Ketika seseorang tidak bisa “legowo” dengan kekalahan tim kesayangannya, menunjukkan bahwa seseorang tersebut belum mampu mengelola emosi diri sendiri. Jika dirunut lebih mendalam lagi, seseorang tersebut belum terbiasa dengan perbedaan dan keragaman. Cenderung menggunakan satu sudut pandang saja dalam setiap pengambilan keputusan dalam bertindak, dan ini bertentangan kodrat anak adalah beragam. Kecerdasan emosi yang rendah bisa terjadi karena kurangnya pembiasaan untuk saling menghargai dengan berbagai sudut pandang, kurangnya olah pikir dan olah rasa. Ketika di dunia persekolahan hanya berorientasi pada pengisian materi mata pelajaran, mengejar ketuntasan materi dan tidak seimbang dalam pembentukan karakter melalui olah pikir, olah rasa dan olah laku melalui project-project sosial yang dapat menghaluskan kepeksan rasa, maka jangan harap anak-anak didik kita akan dapat memiliki kecerdasan emosional. Ketika dunia persekolahan masih memberikan ruang yang banyak pengubahan perilaku dengan pola tekanan, ancaman fisik maupun verbal, dan lupa budaya dialektika untuk membangun kesadaran diri, jangan harap kepedulian, empati dan kehalusan rasa akan berkembang. Alih-alih untuk mendisiplinkan diri, alih-alih untuk menaati aturan yang berlaku, justru pemberian hukuman dipertontonkan di depan warga sekolah, jangan harap kehalusan budi pekerti akan tumbuh.
Hilangnya nyawa dalam pertandungan sepakbola tak sebanding dengan kegembiraan yang didapat. Jiwa-jiwa melayang seakan-akan tak ada harganya. Kejadian ini merupakan hantaman keras sebagai pengingat bahwa pendidikan karakter adalah lebih dari segala-galanya. Semoga jiwa-jiwa yang melayang di Kanjuruan, menjadi pengingat bagi kita semua di dunia pendidikan akan bergerak seperti apa.