Saya selalu teringat dari nasehat Bapak saya, mungkin sudah bertahun-tahun yang lalu, ketika itu saya masih duduk di bangku SMP. Beliau sering mengatakan “Wong Jawa Kuwi Sing Di Cekeli Jawabe”. Jika dalam bahasa Indonesia, mungkin maknanya kurang lebih menyatakan “orang jawa itu yang dipegang jawabnya”. Jika dipahami lebih mendalam maka perumpaan ini erat hubungannya dengan yang dapat dipegang dari seseorang itu adalah apa yang diucapkan. Dalam filosofi Jawa, apa yang diucapkan itulah menggambarkan sifat, watak dari personal seseorang tersebut. Memang begitulah kehidupan, seseorang akan terlihat dari apa yang diucapkan. Karena ucapan akan muncul dari pikiran. Ucapan yang keluar akan menggambarkan isi dari pikiran seseorang. Ketika ucapan-ucapannya kasar, maka itulah gambaran pikirannya memang sedang tidak baik-baik saja, demikian juga ketika ucapannya lembut dan tidak menyakitkan, menggambarkan pikirannya memang sedang tenang. Selanjutnya saya hubungkan dengan untaian syair yang sangat berkaitan dengan apa yang saya bahas yaitu tertuang dalam Dammapada Bab 1 ayat 1.
Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu,
pikiran adalah pemimpin,
pikiran adalah pembentuk.
Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat,
maka penderitaan akan mengikutinya,
bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya.
Syair itu muncul dari sebuah cerita yang menarik tentang Cakkhupala Thera. Suatu hari, Cakkhupala Thera berkunjung ke Vihara Jetavana untuk melakukan penghormatan kepada Buddha. Malamnya, saat melakukan meditasi jalan kaki, sang thera tanpa sengaja menginjak banyak serangga sehingga mati. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali serombongan bhikkhu yang mendengar kedatangan sang thera bermaksud mengujunginya. Di tengah jalan, di dekat tempat sang thera menginap mereka melihat banyak serangga yang mati.
“Iiih…, mengapa banyak serangga yang mati di sini?” seru seorang bhikkhu. “Aah, jangan jangan…”, celetuk yang lain. “Jangan-jangan apa?” sergah beberapa bhikkhu. “Jangan-jangan ini perbuatan sang thera!” jawabnya. “Kok bisa begitu?” tanya yang lain lagi. “Begini, sebelum sang thera berdiam disini, tak ada kejadian seperti ini. Mungkin sang thera terganggu oleh serangga-serangga itu. Karena jengkelnya ia membunuhinya.” “Itu berarti ia melanggar vinaya, maka perlu kita laporkan kepada Sang Buddha!” seru beberapa bhikkhu. “Benar, mari kita laporkan kepada Buddha, bahwa Cakkhupala Thera telah melanggar vinaya”, timpal sebagian besar dari bhikkhu tersebut. Alih-alih dari mengunjungi sang thera, para bhikkhu itu berubah haluan, berbondong-bondong menghadap Buddha untuk melaporkan temuan mereka, bahwa “Cakkhupala Thera telah melanggar vinaya!” Mendengar laporan para bhikkhu, Buddha bertanya, “Para bhante, apakah kalian telah melihat sendiri pembunuhan itu?” “Tidak bhante”, jawab mereka serempak. Buddha kemudian menjawab, “Kalian tidak melihatnya, demikian pula Cakkhupala Thera juga tidak melihat serangga-serangga itu, karena matanya buta. Selain itu Cakkhupala Thera telah mencapai kesucian arahat. Ia telah tidak mempunyai kehendak untuk membunuh.”“Bagaimana seorang yang telah mencapai arahat tetapi matanya buta?” tanya beberapa bhikkhu. Maka Buddha menceritakan kisah Cakkupala di masa lampau. Pada kehidupan lampau, Cakkhupala pernah terlahir sebagai seorang tabib yang handal. Suatu ketika datang seorang wanita miskin. “Tuan, tolong sembuhkanlah penyakit mata saya ini. Karena miskin, saya tak bisa membayar pertolongan tuan dengan uang. Tetapi, apabila sembuh, saya berjanji dengan anak-anak saya akan menjadi pembantu tuan”, pinta wanita itu. Permintaan itu disanggupi oleh sang tabib. Perlahan-lahan penyakit mata yang parah itu mulai sembuh. Sebaliknya, wanita itu menjadi ketakutan, apabila penyakit matanya sembuh, ia dan anak-anaknya akan terikat menjadi pembantu tabib itu. Dengan marah-marah ia berbohong kepada sang tabib, bahwa sakit matanya bukannya sembuh, malahan bertambah parah. Setelah diperiksa dengan cermat, sang tabib tahu bahwa wanita miskin itu telah berbohong kepadanya. Tabib itu menjadi tersinggung dan marah, tetapi tidak diperlihatkan kepada wanita itu. “Oh, kalau begitu akan kuganti obatmu”, demikian jawabnya. “Nantikan pembalasanku!” serunya dalam hati. Benar, akhirnya wanita itu menjadi buta total karena pembalasan sang tabib. Sebagai akibat dari perbuatan jahatnya, tabib itu telah kehilangan penglihatannya pada banyak kehidupan selanjutnya. Tabib itu adalah Cakkhupala di masa lampaunya.
Apa hubungannya kisah tersebut dengan orang jawa yang dipegang jawabnya? Yang akan saya bahas di tulisan ini adalah, bahwa dalam tatanan orang Jawa, maka ucapan itu penting untuk diperhatikan. Hari ini, saya berkunjung ke Animars studio di Yogyakarta. Kunjungan ini karena ada sebuah ucapan yang saya sampaikan tepatnya 8 bulan yang lalu, ketika saya menyampaikan secara resmi melalui surat dari sekolah yang ditandatangani oleh kepala SMK N 11 Semarang. Intinya adalah saya menyerahkan sepenuhnya 6 murid saya untuk belajar meningkatkan kompetensi, belajar mengenal budaya industri dalam kegiatan magang atau PKL dan nanti pada tanggal 22 Desember 2023, secara resmi murid-murid ini saya tarik kembali. Senin, 18 Desember 2023 akhirnya saya bertemu kembali dengan Mas Rifan yang mendampingi murid-murid yang magang di Animars untuk menarik keenam murid tersebut untuk kembali ke sekolah. Datang dengan kondisi baik, maka pulang dengan kondisi baik. Itulah prinsip yang saya pegang. Datang dengan ucapan “kulo nuwun”, maka pulang dengan ucapan “matur nuwun”.
Setelah saya menyampaikan terima kasih atas kesempatan bagi anak-anak animasi SMK N 11 Semarang yang selama 8 bulan mengikuti kegiatan magang di animars studio, tentu ada banyak pengalaman baik pengalaman pahit, manis, asam dan asinnya kehidupan magang. Tekanan-tekanan deadline jika murid mampu memaknai kejadian tersebut sebagai pelajaran yang berarti, akan menjadikan dirinya dapat bertahan dan semakin kuat. Tekanan deadline tidak akan diperoleh di sekolah. Tekanan deadline hanya akan diperoleh di dunia usaha dan industri. Saya juga menyampaikan permohonan maaf, ketika anak-anak saya melakukan kesalahan-keasalahan dalam bertindak, berperilaku maupun berucap. Saya juga berharap akan ada kerjasama yang lebih baik lagi antara Animars dan SMK N 11 Semarang.
Nasihat dari orang tua saya tentang pentingnya “njawab” dengan baik. Njawab bukan sekedar menjawab atas pertanyaan, namun berkata dan menyampaikan kepada orang lain dengan tanpa harus menyakiti orang lain. Ketika kita melakukan evaluasi, mungkin ada tuntutan-tuntutan atau harapan-harapan dari sekolah kepada Animars studio, maka caranya harus elegant dengan tetap mengedepankan pada etika dan nilai-nilai kesopanan. Hari ini saya bahagia karena mampu menjalankan nasehat orang tua saya untuk memegang falsafah orang jawa “Wong Jawa Kuwi Sing Di Cekeli Jawabe”. Selamat bertemu kembali di sekolah pada tahun 2024 ya anak-anakku. Peganglah nasehat itu untuk dijadikan pedoman dalam hidup kalian.