Budaya nusantara mulai luntur seiring berkembangnya digitsalisasi di berbagai lini. Anak-anak muda sudah jarang yang menyukai budaya nusantara, tergantikan oleh budaya luar negeri seperti Jepang dan Korea Selatan yang membumi. Namun ketika saya pulang kampung di desa Jlegong, Kecamatan Bejen, Kabupaten Temanggung, terasa kembali ke 35 tahun yang lalu. Ingatan kembali ke masa lalu, di mana budaya lokal masih lestari. Berbagai kesenian berkembang di desa yang terpencil dari hiruk pikuknya perkotaan, seperti wayang kulit, kuda lumping, karawitan dan berbagai kesenian tradisional lainnya masih lestari.
Meskipun digitalisasi sudah mempengaruhi desa tersebut, namun justru media tersebut mampu dimanfaatkan untuk mengembangkan dan mempromosikan budaya tradisional tersebut ke dunia maya.
Seni kuda lumping di desa tersebut mengalami perkembangan yang pesat. Malam itu, seni kuda lumping diminta untuk tampil di desa sebelah mampu menyuguhkan berbagai variasi, antara lain: kuda lumping putri temanggungan, warok anak-anak, tarian putri, kuda lumping akulturasi dengan budaya bali, dan kuda lumping ala temanggungan.
Saya tertarik dengan semangat para muda di desa tersebut untuk melestarikan budaya lokal yang dilakukan secara sistemik dan terorganisasi dengan baik dengan memperhatikan regenerasi. Melatih anak-anak kecil untuk berkiprah di kesenian ini sebagai bukti bahwa paguyuban tersebut konsisten memikirkan siapa generasi yang akan melanjutkannya.
Dari sinilah saya tertarik untuk memberikan pantikan sebagai bahan diskusi kepada siswa kelas X Animasi dengan memposting di group whatsApp. “Kesenian kuda lumping ini dimainkan oleh anak kecil dan anak muda dari desa Jlegong, Kecamatan Bejen, Kabupaten Temanggung. Apa yang kalian pikirkan dan kalian rasakan?”, itulah pantikan untuk membangun kesadaran kepada anak didik saya.
“Bagus pak melestarikan budaya”, ungkap Iqbal Ramadan. Menurut Iqbal, jika generasi muda sudah tidak menyukai budaya lokal, mungkin bisa dicampur dengan budaya lain(Akulturasi). “Kita ini kan jurusan Animasi, mungkin kita bisa membuat animasi budaya lokal untuk menjadi pembelajaran untuk publik dan jika memungkinkan go internasional”, ungkap Iqbal lebih lanjut.
Benedictus memberikan respon, “Keren Pak masih muda tapi sudah bisa melestarikan budaya Indonesia”. Menurutnya, kita sebagai anak muda Indonesia harus mempromosikan budaya-budaya kita sampai ke ajang internasional”. Lebih lanjut ketika saya tanya tentang bagaimana caranya mempromosikan budaya lokal tersebut, Benedictus akan ikut menunjukan seni-seni khas dari indonesia di pameran seni tingkat internasional /mempromosikan tarian khas daerah di media sosial”. Sebuah olah pikir, olah rasa dan olah laku dari Benedictus yang tergolong cemerlang. Akhirnya saya memberikan tantangan bebas untuk melaporkan hasil postingan untuk promosi di media sosial. Moreno memberikan respon bahwa para anak muda di Desa Jlegong hebat, Mereka mempelajari kesenian budaya sedari kecil, bahkan Moreno merasa iri karena sedari kecil tidak mempelajari tentang kesenian budaya, mungkin belajar, tapi itu hanya di sekolah saja.
Menurut Giwang apa yang dilakukan oleh anak-anak muda di Desa Jlegong menginspirasi, selain untuk hiburan acara seperti ini dapat meningkatkan rasa cinta terhadap budaya lokal, serta mengingatkan kepada masyarakat akan beragamnya tari tradisional di Indonesia. Menurut Giwang, seiring berjalannya waktu pasti budaya lokal akan menurun, sekarang semuanya serba canggih, dengan kecanggihan teknologi yang semakin lama semakin baik ini justru semakin banyak peluang untuk meningkatkan budaya lokal dalam lingkup yang baru, Contohnya membuat film animasi dengan ciri khas budaya lokal, bisa juga dengan hal lain dan tetap mempertahankan ciri khas budaya lokal.