Ajaran Ki Hajar Dewantara yang tak pernah lekang oleh jaman adalah olah pikir, olah rasa dan olah laku. Melalui olah pikir peserta didik diajak untuk mengasah daya nalarnya sehingga mampu berpikir kritis, mampu mengetahui kondisi dirinya dan lingkungannya. Melalui olah rasa, peserta didik dilatih untuk mengolah perasaannya sehingga menjadi lebih halus. Perasaan yang halus akan melahirkan perilaku atau tindak tanduk (olahlaku) dengan berlandaskan pada budi pekerti yang luhur. Ketika belajar tentang ajaran Ki Hajar Dewantara, pikiranku langsung terbuka, seakan-akan bahwa apa yang sudah dilakukan selama ini dalam dunia penididikan terasa telah menyimpang jauh. Meskipun hanya menyimpang sedikit derajatnya, namun jika diteruskan semakin jauh, maka sangat terlihat lebar jarak antara realita dengan harapan di dunia pendidikan. Inilah yang benar-benar kurasakan, di tahun 2019 beberapa tahun yang lalu, ketika saya mengenal Gerakan Sekolah Menyenangkan sebelum kurikulum merdeka ini lahir.
Di tahun ini, saya mendapatkan kesempatan untuk belajar kembali dengan orang-orang yang satu vibrasi. Ada Bu Ragil, ada Pak Karyanto yang selalu sabar menemani kami untuk berdiskusi tentang filosofi ajaran Ki Hajar Dewantara. Ada teman-teman Calon Guru Penggerak angkatan 9 yang berada dalam satu room yang benar-benar memiliki satu semangat, satu vibrasi untuk ikut andil mengubah dunia pendidikan ini ke arah yang lebih baik. Dengan mempelajari modul tentang pemikiran Ki Hajar Dewantara semakin mendalam apa yang saya pikirkan. Namun yang sangat menarik untuk terus saya terapkan adalah olah rasa. Kegiatan ini tidak lepas dari peran guru dalam membangun ekosistem yang menyenangkan terutama lingkungan psikologis antara guru dan murid, antara murid dan orang tua serta antara guru dan orang tua maupun dengan lingkungan masyarakat sekitar. Dalam khasanah ajaran Ki Hajar Dewantara lebih dikenal dengan Tri Sentra Pendidikan.
Olah rasa menjadi point penting untuk terus saya selami. Di bulan Juli 2023, saya mencoba menginisiasi kegiatan yang disebut dengan Bakti Sadhana di SMK Negeri 11 Semarang dan mendapat dukungan penuh dari kepala Sekolah, Drs. Luluk Wibowo S.ST., M.T dan segenap guru di SMK Negeri 11 Semarang. Bakti Sadhana merupakan kegiatan yang mengundang orang tua siswa ke sekolah. Melalui acara yang terstruktur yang dukung oleh pemain musik serta penyanyi dari siswa sehingga mampu mendukung kegiatan secara baik. Dalam kegiatan tersebut, siswa melakukan sujud di hadapan orang tuanya dan dilanjutkan dengan membasuh kaki orang tua yang hadir. Dalam acara tersebut, seorang narator mewakili siswa meminta maaf dan mohon doa restu untuk anaknya dalam menempuh pembelajaran di SMK N 11 Semarang. Iringan musik dan lagu tentang sujudku mendayu-ndayu membawa pada aura shahdu sehingga air mata tak terbendung lagi untuk terus mengalir.
“Terimalah sujudku, oh ayah ibuku. Ampunilah segala kesalahan, agar hidupku tiada beban. Ku mohon doamu, kumohon restumu, agar lapanglah jalan hidupku, bahagia kan menunggu. Oh ayah, ibuku yang kucinta. Doamu selalu kunantikan. Oh ayah ibuku yang kusayang. Jasamu tak kan kulupakan”.
Sebuah lagu ciptaan Bhante Saddhanyano ketika dinyayikan oleh Chelsa sangat menyentuh sanubari. Rasa bersalah dari seorang anak dan saat itulah permohonan maaf dari seluruh anak ditujukan kepada orang tua.
Secara historis, bakti shadana merupakan suatu perwujudan bakti seorang anak kepada orang tuanya. Ini merupakan nilai luhur yang sudah dimiliki oleh nenek moyang kita. Ini tidak lepas dari peran orang tua yang luar biasa untuk terus mencintai anaknya. Metta (cinta kasih), karuna (welas asih) sudah menyatu dengan darah orang tua. Ketika seorang ibu menyusui, mengalirlah darah cinta kasih dan welas asih ini melalui air susu yang menghidupi anaknya. Ketika dilihat dari relief di Candi Borobudur maupun Candi Mendut, terpampang sebuah cerita tentang Dewi Hariti.
Hariti, Dewi Ibu dalam Panel Relief Candi Buddha (Sumber: https://genpijogja.com/hariti-sosok-dewi-ibu-dalam-panel-relief-candi-buddha.html)
Relief Dewi Hariti merupakan Dewi Ibu yang bertugas untuk melindungi anak-anak. Menggambarkan bahwa nilai-nilai kemanusiaan yaitu cinta kasih (metta), kasih sayang (karuna) sudah menjadi nilai luhur yang dimiliki oleh nenek moyang kita. Selanjutnya ketika kita tengok sebuah di Candi Kidal ada sebuah relief yang menggambarkan Garudea yang berusaha menolong ibunya. Garudea inilah yang menjadi inspirasi Sultan Hamid II dalam merancang gambar Garuda Pancasila sebagai lambang Pancasila.
Kisah Garudea yang menyelamatkan Ibunya (Dewi Winata) dari perbudakan Dewi Kadru. Ia harus melawan naga dan untuk menebusnya harus membawa air tirta amarta. Kisah menggambarkan bakti seorang anak kepada orang tuanya. Bakti seorang anak kepada orang tua terus menjadi budaya yang ada di nusantara yang lebih dikenal dengan sungkeman. Sungkeman merupakan ritual penyadaran diri. Melalui sungkeman, orang akan sadar dan ingat bahwa dirinya masih diwajibkan untuk memperlakukan orang tuanya dengan hormat. Sungkeman merupakan sarana untuk melatih kerendahan hati. Sungkeman mengajarkan kita untuk berbuat kebaikan, agar sadar, dan disiplin sekaligus melatih mengatasi rasa ego dalam diri.
Bukan hanya dari aspek nilai-nilai luhur budaya yang menjadi warisan leluhur nusantara. Bakti anak kepada orang tua juga terinternalisasi dalam kitab-kitab dari setiap agama yang berkembang. Dalam ajaran Hindu, orang tua adalah Brahman (Tuhan) yang nyata di dalam keluarga. Sehingga kewajiban seorang anak adalah memberikan keharmonisan di dalam kehidupan nyata dengan sesama manusia khususnya orang tua, dan semua ciptaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Ni Ketut Suama dan Ni Nengah Antariningsih, 2021). Dalam ajaran Buddha yang tercantum dalam Dhammapada 109, “Abhivadana-silissa, niccam vuddhapacayino, cattaro dhamma vaddhanti, ayu vanno sukham balam”. Yang artinya Ia yang selalu sopan dan menghormat kepada yang lebih tua, akan berkembang padanya empat hal, yakni; umur panjang, paras bagus, kebahagiaan, dan kekuatan (https://kemenag.go.id/nasional/bakti-anak-kepada-orang-tua-a2s32o). Dalam ajaran Kristiani, “Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan, Allahmu, kepadamu.” (Keluaran 20: 12). Dalam agama Islam yang tertuang dalam Surah Al Isra ayat 23, Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.
Budaya luhur nusantara yang sudah mengakar ini perlu dilestarikan agar dan terus direalisasikan di dunia persekolahan dalam bentuk bakti Sadhana. Bakti Sadhana berasal dari bahasa sanskerta yang berarti berlatih menghormati kepada orang yang patut dihormati. Kegiatan ini bertujuan untuk mendekatkan hubungan emosional antara siswa dan orang tua dan meminta doa dan restu dari orang tua demi kesuksesan dalam mencapai cita-cita ketika bersekolah. Dalam kegiatan ini, Sekolah mendatangkan orang tua, siswa membawa ember dan air dan orang tua diminta duduk di kursi yang tersedia. Pembawa acara menyampaikan urutan kegiatan prosesi bakti Sadhana dan narator menyampaikan ungkapan rasa dari orang tua, tentang doa dan restu serta menyampaikan ungkapan permintaan maaf dan permohonan doa restu dari siswa (Diiringi lagu sujudku).
Acara ini mendapatkan respon yang positif dari orang tua maupun siswa. Siswa menjadi sadar betapa mulianya orang tua yang telah merawatnya yang akhirnya timbul kesadaran untuk menghargai, menghormati dan akan patuh terhadap orang tua. Vibrasi bakti Sadhana ternyata membawa dampak terhadap bagaimana cara kami di sekolah memperlakukan siswa-siswa yang berbuat kesalahan. Dengan landasan cinta kasih inilah, kami benar-benar mencoba untuk melakukan olah rasa ketika menangani permasalahan.
Keadaan itu tidaklah kekal. Yang awalnya berbuat salah bisa berubah menjadi baik, begitu pula sebaliknya. Ketika ada anak didik yang bersalah, maka sepatutnya seorang guru tidak menjustice bahwa anak tersebut selamanya salah. Ketika seorang anak mengalami proses kesadaran diri, maka ia akan menyadari kesalahan dan melakukan perbuatan baik. Peran guru inilah yang dapat menjadi suluh bagi anak agar menyadari kesalahan dan segera memperbaiki. Dua minggu yang lalu, ada 3 siswa yang tidak mengetahui bahwa perbuatannya tersebut dapat merugikan orang lain. Sengaja tidak saya sebutkan namanya serta kasusnya. Yang jelas perbuatannya dapat merugikan dirinya dan orang lain. Kami dari tim kesiswaan melakukan proses pemberian kompensasi positif. Yang kami jelaskan kepada anak, ketika berbuat kesalahan, maka segera menyadari dan melakukan perbuatan-perbuatan baik untuk menjaga keseimbangan. Siswa yang melakukan perbuatan merugikan orang lain tersebut dengan kesepakatan akhirnya selama 5 hari melaksanakan kegiatan peka lingkungan.
Kegiatan peka lingkungan ini disampaikan kepada anak bahwa ini bukanlah hukuman, namun sebagai kontrak kegiatan baik. Melalui kegiatan baik, diharapkan mereka akan menyadari kesalahan dan menjaga keseimbangan. Ibarat sebuah timbangan, maka ia harus menanam kebaikan untuk menambah bobot di sebelah kanan agar minimal seimbang, syukur bisa bobotnya lebih berat di sebelah kanan (perbuatan baik).
Di hari terakhir kegiatan, kami undang orang tua. Sebuah gerbang kesadaran muncul, ketika anak tersebut bersujud dan meminta maaf kepada orang tuanya. Tangisan keduanya mengantarkan pada kesadaran untuk kembali ke jalan yang benar. Bakti Sadhana memberikan dampak yang positif pada penyadaran diri.
Luar biasa kegiatan yang sangat menjunjung tinggi nilai adi luhung, dan patut dijaga dan dilestarikan untuk menjaga agar watak, karakter , cinta kasih dan rasa saling menyayangi dan memiliki tetap terjaga antar keluarga, teman, tetangga dan masyarakat sehingga mempererat tali silaturahmi dan persatuan.