Dr. Wahidin Sudirohusodo, sebagai pendiri organisasi Boedi Oetomo menyatakan bahwa untuk mewujudkan masyarakat yang maju, pendidikan harus diperluas. Di masa hidupnya, terjadi kastanisasi pendidikan karena pendidikan hanya dapat diakses oleh kalangan tertentu. Salah satu perjuangan Dr.Wahidin Sudirohusodo kemudian adalah memajukan pendidikan bagi bumiputra yang tidak mendapat akses, yakni melalui pembiayaan pendidikan. Di masa kini, akses pendidikan sudah lebih luas dan lebih mudah dibanding di masa itu, namun masalah kastanisasi di dunia pendidikan masih kita hadapi, hanya saja, kastanisasinya bukan persoalan akses, melainkan persoalan kualitas pendidikan yang belum merata. Jika dulu Dr.Wahidin Sudirohusodo memperjuangkan akses pendidikan bagi bumiputra, kira-kira apa perjuangan bagi kita di masa kini untuk melanjutkan tongkat estafet tersebut?
Kebijakan yang dilakukan kementrian pendidikan dan kebudayaan untuk melakukan zonasi dalam penerimaan peserta didik merupakan kebijakan yang bagus, dengan harapan inputnya bisa secara merata di setiap sekolah. Masih ingat, ketika siswa yang memiliki input yang tinggi masuk di sekolah tertentu yang dipandang memiliki kualitas bagus, justru akan memperlebar kesenjangan dengan sekolah-sekolah yang hanya mendapatkan input siswa kurang bagus. Apakah input siswa menjadi permasalahan yang mendasar? Ketika input siswa dipandang sebagai permasalahan mendasar maka sekolah akan berlomba-lomba mendapatkan input yang bagus, karena harapannya akan diperoleh outputnya yang bagus pula. Coba kita renungkan kembali. Wajar ketika kita sebagai pendidik memberikan pengajaran kepada anak didik yang memiliki input bagus akan mendapatkan output yang bagus pula. Namun mampukah kita, dengan input yang pas-pasan namun mampu mendongkrak output yang bagus. Itu baru dikatakan proses pembelajarannya luar biasa.
Banyaknya lembaga bimbingan belajar yang ada di sekitar kita, sebenarnya membuka tabir bahwa kita sebagai pendidik belum siap untuk mendongkrak output yang bagus. Sadar atau tidak sadar, siswa-siswa yang dikatakan pandai secara akademik di sekolah favorite, campur tangan bimbingan belajar tidak dapat dielakkan. Hal ini akan terasa ketika sekolah yang tadinya dipandang memiliki kasta tertinggi di wilayahnya. Ketika sistem zonasi diberlakukan, dengan konsekuensi menerima berbagai macam jenis input yang berbeda-beda dari yang memiliki kemampuan akademik tinggi sampai yang rendah, munculah banyak keluhan dari pendidik. Sulit diatur, sekarang banyak yang bolos, diajari sampai berulang-ulang masih sulit menerima dan segudang keluhan yang keluar dari pendidik. Sekolah kita kok sekarang beda ya, semakin merosot dan sebagainya. Uraian tersebut menunjukkan bahwa input dan output siswa masih dipandang sebagai masalah mendasar, sehingga prosesnya menggunakan cara-cara yang seragam, dengan standar-standar yang sama. Dampaknya siswa hanya belajar sebatas untuk memperoleh kemampuan akademik yang terlihat dari angka-angka tanpa makna. Siswa bukan lagi menjadi pembelajar sejati yang terus kasmaran untuk belajar sepanjang hayat, karena orientasinya sebatas untuk ujian, mencapai standar-standar untuk masuk perguruan tinggi dan sebagainya. Ketika dihadapkan pada permasalahan sehari-hari mereka justru gagap dan kurang memiliki kepekaan terhadap situasi yang terjadi.
Lalu apa yang mendasar menjadi permasalahan yang justru perlu dilakukan oleh pendidik untuk meningkatkan kualitas pendidikan supaya merata? Perubahan mindset yang diikuti dengan proses pembelajaran yang memanusiakan anak didik, itulah jawaban yang harus segera kita realisasikan. Mendidik pada dasarnya adalah menuntun kodrat anak didik, agar segala potensi yang dimiliki anak didik kita yang beranekaragam itu mampu tumbuh dan berkembang sehingga mencapai versi terbaiknya masing-masing. Dengan paradigma ini, maka guru akan memutar otaknya bagaimana melakukan pengajaran tidak menyeragamkan, tidak memberikan standar-standar yang sama. Guru perlu mendorong, melejitkan potensi dari setiap individu sehingga mereka akan semakin gandrung untuk belajar, merencanakan dirinya untuk menaikkan levelnya masing-masing. Rasa ingin tahu dan daya imajinasi siswa harus dibangkitkan dengan tetap menghargai perbedaan satu sama lainnya. Selamat para guru untuk membangkitkan semangat diri kita, menjadi teladan, membangun dan mendorong potensi anak didik kita. Selamat hari kebangkitan nasional.