“Orang Tuaku Pahlawanku”, Challenge Melatih Empati

“Ibu adalah bumi, yang menjadi tempat tumbuh dan berkembang benih-benih kehidupan. Ibu adalah bumi,  tempat setiap anak belajar berdiri dan melangkah menuju masa depannya. Ibu adalah bumi, yang setiap jengkalnya menjadi pijakan sang anak untuk menjalani takdirnya.  Ibu adalah bumi, yang tak pernah bosan merengkuh tubuh-tubuh anak yang terlahir darinya. Sekalipun sedikit mengingatnya dalam kebahagiaan atau mau memahami dan memaklumi kekurangannya (Liza P. Arjanto)”. Setelah anak didik meresapi bait puisi tersebut,  diberikan kesempatan untuk membuat tulisan narasi yang mengungkapkan tentang orang tua yang menjadi sosok pahlawan dalam keluarga. Itulah sepenggal challenge yang diberikan pada pembelajaran produktif animasi di SMK Negeri 11 Semarang untuk melatih kemampuan bercerita. Kemampuan menulis cerita merupakan salah satu kompetensi awal yang perlu dimiliki anak didik sebelum membuat script cerita dalam pembuatan film animasi. Challenge ini merupakan kolaborasi antara mata pelajaran produktif animasi dan bahasa Indonesia.

Tidak perlu jauh-jauh mencari tema ketika anak didik akan membuat sebuah cerita. Anak perlu mengenali tokoh terdekatnya untuk membuat sebuah cerita. Salah satu tokoh yang diangkat dalam challenge yang diberikan ini adalah sosok orang tua sebagai pahlawan dalam keluarga. Kebanggaan terhadap orang tuanya perlu diasah dan diungkapkan dalam bentuk tulisan. Rasa bangga terhadap orang tuanya merupakan salah satu cara mengasah empati sebagai bagian dari social emotional learning. Tulisan narasi untuk mengungkapkan siapakah orang tua, mengapa menjadi sosok pahlawan dalam keluarga sebagai media untuk mengolah rasa agar rasa cinta terhadap orang tuanya tidak luntur. Inilah yang menjadi alasan, mengapa challenge ini diberikan dengan berkolaborasi antara pelajaran bahasa Indonesia dan mata pelajaran produktif animasi.

Postingan di atas merupakan sebuah tulisan dari salah satu anak didik bernama Ishqa Nalla Putriadi yang masih duduk di kelas X Animasi. Dari tulisannya  menggambarkan betapa bangganya anak tersebut kepada sosok ayahnya. Meskipun kondisi perekonomian yang sulit, ayahnya merupakan pahlawan baginya karena dapat menjadi inspirasinya. “Setiap harinya, keluargaku menerima begitu banyak kalimat kurang menyenangkan yang diserukan oleh orang sekitar. Namun, rangkai kata demi kata tersebut tidak menyurutkan semangat ayahku untuk menafkai keluarga kecilnya”, sepenggal kalimat yang Ishqa tulis di postingan instagramnya. Dengan bangga, Ishqa bercerita tentang pekerjaan ayahnya yaitu bekerja sebagai buruh pabrik pembuatan busa. “Beliau yang bertugas menjadi pemasak di pabrik. Beliau selalu bekerja dengan bahan kimia dan sejenisnya untuk menghasilkan sebagian besar kasur yang kalian tiduri dengan nyaman saat ini. Keren sekali bukan?”.

Challenge ini tidak hanya sekedar olah rasa, namun anak didik diberikan tantangan untuk melakukan tindakan yang dapat membantu meringankan beban pekerjaan orang tuanya. Tantangan ini bertujuan untuk melatih anak didik mampu melakukan olah laku sebagai kelanjutan dari olah rasa. Seperti yang dilakukan oleh Ishqa yang membantu menjual busa yang dijual di rumahnya dan membantu merapikan susunan busa per lembarnya. Sekecil apapun yang dilakukan anak didik untuk membantu orang tua patut dihargai sebagai bentuk tindakan melatih empati terhadap orang terdekat di sekitarnya. Berawal dari empati inilah maka anak didik akan melakukan tindakan-tindakan positif lainnya dalam skala yang lebih luas. Dengan harapan ketika terjun di masyarakat, dunia usaha dan dunia industri anak sudah terbiasa bertindak dengan landasan empati yang kuat.

 

 

 

Leave a Comment Cancel Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Exit mobile version