“Karya ini merupakan hasil ilustrasi Yosepta. Ilustrasi tersebut menggambarkan dua pilihan transportasi untuk menuju suatu tempat. Pertama kalian diajak naik bus, dimana guru sebagai sopirnya. Kalian tinggal duduk manis di bus sambil menikmati pemandangan yang dilewati, mungkin sambil tiduran tiba-tiba sudah sampai tujuan. Kalian tidak perlu usaha keras sampai tujuan, karena tinggal mengikuti sang guru menjalankan laju bus dengan kecepatan yang diatur oleh guru tersebut. Pilihan kedua, kalian diajak sang guru untuk mengayuh sepedanya masing-masing. Sang guru hanya memberikan google map tempat yang akan dituju. Kalian dibebaskan mengayuh dengan kecepatan masing-masing sesuai kemampuanmu, sambil menikmati pemandangan yang kalian lalui. Kalian juga diperbolehkan mencari jalan alternatif sendiri yang kalian suka. Sang guru kadang di depan, kadang di tengah, kadang di belakangmu untuk mendorong teman-temanmu yang mungkin kelelahan. Sebagai siswa, secara jujur pilih transportasi yang mana? Berilah alasannya. Pertanyaan ini bersifat analogi dalam pembelajaran kita”, ungkap saya melalui group whatsapp kelas X Animasi.
Sengaja stimulus ini saya sampaikan ke group kelas X Animasi agar saya tahu sebenarnya guru seperti apa yang menjadi pilihan siswa, sebagai bahan intropeksi diri. Beberapa menit stimulus saya sampaikan, sudah banyak siswa yang fast respon untuk menanggapinya. Benedictus yang pertama kali menyampaikan responnya. Kalau saya, lebih memilih opsi yang kedua (sepeda) karena kita sebagai siswa akan dilatih memecahkan masalah secara mandiri dan juga mencari jalan keluar dengan cepat dan kreatif, dibanding opsi yang pertama kita hanya duduk bermalas malasan tanpa menikmati yang namanya proses”, ungkap Benedictus. Siswa ini lebih memilih guru yang memberikan kebebasan bagi siswanya untuk menikmati proses yang diibaratkan bersepeda. Berikutnya Gissela memberikan respon yang tidak kalah menarik. “Saya pribadi lebih suka pilihan kedua pak, karena menurut saya kita bisa eksplore lebih di luar sana yang mana tetap dipantau guru namun kita lebih bisa mengembangkan ide dan juga kreatifitas yang ada dipikiran kita dan juga bisa lebih belajar banyak hal dan mendapatkan pengalaman baru”, ungkap Gissela. Gissela lebih memilih guru yang memberi kesempatan bagi siswanya melakukan eksplorasi di luar yang tidak sekedar di ruangan yang dibatasi empat dinding kelas. Callista juga mengemukakan pendapat tentang guru yang menjadi pilihannya adalah guru yang memberikan kesempatan kepada muridnya untuk berekspresi. “Saya memilih pilihan kedua, karena siswa jadi punya kebebasan untuk berekspresi, mandiri, dan kreatif namun tetap dalam bimbingan guru. Siswa jadi terbiasa memecahkan masalah dengan cara mereka sendiri tanpa bergantung dengan orang lain. Siswa juga dapat memilih jalan mereka masing masing sesuai dengan jati diri mereka”, ungkap Calista.
Hal serupa diungkapkan Iqbal Ramadhan yang memilih opsi ke dua, karena kita tahu kemampuan kita sendiri saat berproses. Selain itu opsi ke dua kita bisa lebih mengeksplore kreativitas dan rasa mandiri serta tanggung jawab.
Yosepta yang membuat gambar ilustrasinya memberikan pendapat yang lebih mendalam. “Kalau menggunakan bus guru hanya melihat ke depan dan mementingkan tujuan dan murid tidak bisa lebih leluasa untuk melihat ke arah luar karens ada penghalang kaca. Bagiku itu seperti murid yang dituntut. Namun kalau kita menggunakan sepeda kita lebih leluasa untuk menikmati observasi atau pembelajaran yang diberikan guru, seperti kita menikmati udara saat menaiki sepeda. Dan guru juga tidak hanya di depan saja, untuk melihat sejauh mana perkembangan anak didik terkadang guru juga di tengah tengah atau barisan belakang dan jika ada yang terhenti atau jatuh itu akan terlihat dan guru akan menolong nya dan memberi semangat, karena kita belajar pasti ada jatuh bangunnya. Jadi saya memilih menaiki sepeda”, ungkap Yosepta. Yosepta ini lebih memilih guru yang memberikan kesempatan siswa terlibat dalam pembelajaran. Adhitya memilih opsi dua atau naik sepeda, karena kita sama dengan berolahraga dan bisa menikmati suasana apalagi saat di pagi hari, walaupun naik bus lebih cepat sampai, kita tidak bisa menikmati suasana di luar dan kadang hanya akan merasakan pusing. Adhitya lebih memilih guru yang memberikan kesempatan bereksplorasi di luar yang lebih riil.
Iqbal Ramadhan antusias sehingga memberikan respon dua kali. “Saya juga memilih opsi yang kedua. Dikarenakan lebih fleksibel, jadi para murid bisa banyak mengeksplore apapun yg mereka suka dan guru hanya mengarahkan”. Menurut Iqbal opsi kedua juga memiliki kelemahan. Menurutnya saat murid mengeksplore terkadang mereka melampaui batasan dan terkadang sering terjadi kurangnya komunikasi guru dan murid yang menjadi masalah saat guru tidak tahu murid itu sudah melampaui batasan.
Menurut Kanza keduanya tidak ada yang salah, karena terkadang terdapat murid yang dapat mampu menuju tujuannya sendiri tanpa dorongan dan hanya dibawa oleh supir bis, ada juga yang ingin diarahkan dan di ajak melihat sekitar seperti pilihan kedua. “Saya rasa keduanya bisa menjadi pilihan sendiri, namun pilihan kedua memang lebih efektif apalagi dalam kegiatan belajar sekarang, kalau terus di diarahkan sang supir pandanganya hanya lurus hingga tujuan dan tidak dapat menengok kanan kiri”, ungkap Kanza.
“Kalau saya jelas guru yang mengajak menggunakan sepeda, walau itu jelas lebih melelahkan dari pada tinggal duduk saja di kursi bus, namun kita menjadi lebih tahu tentang jalan yang di tempuh dari pada yang menggunakan bus. Ketika amit-amit mengalami kecelakaan kita tahu jalan pulang, atau bisa bertahan dan melanjutkan perjalanan dengan mandiri. Sedangkan ketika kita naik bus, kita hanya tahu saat kita sampai. Ketika hal buruk menimpa kita, kita tidak bisa melanjutkannya secara mandiri, hanya dapat berharap dan tak dapat melakukan apapun”, ungkap Yasin yang menggunakan bahasa analogi pula. Ia lebih menekankan bahwa guru yang ia pilih yang memberikan pilihan pada jalan terbaik menurut versi siswa. Dengan analogi bersepeda, ia berharap memiliki guru yang melibatkan siswa sehingga akan tahu jalannya sendiri, bukan seperti naik bus, tahu-tahu sampai tujuan tetapi tidak tahu prosesnya.
“Saya akan memilih pilihan ke dua atau bersepeda pak, karena kita di ajarkan untuk berusaha sampai keinginan yang ingin kita capai, kita bisa mencari cara lain tidak hanya cara itu-itu saja pak. Kalau bus mungkin kan jalannya itu-itu saja, nah seperti tadi kalau naik sepeda kita bisa cari jalan lain yang mungkin bisa mempercepat jalannya”, ungkap Novita.
Ungkap para siswa tersebut menunjukan bahwa guru yang dibutuhkan mereka adalah guru yang banyak melibatkan siswanya dalam proses menemukan jalannya menuju tujuan yang ingin dicapai. Guru sebagai pemantik awal untuk menentukan tujuan pembelajaran atau tujuan pembelajaran tersebut ditentukan bersama. Inilah yang diharapkan siswa untuk terlibat langsung sesuai jalannya sendiri sehingga belajar itu sebagai perjalanan spiritual yang bermakna.
Ilustrasi yang bagus, mengandung high philosopy.