Ganti Kurikulum: Dibutuhkan Perubahan Pola Pikir Pendidik

Pagi ini saya mendapatkan  insight baru dari Gerakan Sekolah Menyenangkan berupa kalimat yang menyentuh hati saya.  Bukan sekedar menyentuh, namun menohok sampai ke dasar hati yang paling dalam.

“Biasanya perubahan kurikulum  terjadi hanya sebatas perubahan metode mengajar, target  dari pembelajaran, hingga mengarah ke menumpuknya administrasi yang dilakukan guru. Namun kita lupa kalau yang terpenting adalah perubahan pola pikir pelaku pendidikan”

Mungkin pendidik akan merasakan hal serupa yang saya rasakan selama ini.  Masih ingat ketika adanya kurikulum 2013? Yang masih paling diingat adalah dua metode yang disarankan yaitu Problem Based Learning dan Project Based Learning dengan pendekatannya adalah saintifik. Metode ini yang masih paling kuat di ingatan dan ditambah dengan segudang administrasi dari perencanaan pembelajaran yang begitu rigit, sampai pada proses penilaian yang begitu kompleks. Namun lagi-lagi perubahan kurikulum itu hanya sebatas perubahan saja karena pelaku pendidikannya belum banyak yang mampu menerjemahkan kurikulum tersebut sesuai harapan. Mengapa hal ini terjadi? Karena perubahan kurikulum tersebut tidak diikuti dengan perubahan mindset atau pola pikir pelaku pendidikan.

Pagi ini pula saya membaca di group WhatsApp  sebuah kiriman tulisan dari seorang pendidik bernama Pak Ali Sodikin (volunteer GSM) tentang The Golden Circle. “Kenapa adalah targetnya, bagaimana adalah cincin tengahnya dan apa adalah bagian luarnya. Jika akan memulai dengan kenapa itu berarti sedang membangun dengan pendekatan inside out”.  Berkali-kali Pak Muhammad Nurizal (Founder GSM) di setiap pemaparannya dalam berbagai kegiatan  selalu menekankan tentang “mengapa”. The first principal thinking  selalu menyampaikan bagaimana menemukan “why” terlebih dahulu. Karena ketika why ini sudah ditemukan, maka apa dan bagaimana akan mengikuti, bahkan akan menemukan sendiri.

Dari analogi ini maka ketika kita membawa ke alam pikir  suatu pembelajaran maka akan lebih bermakna ketika kita awali dengan “mengapa” bukan apa dan bagaimana. Ketika diawali dengan “mengapa” maka suasana pembelajarannya akan memberikan kebebasan kepada anak didik untuk berpikir yang lebih tinggi (higher order thinking).

Kembali diingatkan oleh Pak Rizal ketika webinar memberikan penjelasan bahwa yang menjadi the first principal thinking dari pendidikan adalah bagaimana menuntun kodrat anak didik (keberagaman, imajinasi,  rasa ingin tahu) agar berkembang mencapai versi terbaiknya masing-masing. Pendidikan pada prinsipnya adalah memberikan pengalaman belajar yang menyenangkan da bermakna agar anak terus termotivasi (kasmaran) belajar, sehingga anak tidak pernah mau berhenti belajar. Ketika perubahan kurikulum terjadi kita sebagai pendidik hendaknya selalu memegang the firt principle thinking dari pendidikan ini, maka kita tidak akan terjebak pada pada pemilihan metode pembelajaran, target dan segudang administrasi.  Ketika prinsip ini kita pegang, maka seorang guru yang memiliki growth mindset akan dapat menemukan metode yang disesuaikan dengan kondisi anak didiknya.  Pola pikir (mindset) para guru menjadi bagian yang sangat penting untuk mensikapi adanya perubahan kurikulum sehingga menjadi pendidik yang berhamba pada anak didik, karena pikiran adalah pelopor seperti teruang dalam bait dari Dammapada(https://samaggi-phala.or.id/tipitaka/yamaka-vagga-syair-kembar/) sebagai berikut.

Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu,
pikiran adalah pemimpin,
pikiran adalah pembentuk.
Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat,
maka penderitaan akan mengikutinya,
bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya.

 

 

 

 

Leave a Comment Cancel Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Exit mobile version