Setiap manusia pasti mengalami sakit dan sakit itu menderita. Namun apakah sakit itu sumber dari penderitaan itu? Pada umumnya orang akan mengatakan bahwa karena sakit itu kita menderita. Namun pada kesempatan ini saya akan mengajak pembaca dari sudut pandang yang berbeda. Sakit itu menderita, namun sakit bukan sebab penderitaan. Aneh memang ketika mengikuti kalimat ini. Siapa yang mengatakan bahwa sakit tidak menderita. Benar bahwa sakit itu menderita, tetapi penyakit bukan penyebab penderitaan. Lalu apa yang menjadi sebab penderitaan. Yang menjadi sebab penderitaan adalah keinginan tidak mau sakit, dan inilah kenyataan (kasunyatan). Sakit itu tidak aneh, sakit itu biasa. Apanya yang aneh, apanya yang mengejutkan? Pikiran kita yang tidak mau melihat sebagaimana adanya itulah sebagai penyebab menderita. Sakit tetapi tidak mengakui sakit. Ketika sedang sakit, namun pikiran kita mengingkari sakit itu, maka akan mengalami dua sakit yaitu sakit fisik dan sakit pikiran (mental). Akui saja sakit itu kemudian berobat. Tidak ada yang istimewa dari sakit. Sakit adalah kewajaran dan pasti berlaku pada setiap manusia. Di mana letaknya penderitaan? Di mana letak kebahagiaan? Letak penderitaan dan kebahagiaan itu ada di pikiran kita. Pikiran memiliki peranan yang penting. Ketika kita sedang tidak nyaman, sedang menderita, merasa kesulitan. Sebenarnya kita sendiri yang membuatnya. Pikiran itu yang membuatnya.
Ada seorang ibu yang menginap di sebuah hotel. Hotel itu nyaman, ber ac, makanan disediakan. Ketika ditanya oleh pegawai hotel, bagaimana keadaan ibu, nyamankah? Nyaman sekali, ungkap ibu tersebut. Ketika pegawai hotel itu mengatakan bahwa seminggu lalu ada tamu yang menginap di kamar tersebut meninggal dunia karena bunuh diri. Ibu tersebut menjadi resah, takut dan tidak nyaman lagi. Pada hari pertama seorang ibu tersebut tidak mengalami masalah, namun pada hari berikutnya menjadi takut, gelisah. Siapakah yang membuat penderitaan itu? Pikiran itu sendiri yang membuat resah. Itulah bukti nyata bahwa penderitaan itu terletak pada pikiran kita sendiri. Dari awalnya tidak ada masalah, sekarang mengalami perubahan karena pikirannya sendiri. Alangkah hebatnya pengaruh pikiran.
Yogyakarta merupakan kota tempat berkumpulnya para mahasiswa dari seluruh penjuru nusantara. Ada suatu perkumpulan kelompok tertentu yang mewadahi para mahasiswa dari berbagai daerah tersebut. Kakak tingkatnya memberikan nasehat, bahwa di Yogyakarta itu harus sopan, ketika berjalan di depan orang tua maka harus membungkukkan badannya. Mahasiswa yang berasal dari luar Jawa, diberi tahu bahwa ketika berjalan di hadapan orang tua maka badan harus dibungkukkan dan sambil mengatakan “nuwun sewu, kulo segawon”. Ketika mahasiswa tersebut melakukan apa yang diperintahkan kakak tingkatnya, orang yang mendengar hanya senyum-senyum saja. Mahasiswa tersebut pun ikut tersenyum, menganggap bahwa apa yang dilakukan itu sudah benar. Namun pada hari berikutnya, mahasiswa tersebut tersinggung setelah mengetahui bahasa yang digunakan yang berarti “maaf, saya anjing”. Cerita ini juga menggambarkan betapa dahsyatnya pikiran mampu mengubah perasaan. Yang tadinya tersenyum setelah mengetahui artinya pikiran memberikan respon negatif sehingga mengubah menjadi tersinggung dan tidak bahagia dan malu.
Kita mengenal negara Bhutan, sebuah negara kecil di Asia Selatan yang berbentuk Kerajaan dan dikenal dengan Negeri Naga Guntur. Wilayahnya terhimpit antara India dan Republik Rakyat Tiongkok. Negara ini satu-satunya di dunia yang mengukur kemajuan negaranya bukan dari Gross National Product (produksi rata-rata tiap tahun). Negara ini menggunakan Gross National Happines (GNH). GNH diciptakan oleh Raja Keempat Bhutan, Jigme Singye Wangchuck pada 1970-an. Konsep tersebut menyiratkan bahwa pembangunan berkelanjutan harus mengambil pendekatan holistik terhadap gagasan kemajuan dan memberikan kepentingan yang sama pada aspek kesejahteraan non ekonomi. GNH mengukur negara tersebut dari tingkat kebahagiaan rakyatnya. Negara dikatakan semakin maju ketika tingkat kebahagiaan rakyatnya tinggi. Salah indikator dalam pengukuran GNH di negara tersebut ketika seseorang sudah mampu menolong orang lain itulah yang disebut bahagia. Bukan diukur dari kemampuan ekonominya sudah kaya atau miskin, namun ketika seseorang itu mampu menolong orang lain itu sudah dikatakan bahagia. Dunia mengakui GNH tersebut.
Apa yang ingin saya sampaikan dari tulisan ini adalah betapa pentingnya perubahan mindset, bagaimana memanajemen pikiran kita untuk mencapai bahagia. Perubahan zaman yang begitu cepat di era VUCA ini yang menyebabkan banjirnya informasi yang akan memicu tekanan mental, maka cara yang paling efektif adalah mengelola dan memajemen pikiran kita sendiri. Hal ini sangat relevan dengan filsafat stoikisme yang memprioritaskan pada penguasaan diri dan belajar bagaimana agar tetap tenang dalam segala situasi. “Kalau kebahagiaan kita tergantung dari orang lain yang di luar kendali kita, maka kita akan menjadi budaknya (Novi Poespita Candra). Pendapat tersebut selaras dengan apa yang tertulis dari syair kuno di atas, kebahagiaan itu tergantung dari bagaimana seseorang menjaga pikirannya sendiri. Semoga menginspirasi.