Metta atau cinta kasih tak terbatas merupakan landasan bagi semua mahluk mencapai kebahagiaan dan keselamatan. Tidak memandang apa agamanya, sukunya, rasnya, dan budayanya, setiap orang bahkan semua makhluk pada dasarnya memiliki benih-benih metta atau cinta kasih tersebut, hanya kadang kala benih-benih metta tersebut tidak dipupuk sehingga pikiran dan hatinya menjadi tumpul untuk mempraktikkan metta tersebut, karena terbelenggu oleh sifat ego (keakuan). Metta atau cinta kasih yang merupakan sifat luhur untuk mengharapkan semua makhluk tanpa kecuali apakah dikenal atau tidak, terlihat atau tidak, saat sekarang sedang berbahagia atau menderita, agar semuanya berbahagia dan terbebas dari penderitaan. Praktek Metta yang paling dasar untuk dilakukan adalah pengucapan kalimat ’sabbe satta bhavantu sukkhitatta’ yang berarti ‘semoga semua makhluk berbahagia’ baik melalui pikiran maupun ucapan. Dalam Karaniya Metta Sutta tertulis: Makhluk hidup apapun juga, yang lemah dan kuat tanpa kecuali, yang panjang atau besar, yang sedang, pendek, kecil atau gemuk, yang tampak atau tak tampak, yang jauh ataupun dekat, yang terlahir atau yang akan lahir, semoga semua makhluk berbahagia”. Metta merupakan senjata ampuh untuk mengalahkan kemarahan. Dalam Dhammapada bait 223, ”Atasilah kemarahan dengan cinta kasih, atasi kejahatan dengan kebajikan, atasi kedengkian dengan kemurahan hati, atasilah kebohongan dengan kejujuran.”
Menengok sejarah masa lampau, sebenarnya kita orang Indonesia memiliki DNA cinta kasih atau metta. Ketika ada hal-hal yang ingin memecah belah, kita mudah bersatu, kita mudah bekerjasama (gotong-royong). Semua itu karena landasannya adalah metta atau cinta kasih atau tresno. Cinta kasih universal tanpa embel-embel ini dapat kita lihat dalam sebuah relief di Candi Mendut.
Di balik relief tersebut terdapat kisah yang menceritakan tentang seorang Brahmana yang menyayangi segala jenis hewan. Suatu ketika sedang berjalan-jalan ia menjumpai seekor kepiting yang kepanasan di bawah teriknya matahari. Sifat metta yang ia miliki menyebabkan Sang brahmana merasa kasihan, dan di bawalah kepiting tersebut di tepian sungai. Di lepaskan agar kepiting bisa hidup dengan nyaman sesuai habitatnya. Dalam perjalanan Sang brahmana merasa kelelahan dan mengantuk, ia memilih tempat peristirahatan di tepi sungai di bawah pohon besar yang rindang.
Di tempat tersebut tinggalah seekor ular dan gagak hitam, ketika kedua hewan tersebut melihat sang brahmana, mereka mempunyai itikat niat untuk memangsanya. Kepiting yang tidak jauh dari tempat tersebut mendengar percakapan kedua binatang tersebut, percakapan antara ular dan gagak hitam untuk memangsa sang brahmana. “Gagak, Sepertinya daging manusia itu enak itu, bagaimana kalau saya gigit dan nanti kalau sudah mati, dagingnya kita makan bersama-sama”, kata ular kepada Gagak. Gagak pun setuju dengan rencana ular tersebut. Dalam hati kepiting berkata, apapun yang terjadi ia beritikat akan menolong brahmana dari ancaman kedua binatang tersebut.
Akalnya yang pandai, Si kepiting mendekati kedua binatang tersebut sembari berkata ” Wahai kedua sahabatku, akan kupanjangkan leher kalian, supaya lebih nikmat kalau kalian ingin memangsa brahmana itu”, kata kepiting kepada ular dan gagak. Kedua binatang tersebut menyetujui pendapat si kepiting, dan menyuruh kepiting untuk segera melaksanakan niat baiknya tersebut, serentak jawaban si ular dan si gagak hitam tersebut. Kedua binatang tersebut menyerahkan lehernya kepada si kepiting, untuk di perpanjang dengan harapan, supaya nikmat menyantap daging brahmana. Ketika keduanya bersamaan menyerahkan lehernya, dicapitlah oleh kepiting, dan putuslah leher si ular dan si gagak hitam dan mati karena kebodohanya.
Untuk melestarikan cerita yang terungkap pada relief Candi Mendut tersebut, saya memberikan tantangan kepada Abel, salah satu murid kelas X jurusan Animasi untuk membuat karya. Awalnya Abel membuat komik terlebih dahulu dan dilanjut dengan membuat gambar gerak (animasi). Selama kurun waktu 2 bulan, Abel mengerjakan project ini dan malam ini, 22 Desember 2023, ia menyelesaikan animasinya dan diunggah di youtube animax. Mengunggah karya animasi ini ke youtube merupakan bentuk apresiasi terhadap perjuangan Abel dalam membuat animasi ini.
“Dari proyek film animasi “Brahmana dan Kepiting”, saya mendapatkan pemahaman mendalam tentang proses kreatif dalam pembuatan animasi. Selain itu, saya memperoleh keterampilan teknis dalam penggunaan perangkat lunak animasi. Pengalaman ini tidak hanya meningkatkan keahlian saya dalam bidang animasi, tetapi juga membuka mata saya terhadap kerumitan dan kerja keras yang terlibat dalam menciptakan karya seni animasi”, ungkap Abel.