. Murid-murid seperti ini tentu tidak bisa disamakan dengan yang lainnya, ia harus mendapatkan perlakuan khusus. Dari kondisi ini, maka proses penilaian terhadap murid tidak bisa dibandingkan dengan standar yang sama. Agama telah mengajarkan bahwa orang yang celaka ketika hari ini masih kurang dibandingkan dengan hari kemarin, bahkan orang yang merugi ketika kualitas saat ini sama dengan hari kemarin. Dari inilah sebenarnya kita sebagai guru perlu melakuka penilaian secara individu dari masing-masing murid. Tidak perlu dikompetisikan, namun justru yang perlu dikompetisikan adalah kemampuan dari masing-masing murid apakah sudah meningkat atau belum.

Kita sebagai guru harus jeli terhadap murid kita yang hasil-hasil kerjanya tampak baik, namun di sisi lain memiliki masalah sosial emosional. Ini sering kita temui pada murid-murid kita dan itulah realitanya, sehingga pembelajaran itu sejatinya tidak bisa dilakukan secara klasikal. Budaya dialektika secara personal justru menjadi jalan terbaik ketika mendidik. Tentu hal ini membutuhkan effort yang tinggi. Kita sebagai guru juga harus mengetahui murid yang memiliki karakteristik seperti memiliki minat yang besar terhadap bidang tertentu, namun cenderung mengabaikan yang lainnya. Maka dari itu dibutuhkan budaya dialektika dengan murid, sehingga mereka menjadi lebih seimbang. Sebagai guru, maka kita perlu melakukan coaching terhadap murid-murid yang memiliki kesulitan-kesulitan dalam belajar, sehingga dari dialog yang powerfull akan menuntun murid menemukan solusi terbaiknya dalam mengatasi permasalahan belajar.

Guru sebagai pendidik, sesuai filosofi Ki Hajar Dewantara diibaratkan sebagai petani yang perlu memberikan ekosistem yang mendukung proses belajar murid dan guru berhamba pada murid.  Guru yang sudah memiliki mindset yang bertumbuh, meyakini bahwa tugas kita adalah melayani murid-murid dengan segala keberagaman tersebut serta menyediakan lingkungan dan pengalaman belajar terbaik bagi mereka.  Kita harus meyakini bahwa semua murid kita bisa berhasil dan sukses dalam pembelajarannya. Kita harus mampu bersikap adil. Adil  itu bukan berarti menyamaratakan perlakuan kepada semua murid. Sebagai ilustrasinya kita dapat melihat gambar di bawah ini.

Pengertian dan Ragam Hukum Warisan di Indonesia
Sumber: https://www.finansialku.com/pengertian-waris-dan-3-hukum-waris-di-indonesia/

Adil itu belum tentu sama. Ketika kita kursi yang sama , maka orang yang paling pendek tidak akan mendapatkan akses menikmati pertandingan. Namun adil itu memberikan akses yang sama meskipun cara-caranya berbeda seperti pada ilustrasi gambar di sebelah kanan. Kita juga perlu menyakini bahwa setiap murid memiliki pola belajarnya sendiri yang unik. Ketika kita menemui murid yang mendengarkan kita sambil meletakkan kepalanya di atas meja, menjadi kewajaran karena bisa juga murid itu lebih nyaman dengan posisi tersebut.

Guru hendaknya mampu menelaah praktik-praktik pembelajaran yang telah dilakukan tentang efektifitasnya lewat bukti-bukti yang diambil dari pengalaman demi pengalaman. Oleh karena itu budaya reflektif menjadi hal penting untuk dilakukan. Guru harus mau menerima saran dari murid bahka membuka refleksi oleh murid tentang pembelajaran yang telah kita lakukan. Sampai kapanpun guru tidak dapat digantikan oleh robot sekalipun, karena guru adalah kunci dari keberhasilan pengembangan program pembelajaran murid-murid di kelasnya, kecuali guru hanya sebatas mengisi materi, maka pengetahuannya akan tergantikan oleh Artificial intelegency yang jauh lebih cepat. Mau tidak mau, maka komunitas menjadi bagian penting dan itu menjadi kebutuhan guru. Dalam komunitas, maka kita dapat saling belajar dan itu sebenarnya boster yang efektif untuk menguatkan diri kita. Guru membutuhkan dukungan dari komunitas yang lebih besar untuk menciptakan lingkungan belajar yang mendukung semua siswa.

 

 

 

Leave a Comment Cancel Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Exit mobile version