Refleksi Pemikian Ki Hajar Dewantara

Usai belajar tentang pemikian atau ajaran Ki Hajar Dewantara ada beberapa hal yang bisa dipetik bahwa pendidikan merupakan tempat persemaian segala benih-benih kebudayaan yang hidup dalam masyarakat kebangsaan. Dengan maksud agar segala unsur peradaban dan kebudayaan tadi dapat tumbuh dengan sebaik-baiknya dan dan dapat kita teruskan kepada anak cucu kita yang akan datang. Di dalam pendidikan seorang guru adalah sebagai pendidik sebagai panggilan hati untuk mendidik. Mendidik ibarat seorang petani, yang menyemai benih-benih talenta, passion dan bakat yang dimiliki oleh peserta didik dengan segala keunikannya. Menyemai berarti meletakkan benih-benih tersebut pada tempat yang sesuai agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, inilah peran guru yang sejati. Mendidik (edukasi) berasal dari kata educare yang berarti membawa keluar artinya memunculkan potensi-potensi yang sudah dimiliki oleh peserta didik. Benih-benih yang unik tersebut disemai pada lingkungan yang baik. Ibarat petani, maka benih tersebut disemai di lahan yang subur, bukan pada tanah yang tandus atau di bebatuan. Meskipun bisa tumbuh, namun tanamannya akan kerdil, karena kurang nutrisi.  Setelah tumbuh, maka peran guru selanjutnya adalah merawatnya, memberikan pupuk, menyiraminya, menanggulangi gulma yang bisa menghambat pertumbuhan, hingga akhirnya benih yang tumbuh tersebut akan menjadi dewasa, memiliki akar yang kuat dan mampu membuahkan hasil.

Mendidik juga tidak lepas dari proses bermain, karena kodrat anak didik itu sebenarnya adalah ingin berbahagia. Melalui permainan, maka hormon-hormon kebahagiaan akan muncul sehingga merangsang neo cortex untuk berkreasi, berpikir kritis dan mampu mengambil keputusan secara logis. Mendidik diibaratkan sebuah permainan (game) dengan memberikan sebuah tantangan-tantangan yang secara bertahap, sehingga anak didik akan terpacu untuk rasa ingin tahu dan penasaran untuk mencoba. Ketika anak didik mampu pada level tertentu, dengan tantangan-tantangan yang lebih, ia akan keppo dengan tantangan selanjutnya. Memunculkan rasa ingin tahu inilah pada dasarnya menuntun salah satu kodrat alami yang dimiliki manusia yaitu kodrat rasa ingin tahu.

Seorang guru yang sudah merasa bahwa pekerjaannya adalah panggilan jiwa, maka akan terjadi perubahan mindset ke arah berhamba pada peserta didik. Berhamba pada peserta didik memiliki maksud bahwa seorang guru memiliki peran yang penting untuk selalu hadir ke dalam jiwa peserta didik sehingga mau mengerti apa yang menjadi kebutuhan perserta didik.

Pemikiran Ki Hajar Dewantata yang tak pernah lekang oleh jaman adalah olah pikir, olah rasa dan olah laku. Melalui olah pikir peserta didik diajak untuk mengasah daya nalarnya sehingga mampu berpikir kritis, mampu mengetahui kondisi dirinya dan lingkungannya. Melalui olah rasa, peserta didik dilatih untuk mengolah perasaannya sehingga menjadi lebih halus. Perasaan yang halus akan melahirkan perilaku atau tindak tanduk (olahlaku) dengan berlandaskan pada budi pekerti yang luhur. Ketika belajar tentang ajaran Ki Hajar Dewantara, pikiranku langsung terbuka, seakan-akan bahwa apa yang sudah dilakukan selama ini dalam dunia penididikan terasa telah menyimpang jauh. Meskipun hanya menyimpang sedikit derajatnya, namun jika diteruskan semakin jauh, maka sangat terlihat lebar jarak antara realita dengan harapan di dunia pendidikan. Inilah yang benar-benar kurasakan, di tahun 2019  beberapa tahun yang lalu, ketika saya mengenal Gerakan Sekolah Menyenangkan  sebelum kurikulum merdeka ini lahir.

Di tahun ini, saya mendapatkan kesempatan untuk belajar kembali dengan orang-orang yang satu vibrasi. Ada Bu Ragil, ada Pak Karyanto yang selalu sabar menemani kami untuk berdiskusi tentang filosofi ajaran Ki Hajar Dewantara. Ada teman-teman Calon Guru Penggerak angkatan 9 yang berada dalam satu room yang benar-benar memiliki satu semangat, satu vibrasi untuk ikut andil mengubah dunia pendidikan ini ke arah yang lebih baik. Dengan mempelajari modul tentang pemikiran Ki Hajar Dewantara semakin mendalam apa yang saya pikirkan. Namun yang sangat menarik untuk terus saya terapkan adalah olah rasa.

Salah satu suasana kelas yang sengaja saya bangun yang mencerminkan pemikiran KH Dewantara secara konkret sesuai dengan konteks lokal sosial budaya di kelas di SMK N 11 Semarang adalah membangun value positif di kelas.

Kegiatan awal masuk sekolah akan memiliki arti yang mendalam bagi anak didi kita manakala kegiatan di kelas bukan sekedar memberikan materi namun memberikan makna yang positif bagi anak-anak didik kita. Nilai-nilai atau value perlu kita tanamkan terlebih dahulu dan menjadi nilai bersama yang disepakati di kelas. Pagi ini, 14 Juli 2022 saya masuk kelas XI Animasi 1. Sebelum masuk ke kelas tersebut saya sudah mencari tahu dari salah satu siswa, yang mengatakan bahwa kondisi kelas saat ini kurang kondusif. “Kurang kompak, banyak toksik dan segudang permasalahan yang muncul”, ungkap salah satu siswa yang tidak saya sebutkan untuk menjaga privasi anak tersebut.

Pagi-pagi saat saya masuk di salah satu kelas di Animasi memang benar kondisi yang tidak sesuai dengan yang saya harapkan. Datang tidak tepat waktu, pukul 07.00 WIB baru 2 anak yang masuk. Masih saya tunggu sambil menyiapkan beberapa bahan yang akan saya gunakan untuk menghidupkan kelas. Beberapa menit kemudian, akhirnya datang beberapa siswa lagi dan pukul 07.30 WIB baru lengkap siswa yang datang di kelas tersebut. Meskipun tidak seluruhnya datang, karena sebagian masih ada di tempat magang dan dua siswa lagi berangkat magang ke Yogyakarta. Kegiatan pada hari itu saya awali dengan doa dan dilanjutkan dengan permainan. Siswa duduk secara berkelompok, dari masing-masing kelompok dipersilahkan menunjuk salah satu untuk menjadi ketua kelompok. Pada hitungan ketiga, secara bersama-sama masing-masing anggota kelompok menunjuk  siapa yang menjadi ketua kelompok. Siswa yang paling banyak ditunjuk, maka dialah sebagai ketua kelompok. Selanjutnya ketua kelompok saya minta berdiri untuk menunjuk temannya untuk mewakili kelompoknya maju ke depan. Perwakilan teman inilah yang akan menebak gambar yang dibuat dari masing-masing kelompok.

Saya memberikan selembar kertas pada masing-masing kelompok. Untuk kelompok 1 bertuliskan Gotong royong, Kelompok 2 (Prestasi). Kelompok 3 (Menghargai),  dan kelompok 4 ( Taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa). Pada hitungan ketiga masing-masing kelompok membuat gambar ilustrasi berkaitan dengan kata-kata yang tertulis di lembaran kertas tersebut secara estafet. Setiap 5 detik, kertas harus sudah pindah ke anggota kelompok lainnya sehingga sampai selesai anggota kelompok menggambar.  Selanjutnya gambar ilustrasi tersebut saya ambil. Tiba saatnya anggota kelompok yang berdiri di depan menebak gambar yang sudah dibuatnya. Seru kegiatan permainan ini, meskipun tidak semua bisa menebak, namun ada beberapa siswa yang mampu menebak meskipun dengan kata yang berbeda namun memiliki makna yang sama. Seperti pada gambar tersebut, perwakilan kelompok mampu menebak tentang kerjasama atau gotong royong.

 

 

 

 

 

Kegiatan berikutnya, saya meminta siswa secara berbaris dan secara bergantian menuliskan tentang kondisi kelas secara jujur. Benar memang kondisi kelas yang dituliskan anak-anak seperti yang disampaikan oleh salah satu siswa sebelum saya masuk kelas. Satu demi satu siswa mengungkapkan kondisi kelas secara riil dan secara terbuka. Banyak hal negatif yang dirasakan terjadi di kelas tersebut seperti rasis, males, muka tebal, terlalu pasif, berisik, kurang interaksi, jarang ikut kegiatan lomba, kurang kompak, terlalu banyak omong, kadang labil, terjadi bullying,  kurang bisa membaur, kurang peka terhadap kebersihan kelas, toxic dan lain-lainnya. Kondisi yang benar-benar menggambarkan hal negatif dan harus segera diubah dan dihilangkan.  Inilah tantangan bagi saya selaku wali kelas untuk memunculkan nilai-nilai yang perlu disepakati bersama sebagai pedoman di kelas XI Animasi 1. Setelah semua siswa menuliskan semua kondisi yang menggambarkan di kelas tersebut, saya minta salah satu perwakilan siswa untuk menceritakan kondisi  riil yang dirasakan di kelas tersebut. Tri Anugerah sebagai ketua di saat kelas X saya beri kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya. Kondisi yang sangat memprihatinkan untuk segera dibenahi.  Usai kegiatan tersebut, tahap selanjutnya, saya siswa untuk menghapus satu demi satu tulisan kata-kata negatif yang ada di papan tulis dan menggantikan dengan kata-kata positif yang menggabarkan kondisi kelas yang diimpikan bersama. Banyak kondisi yang menjadi impian anak-anak seperti kondisi kelas yang saling menghargai,  stop bulying, kompak, lebih percaya diri, menjaga kebersihan, menjaga sopan santun, aktif, damai, sedikit berbicara banyak kerja, serius, tenang, jujur, tobat maksiat, tahu malu, aktif dan masih banyak lagi kata-kata positif yang menjadi impian kondisi kelas, untuk menggantikan kondisi kelas sebelumnya.

 

 

 

 

 

 

Setelah semua siswa aktif memberikan kontribusi untuk menuliskan kondisi yang diharapkan dari kelas, selanjut masing-masing kelompok untuk memeras menjadi 3 nilai atau value yang mewakili dari semua tulisan yang ada di papan tulis. Masing-masing kelompok menuliskan 3 value di papan tulis dan selanjutnya saya minta satu kelas untuk memeras kembali menjadi empat nilai (value) yang akan dijadikan sebagai pegangan untuk kelas XI Animasi 1. Keempat value tersebut adalah 1) saling menghargai, 2) gotong royong, 3) Tanggungjawab dan 4) Kesopanan.

 

 

 

 

 

Kegiatan selanjutnya untuk menjalin komunikasi, keakraban dan saling support, saya memberi kesempatan kepada siswa untuk menuliskan nama pada sebuah amplop dan meletakkan di atas meja. Setiap siswa diminta untuk menuliskan tentang hal-hal positif yang pernah dilakukan oleh temannya dan menjadi inspirasi atau berarti bagi siswa tersebut. Tulisan tersebut selanjutnya dimasukkan di amplop temannya yang dituju. Selanjutnya setiap siswa menuliskan pula tentang saran untuk perbaikan kepada teman-temannya dengan mengirim tulisan ke amplop tersebut.  Dari kegiatan inilah, terjadi proses kesadaran diri bahwa dirinya berarti untuk orang lain dan untuk proses memperbaiki diri diperlukan peran orang lain untuk mengoreksinya. “Dari kegiatan ini, saya dapat mengetahui kesan baik dan kekurangan diri kita melalui orang lain, jadi kita lebih bisa memperbaiki diri sendiri menjadi lebih baik”, ungkap salah satu siswa.  “Saya merasa terbuka karena saya bisa meluangkan semua emosi dan perasaan saya untuk kelas. Saya juga merasa senang karena ternyata saya dibutuhkan di situ, banyak yang mengungkapkan betapa pentingnya saya di sini. Keterbukaan dan kebersamaan adalah hal yang saya rasakan di sini”, ungkap siswa lainnya.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa memberikan kesan pertama di awal pembelajaran merupakan hal sangat penting. Di awal pembelajaran jangan sampai terjebak oleh rutinitas memberikan materi untuk mengejar ketercapaian kurikulum, namun memberikan kegiatan yang bermakna sehingga memunculkan kesadaran diri, membangun nilai atau value yang dapat disepakati di dalam kelas, menjadi bagian yang sangat penting untuk dilakukan. Lebih baik terlambat penyampaian materi, daripada pembentukan karakter terabaikan.

Pemikian Ajaran Ki Hajar Dewantara tentang olah rasa dapat direalisasikan dalam berbagai hal di pembelajaran yang merupakan bagian dari proses mendidik. Salah satunya adalah membentuk value kelas, sebagai nilai-nilai budaya yang sudah dimiliki.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *