“Sekolah itu ibarat jalan kaki, sedangkan pihak industri sudah lari kencang”, ungkap salah satu karyawan industri kreatif setelah beberapa kali saya lakukan komunikasi. Itulah yang bisa digambarkan tentang perbedaan kondisi antara sekolah dan industri terkait dengan perkembangan kompetensi. Ketika kita tengok lebih lanjut terkait kurikulum yang ada, tidak dapat dipungkiri bahwa kurikulum yang terlalu padat, banyak mata pelajaran yang harus dikuasai oleh siswa menjadi salah satu penyebab mengapa kompetensi anak didik sulit mengejar ketertinggalan dengan pihak industri. Apakah kita akan terjebak dengan ruitinitas sehari-hari yang selalu berkutat dengan mengisi materi sesuai dengan kurikulum tersebut? Apakah kita hanya akan terjebak dengan rutinitas sehari-hari yang selalu berkutat dengan segudang pekerjaan yang bersifat administratif sehingga kita lupa masih banyak PR besar yaitu memberikan pelayanan kepada anak didik kita agar tumbuh dan berkembang sesuai potensi yang dimiliki. Ketika mengacu pada kurikulum yang berlaku, dalam 3 tahun sekolah di jurusan Animasi pada jenjang SMK, siswa harus menguasai 2 kompetensi besar yaitu animasi dua dimensi dan animasi 3 dimensi dengan masing-masing kompetensi besar tersebut terdiri dari tiga tahapan yaitu pra produksi, produksi dan pasca produksi. Begitu besar tuntutan kurikulum tersebut, sehingga ketika direalisasikan justru berdampak pada kualitas kompetensi siswa yang tidak sesuai dengan tuntutan industri. Anak didik akan tahu banyak hal tapi tidak mendalam atau dapat dikatakan “banyak tapi sedikit-sedikit”. Kondisi ini berbanding terbalik dengan tuntutan industri kreatif, para karyawan bekerja sesuai spesialisasi. Para karyawan dituntut memiliki kemampuan yang mendalam sesuai dengan spesialisasinya.
Uraian tersebut memberikan konsekuensi bahwa guru hendaknya memfokuskan pada pengembangan potensi anak didik agar mampu menampilkan kompetensi terbaiknya dengan versinya masing-masing. Tidak dapat dipaksakan bahwa anak yang belajar di jurusan Animasi harus mampu kedua-duanya baik animasi 2D dan animasi 3D. Ketika passion anak lebih mengarah pada animasi 2D, maka mereka hendaknya diberi kemerdekaan untuk memperdalam ke animasi 2D, demikian juga yang memiliki passsion animasi 3D perlu diberi kemerdekaan untuk memperdalamnya sampai pada kompetensi sesuai dengan tuntutan industri. Untuk itu kurikulum yang ada di sekolah harus fleksibel mengikuti perkembangan industri. Sinkronisasi yang dilakukan setiap awal tahun yang sering dilakukan oleh pihak sekolah sudah bagus dilakukan, namun itu tidak cukup, mengapa? Sinkronisasi yang sering dilakukan hanya sebatas administrasi, belum sampai pada realisasi yang sesuai tuntutan industri. Untuk itu sekolah memerlukan orang-orang yang ada di industri yang bisa menjadi penyambung lidah tentang apa saja yang dibutuhkan industri untuk setiap saat.
Untuk mensikapi agar gab yang terjadi antara sekolah dan industri tidak terlalu jauh, maka komunikasi dengan industri terus dilakukan baik secara formal maupun secara tidak formal. Secara formal, menjalin kerjasama dengan pihak industri untuk membuat project bersama di sekolah. Hal ini sudah dilakukan dengan Pikara studio yang membuat project pembuatan film animasi dengan pekerjaan yang ditentukan oleh Pikara dengan melibatkan anak didik yang terpilih mengikuti project industri dan magang. Hal serupa dengan Vokasee yang bekerjasama membuat asset-asset digital untuk dijual di market place. Cara-cara ini ternyata sudah mampu meningkatkan kompetensi anak, namun belum cukup karena yang dilakukan masih sebatas untuk anak-anak yang bergabung saja. Bagaimana kebutuhan industri sampai merambah sampai ke kurikulum? Cara non formal yang mampu menjangkau itu yaitu berkomunikasi secara intens tentang perkembangan industri dan langsung memasukkan ke kurikulum setiap saat. Artinya sinkronisasi tidak cukup hanya di awal tahun, namun justru sinkronisasi diperlukan setiap saat.
Cara sinkronisasi ini dilakukan dengan menjalin komunikasi secara intens dengan salah satu karyawan yang ada di industri kreatif melalui watshap. Eric, salah satu karyawan di Industri Kreatif yang bersedia meluangkan waktunya setiap hari Sabtu dan Minggu untuk terus berdiskusi untuk memberikan informasi terupdate tentang kebutuhan industri. Beberapa minggu ini, saya mendapat insigt baru bahwa kecepatan dalam bekerja menjadi unsur paling penting. Dari komunikasi yang dijalin tersebut akhirnya kami juga sepakat untuk memberikan latihan agar anak didik mencicipi bagaimana tekanan yang terjadi di Industri sehingga harapannya akan berimbas pada anak didik untuk mampu menghargai waktu. Dari komunikasi tersebut, diperoleh gambaran bahwa salah satu kebutuhan industri tentang modeling 3D dan segera saya berikan challenge ke anak-anak. Fleksibilitas dalam challenge ini sebagai cara memerdekakan bagi anak-anak yang memiliki passion di bidang modeling 3D. Dari challenge yang hanya diberikan waktu maksimal 2 hari diperoleh hasil yang sudah mendekati harapan industri, seperti pada gambar hasil modeling 3D oleh Faisal, Febrian Alfito, Risky Kenang dan Wisnu yang semuanya masih duduk di bangku kelas X. Jika kita masih berkutat dengan kurikulum yang kaku, kompetensi modeling ini baru ada di kelas XI.
Dari cara memberikan kemerdekaan dalam belajar berdasarkan sinkronisasi dengan industri secara kontinyu akan menjadi challenge yang menarik bagi anak didik. Dampaknya anak didik semakin tertantang untuk berkarya di luar ekspectasi kurikulum bahkan tingkat kepercayaan dirinya semakin meningkat karena mendapat respon langsung dari industri. Sekolah masa depan adalah sekolah yang seperti tenda yaitu memiliki kurikulum, model dan metode yang fleksibel mengikuti perkembangan zaman. Ketika ada sebuah bencana, tinggal digulung dan dipindah ke tempat yang aman. Sudah fleksibelkah kurikulum dan cara-cara pembelajaran kita saat ini?