Membangun budaya positif di sekolah merupakan sebuah keniscayaan yang hendaknya dilakukan oleh seorang guru, karena guru diibaratkan sebagai petani yang akan terus merawat tanaman dengan memberikan ekosistem yang cocok dengan tanaman tersebut. Dalam filosofi Ki Hajar Dewantara, seorang guru hendaknya berhamba pada sang murid, artinya guru harus mampu mengetahui apa yang menjadi kebutuhan murid, mengetahui kondisi murid-muridnya dengan keunikannya masing-masing sehingga guru dituntut untuk mampu menjadi penuntun murid agar mencapai kebahagiaan setinggi-tingginya, selamat lahir dan batinnya, yang mampu memberikan kebermanfaatan bagi diri murid dan lingkungannya. Oleh karena itu menciptakan budaya positif di sekolah diibaratkan sebagai petani yang mampu menciptakan kondisi tanah untuk penyemaian benih-benih tanaman yang sesuai dengan kebutuhan tanaman tersebut, yakni tanah yang cukup dengan air, pupuk, sehingga benih-benih tersebut dapat tumbuh dan berkembang dan akhirnya berbuah.
Di dunia pendidikan murid yang disiplin merupakan harapan bagi seorang guru dan orang tua. Ketika mendengar kata disiplin, saya justru terbesit dengan hukuman. Mungkin ini pengalaman yang sudah sering dirasakan ketika menjadi murid bahkan menjadi guru sekalipun. Ketika ada istilah disiplin, maka terbesit ada unsur paksaan dan hukuman bagi yang tidak disiplin. Paradigma lama ini hendaknya semakin dihilangkan dalam alam pemikiran kita. Menurut ahli teori kontrol Dr. William Glasser, bahwa ketika guru mampu mengontrol murid itu adalah ilusi semata. Guru sebenarnya tidak dapat memaksa muridnya melakukan sesuatu, ketika nampak bahwa guru mampu mengontrol murid, sebenarnya pada saat itu si murid sedang mengijinkan dirinya dikontrol guru. Semua penguatan positif yang dilakukan guru dipandang efektif dan bermanfaat, sebenarnya hanyalah ilusi. Penguatan positif juga merupakan kontrol guru terhadap murid, pada masanya murid akan menolak penguatan tersebut. Sebuah kritik dan membuat orang merasa bersalah dapat menguatkan karakter, itu pun juga sebuah ilusi. Ketika seorang guru membuat murid merasa bersalah, seakan-akan bahwa murid akan menyudahi perilakunya, namun sebenarnya justru memperburuk suasana, karena berakibat murid akan menyalahkan dirinya sendiri dan semakin terpuruk. Ketika seorang guru percaya bahwa dirinya memiliki tanggungjawab untuk membuat murid-muridnya berbuat hal-hal tertentu, itupun juga sebuah ilusi. Inilah alasan bahwa hukuman maupun penghargaan bukanlah sebagai pengontrol yang efektif untuk menciptakan disiplin murid, karena itu bagian dari motivasi ekstrinsik. Sejatinya seseorang yang melakukan suatu tindakan akan bertahan lama ketika dilandasi oleh motivasi instrinsik dan dari kesadaran dirinya. Hal ini sesuai dengan ajaran Ki Hajar Dewantara yang menyatakan “Dimana ada kemerdekaan, disitulah harus ada disiplin yang kuat. Sungguhpun disiplin itu bersifat ”self-discipline” yaitu kita sendiri yang mewajibkan kita dengan sekeras-kerasnya, tetapi itu sama saja; sebab jikalau kita tidak cakap melakukan self-discipline, wajiblah penguasa lain mendisiplin diri kita. Dan peraturan demikian itulah harus ada di dalam suasana yang merdeka”. Dari ajaran Ki Hajar Dewantara ini yang menjadi point pentingnya adalah self disipline.
Untuk menciptakan budaya positif, maka seorang guru harus mampu beralih dari posisi perannya sebagai penghukum, pembuat murid merasa bersalah, peran sebagai teman menuju pada peran sebagai pemantau dan manager. Ketika seorang guru mendisiplinkan murid dengan hukuman-hukuman, dalam jangka waktu pendek nampak terlihat efektif, namun itu hanyalah ilusi saja, karena disiplin murid berasal dari faktor eksternal yaitu menghindari hukuman. Dampaknya maka si murid akan membenci kedisplinan, dalam jangka panjang ketika jauh dari penghukum, si murid akan kembali melakukan hal-hal yang tidak disiplin. Sakit hati, dendam dan hal-hal negatif lainnya justru yang dirasakan murid ketika mendapatkan hukuman. Peran guru sebagai manager menjadi hal yang paling ideal ketika ingin membentuk disiplin positif, karena akan bermuara pada kesadaran diri murid. Melalui proses dialog dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang powerfull guru akan mampu menggiring murid menemukan solusinya sendiri atas permasalahan yang dihadapi. Inilah pintu gerbang menuju kesadaran diri. Melalui restitusi guru dapat menanamkan disiplin positif pada murid, bukan untuk menebus kesalahan, namun untuk belajar dari kesalahan dan untuk memperbaiki hubungan dengan proses tindakan berupa tawaran, bukan lagi paksaan seperti hukuman. Ada tiga tahapan yang dapat dilalui dalam restitusi yakni menstabilkan identitas, memvalidasi tindakan yang salah dan menanyakan keyakinan.
Budaya positif di sekolah dapat dilakukan dengan mengubah dari aturan-aturan yang sudah ada di sekolah menjadi keyakinan kelas ataupun keyakinan sekolah. Keyakinan kelas/sekolah tersebut merupakan nilai-nilai kebajikan yang disarikan dari kalimat positif yang disepakati bersama di kelas berdasarkan peraturan-peraturan atau tata tertib yang sudah ada sebelumnya. Tata tertib yang ada unsur kalimat negatif perlu diubah menjadi kalimat positif, karena akan membawa suasana psikologis yang membetuk pikiran menjadi positif. Sering kali kita mendengar bahwa segala ucapan, tulisan merupakan suatu doa. Kalau aturan berlaku di sekolah masih mengandung kalimat negatif, maka justru yang mudah diingat oleh murid adalah yang negatif. Menghindari kalimat negatif dan menampilkan kalimat positif menjadi kesepakatan kelas akan menambah energi positif bagi murid dan itulah sebuah doa. Inilah yang bisa saya pahami ketika belajar tentang konsep inti dari budaya positif. Ada hal yang menarik dan itu di luar dugaan saya selama ini yakni memberikan penghargaan itupun juga kurang efektif karena sama saja dengan memberikan hukuman. Selanjutnya apa yang perlu dilakukan oleh guru dalam penerapan disiplin positif? Guru perlu memberikan apresiasi yang lebih detail, hal-hal positif apa yang sudah dilakukan oleh siswa. Budaya dialektika melalui restitusi, memberikan apresiasi akan berdampak pada kesadaran diri siswa.
Setelah belajar tentang budaya positif ini, saya mengalami perubahan cara berpikir dalam menciptakan budaya positif di kelas maupun sekolah. Perubahan cara berpikir saya dalam menciptakan budaya positif di kelas maupun di sekolah yakni perlu mengubah aturan-aturan atau tata tertib yang ada unsur-unsur kalimat negatif menjadi kalimat positif, yang awalnya ada unsur-unsur hukuman perlu ditingkatkan dengan apresiasi terhadap murid yang melakukan perbuatan baik. Peran guru sebagai pemberi hukuman, membuat murid merasa bersalah dan sebagai teman perlu bergeser menjadi pemantau dan manager yang menerapkan segitiga restitusi melalui budaya dialektikanya. Perubahan paradigma ini saya rasakan pada diri saya dan berdampak pada tindakan dan kebijakan yang saya ambil selaku sebagai guru dan wakil kepala sekolah bidang kesiswaan.
Ada dua hal yang lebih urgen untuk terus ditingkatkan di SMK Negeri 11 Semarang yaitu disiplin dan kepekaan terhadap lingkungan. Dua hal ini dilatarbelakangi dari kondisi setelah siswa bisa seratus persen masuk sekolah setelah terjadinya pandemi COVID 19, dimana siswa cenderung lemah dalam karakter disiplin dan kepekaan terhadap lingkungan. Hal ini terbukti dari hal yang paling sederhana saja siswa sulit untuk menunjukkan kedisiplinannya. Setiap hari Senin dan selasa, dalam kesepakatan sekolah yang diterapkan siswa memakai seragam OSIS lengkap dan hari Jumat memakai seragam Pramuka lengkap. Kesepakatan tersebut ternyata banyak sekali yang melanggarnya. Setiap hari Senin, ketika upacara berlangsung banyak sekali siswa yang tidak memakai topi dan dasi, meskipun sudah memakai seragam OSIS. Sepatu masih berwarna-warni, padahal dalam kesepakatan sekolah, setiap memakai seragam OSIS, maka berdasi, memakai sepatu hitam, kaos kaki putih dan lengkap dengan identitas nama, bad logo SMK N 11 Semarang, kode kelas yang sesuai dengan warna jurusan serta bad nama SMK N 11 Semarang. Ada point penting nilai kebajikan dari kesepakatan tersebut yaitu kesetaraan, agar tidak menampakkan perbedaan siswa dari berbagai golongan ekonomi atas, menengah maupun bawah. Demikian juga untuk hari Jumat, ada kesepakatan memakai seragam Pramuka lengkap, namun banyak sekali yang tidak memakai hasduk, terutama kelas XI dan XII dengan alasan tidak ada kegiatan Pramuka. Sudah berkali-kali kami ingatkan dan diberi teguran bagi yang tidak melaksanakan kesepakatan ini, namun hasilnya nihil. Kesepakatan yang tertuang dalam tata tertib tersebut sepertinya tidak berarti bagi siswa. Di sisi lain, SMK Negeri 11 Semarang memiliki siswa sekitar 1700 an dengan luas lokasi hampir 4 hektar. Jumlah siswa yang besar ini berpotensi menghasilkan sampah yang berserakan, ketika kesadaran terhadap lingkungan belum dimiliki siswa. Benar yang terjadi setelah pandemi, banyak siswa yang belum sinkron antara olah pikir, olah rasa dan olah lakunya. Tri Nga (Negerti, Ngrasakake, Nglakoni) benar-benar belum ada kesinkronan. Siswa banyak yang mengerti bahwa sampah itu seharusnya dibuang di tempat sampah, namun mereka tidak merasakan bahwa ketika lingkungannya penuh sampah berserakan tidak merasa jijik dan tidak segera nglakoni untuk mengambil sampah-sampah tersebut dan membuangnya di tempat sampah, padahal program Jumat Bersih sudah dijalankan secara masal dan di setiap kelas sudah ada piket. Ketika kegiatan jumat bersih secara masal, setelah saya analisis hanya beberapa siswa saja dalam satu kelasnya yang benar-benar melakukan kegiatan jumat bersih tersebut. Piket di setiap kelas tidak berjalan sesuai harapan. Kondisi ini menjadi keprihatinan kami di bidang kesiswaan, sehingga saya selaku wakil kepala sekolah bidang kesiswaan memiliki prakarsa perubahan yakni mewujudkan sekolah yang bersih. Saya juga memiliki impian bahwa siswa dapat berdisiplin dari hal yang paling sederhana terlebih dahulu yaitu berkaitan dengan pemakaian seragam sesuai kesepakatan sekolah.
Untuk mewujudkan prakarsa perubahan ini, kami akhirnya bekerjasama dengan semua guru ketika di jam pertama. Saya memberikan pengumuman di group FGD SMK N 11 Semarang yang mengajak guru yang ada di kelas untuk mengecek kelengkapan seragam OSIS di hari Selasa, serta seragam Pramuka lengkap di setiap hari Jumat. Saya juga meminta kepada guru agar siswa yang tidak lengkap seragamnya dicatat dan dikirim ke group FGD dan siswa yang bersangkutan diminta berkumpul di lapangan Wirya Khsetra. Di hari pertama program ini dijalankan, banyak sekali hampir ada 100 an lebih yang belum memakai seragam lengkap. Di atas mimbar di lapangan tersebut, saya mengajak dialog meskipun agak sulit karena begitu banyaknya siswa yang tidak memakai seragam lengkap. Saya mengajak dialog dan melakukan identifikasi hal apa yang membuat mereka tidak memakai seragam OSIS lengkap. Mayoritas siswa belum membeli dasi maupun atribut lainnya. Di hari pertama program ini, saya hanya bisa mengingatkan bahwa ada kesepakatan sekolah yang seharusnya dipenuhi. Ini sebagai bentuk disiplin yang paling sederhana. Bagaimana kita bisa melakukan hal-hal yang lebih komplek, ketika hal yang paling sederhana saja belum bisa dilakukan dari kesadaran dirinya. Sebagai konsekuensinya mereka saya minta melaksanakan kepekaan lingkungan. Saya tahu ini tidak ada korelasinya antara ketidaklengkapan seragam dengan kepekaan lingkungan, namun saya kembali ke permasalahan kedua yaitu masih banyak sampah-sampah yang berserakan. Akhirnya ini dilakukan kesepakatan dan melakukan penawaran kepada siswa, apakah mereka sanggup untuk berbuat baik dengan melakukan kepekaan terhadap lingkungan. Mereka sanggup melakukannya, sehingga program ini terus dijalankan. Siswa yang tidak berseragam lengkap tersebut akhirnya disepakati untuk melakukan kepekaan lingkungan. Secara bergotong royong dan berkelompok menyisir di lingkungan sekolah dan mengambil sampah-sampah dan memasukkan di kantong plastik yang besar. Jika sudah penuh plastiknya mereka kembali ke lapangan wirya khsetra untuk melaporkan dan melakukan presensi mengisi link tentang ketidak lengkapan seragam. Kegiatan ini berjalan secara terus menerus dari awal bulan September 2023 sampai sekarang. Dari data yang diperoleh tingkat kesadaran siswa untuk berseragam lengkap mengalami peningkatan. Siswa yang tidak berseragam lengkap semakin sedikit. Di hari Jumat, tanggal 6 Oktober 2023 dan 13 Oktober 2023, dari 1700 an siswa tinggal 4 siswa yang tidak memakai hasduk. Dari hasil pemantauan pada hari Selasa, 10 Oktober 2023, mayoritas sudah berdasi meskipun masih banyak ditemui siswa yang bad jurusan belum lengkap, karena belum membeli bad jurusan di koperasi. Dari proses kepekaan lingkungan bagi siswa yang tidak lengkap seragamnya, ada dua tujuan sekaligus yakni meningkatkan disiplin dan kepekaan terhadap lingkungan. Awalnya seperti hukuman, namun kami melakukan secara humanis. Kami selalu menekankan bahwa kita perlu melakukan keseimbangan. Ibarat sebuah timbangan, ketika di sisi kiri melakukan kesalahan, maka di sisi kanan, segeralah untuk melakukan kebaikan. Bentuk kepekaan lingkungan tersebut kami tekankan bukan sebagai hukuman, namun sebagai konsekuensi logis untuk berbuat baik. Usai kegiatan peka lingkungan, saya minta perwakilan siswa untuk melakukan refleksi dengan menjawab, apa yang telah dilaksanakan, apa yang dirasakan, nilai-nilai kebajikan apa yang telah dilakukan dan apa yang akan dilakukan selanjutnya. Refleksi ini ternyata membawa dampak pada kesadaran siswa tentang pentingnya disiplin dan peka terhaap lingkungan.
Saya merasakan kebahagiaan ketika jumlah siswa yang berdisplin dalam berseragam ini semakin banyak. Mungkin awalnya nampaknya mereka takut dengan hukuman, namun karena kami di bidang kesiswaan terus mengajak dialog setelah melakukan kegiatan peka lingkungan, diharapkan apa yang dilakukan mereka berdasarkan pada kesadaran dirinya untuk menghargai dirinya sendiri. Hal ini berdampak langsung terhadap disiplin menghargai waktu. Awal saya menjadi waka kesiswaan, sulit sekali saya mengumpulkan siswa untuk upacara bendera. Setiap upacara bendera, tidak pernah upacara dimulai pukul 07.00. Upacara baru bisa dimulai pukul 07.15. Namun semenjak program ini kami jalankan sejak bulan September 2023, setiap kali upacara, sudah bisa dimulai pukul 07.00 WIB. Hal yang sudah mulai membaik adalah disiplin siswa dari hal yang paling sederhana yaitu memakai seragam OSIS lengkap dan Pramuka lengkap serta kepekaan terhadap lingkungan. Dua hal ini menurut saya harus terus ditingkatkan. Program ini harus dilakukan secara kontinyu agar menjadi pembiasaan yang bermakna. Dari pembiasaan positif yang dilandasi kesadaran diri akan menjadi karakter dan dari karakater ini akan menjadi budaya positif di SMK N 11 Semarang.
Jujur dari refleksi saya sendiri, sebelum saya belajar tentang budaya positif ini, posisi kontrol saya jarang sekali sebagai penghukum dan membuat siswa merasa bersalah. Posisi saya lebih sebagai teman bagi murid-murid. Setelah mempelajari materi budaya positif, posisi saat ini lebih sering sebagai pemantau dan terus belajar untuk menjadi manager. Segitiga restitusi terus menerus dipraktikkan untuk menuju posisi manager. Saya bersyukur mendapatkan kesempatan belajar ini. Sebelumnya di tahun 2020, sebelum kurikulum merdeka ini berjalan, saya sudah mempelajari di komunitas Gerakan Sekolah Menyenangkan dengan istilah yang berbeda yaitu Restorasi Justice. Secara konten materinya hampir sama, yaitu membudayakan dialektika untuk memecahkan suatu masalah. Itulah yang menyebabkan saya cenderung berada di posisi teman, dan mengurangi hukuman. Dari apa yang saya lakukan dalam restorasi justice tersebut saya sudah melakukan tiga tahapan restitusi ini. Namun untuk sampai pada posisi kontrol sebagai manager masih belum secara optimal. Selain konsep-konsep yang dilakukan dalam budaya positif yang telah saya pelajari, ada hal-hal lain yang menurut saya penting untuk dipelajari dalam proses menciptakan budaya positif baik di lingkungan kelas maupun sekolah yaitu bagaimana memanajemen keterlibatan semua pihak di sekolah. Saya masih perlu belajar bagaimana mempengaruhi orang lain dan mengajak semua komponen untuk terlibat dalam mempraktikan budaya positif di SMK N 11 Semarang. Inilah pengalaman saya menerapkan budaya positif di SMK Negeri 11 Semarang. Untuk selanjutnya saya dan tim kesiswaan akan terus melakukan aksi nyata dengan rancangan sebagai berikut.
Semoga menginspirasi